PERAN IMAM DALAM
RITUS SAKRAMEN PERKAWINAN
MENURUT ORDO CELEBRANDI
MATRIMONIUM
(Sdr. Yusuf
Silaban, Mela, 21-22 Maret 2019)
Artikel ini dibuat dalam
rangka memperkenalkan ritus Pemberkatan Pernikahan yang diterbikan oleh Komisi
Liturgi Keuskupan Agung Medang. Saya diminta oleh Pater Emmanuel Sembiring, (Ketua
Komisi Liturgi KAM) untuk memaparkan peran imam dalam pertemaun dekanat
Tapanuli di Mela, Sibolga
Pengantar
Salah satu tugas pokok imam adalah pelayanan rohani terhadap umat Allah
lewat pelayanan sakramen. Pada umumnya peranan imam dalam pelayana itu boleh
dikatakan bersifat konstitutif. Kehadiran dan aksi liturgis imam lewat ritus
amat menentukan sah atau tidaknya satu perayaan sakramen. Di dalam perayaan
ekristi misalnya kehadiran imam mutlak perlu dan tindakan liturgisnya menentukan
untuk sah tidaknya perayaan tersebut.
Namun di dalam sakramen perkawinan, meskipun imam tetap memiliki peran penting,
tampaknya tidak seperti di dalam sakramen ekaristi atau sakramen lainnya.
Sebaliknya di dalam sakramen ini, imam tidak memiliki peran kostitutif. Oleh
karena itu gereja memberi wewenang kepada awam menjadi saksi, dengan pertimbangan
pastoral yang memadai dan kecakapan awam. Itu artinya di dalam perayaan perkawinan
peran imam bukan faktor utama. Peran imam adalah hanya sebagai saksi yang sah,
yang mewakili gereja.
Dalam paper ini diuraikan secara singkat sejarah ritus, kemudian pembaruan
konsili Vatikan II. Dengan demikian dapat dipahami dengan jelas peran imam
dalam Ordo Celebrandi Matrimonium.
Peran imam dalam empat abad pertama
Bila kita membolak balik sejarah ritus perkawinan, kita dapat informasi
bahwa perayaan ini berlangsung di tengah-tengah masyarakat sipil. Tahap hidup
ini dirayakan di luar agama. Oleh karena itu sulit menemukan teks ritus perkawinan
dari empat abad pertama, sebagaimana dimiiki oleh gereja dewasa ini. Mengapa?
Karena pekawinan adalah urusan sipil, khusunya keluarga mempelai, bukan urusan
gereja. Ritus sipil itu menyangkut kesepakatan antara dua famili; di dalamnya
terdapat unsur kontrak atau perjanjian dan unsur ketaatan kepada masing-masing keluarga.
Pada umumnya perkawinan diawali dengan tunangan. Acara ini ditandai dengan
pengenaan cincin tunangan. Maksudnya adalah untuk menandakan kepercayaan dan
tingkat keserius antara pihak laki-laki dan perempuan. Bila masa pertunangan
ini berjalan baik, selanjutnya kedua keluarga akan membicarakan pernikahan. Pembicaraan
ini pada umumnya terjadi antar kepala keluarga atau yang mewakili. Bila sudah
terjadi kesepakatan, pada hari yang ditentukan pengantin perempuan akan diarak
dengan meriah ke rumah mempelai laki-laki. Sebelum meninggalkan rumah, mempelai
perempuan meminta berkat/restu kepada ayah. Prosesi menuju rumah laki-laki
dilaksanakan secara meriah, diiringi oleh nyanyian gembira, para remaja putra
dan putri menari sambil berjalan. Dari kebiasaan ini kita mengetahui bahwa pada
umumnya ada empat elemen dalam pernikahan sipil, yaitu: perjanjian, cincin,
membuka kerudung dan sigilli/pengesahan.
Sebelum acara pesta pernikahan, sudah ada kesepakatan atau perjanjian
antara bapak kedua mempelai tentang pernikahan tersebut. Pada saat pernikahan
mempelai laki-laki dan perempuan saling memberikan tangan kanan, menunjukkan
kepercayaan dan ikatan antarmereka. Cincin diberikan dalam dua kesempatan;
cincin tunangan dan cincin pernikahan. Cincin tunangan menandakan bahwa kedua
persona tunangan sudah memiliki seseorang. Cincin pernikahan adalah tanda bahwa
mereka telah merayakan pernikahan dan menjadi tanda komitmen atas pernikahan.
Membuka kerudung dan mencium kening. Kerudung dipakai oleh mempelai
perempuan segera setelah ia mengikuti proses acara pertunangan yang
dilangsungkan oleh kedua belah pihak. Kerudung ini menandakan bahwa perempuan
adalah pengantin yang dijanjikan, dia adalah milik calon suaminya. Pada saat
acara pernikahan mempelai laki-laki membuka kerudung mempelai perempuan lalu
mencium keningnya. Dalam hal ini kerudung dan cincin menandakan hal yang sama.
Sesudah memuka kerudung, pernikahan ini ditehkan dengan pakta dan pngesaha di meja
pernikahan. Kontrak perjanjian kedua belah pihak ditulis di atas meja tersebut.
Dalam semua elemen ini tidak disebutkan apa peran imam. Satu-satunya peran imam adalah untuk mencek apakah pengantin beragama kristen
atau orang pagan. Peran imam ini terjadi sebelum proses pernikahan. Oleh karena
itu imam tidak memiliki peran sentral. Jadi sampai abad ketiga belum ditemukan
fungsi imam dalam pernikanan Kristen.
Pada abad ke empat, ayah pengantin perempuan membawa atau mengantar
putrinya ke rumah pengantin laki-laki lalu menyerahkan putrinya kepada
pengantin laki-laki. Di sana ada acara saling memberi tangan kanan (dexterarum iunitio), bersalaman dan
pertukarang cincin. Sesudah acara tersebut ayah pengantin perempuan menyerahkan
putrinya kepada pengantin laki-laki. Mengantarkan putri kepada pengantin
laki-laki merupakan simbol kepemilikan laki-laki terhadap putri. Sejak saat itu
pengantin laki-laki menjadi bertanggung jawab pengantin perempuan, walaupun
mereka belum hidup serumah. (Ingat misalnya Yusuf dan Maria). Acara prosesi
mengalami perubahan; prosesi dilaksanakan dari rumah kedua pengantin ke rumah
baru. Di rumah baru terjadi proses
ritus pernikahan; mengenakan cincin dan membuka kerudung. Sesudah itu kedua
mempelai menuju kamar pengatin untuk merayakan pernikahan consumatum. Dari penjelasan ini kita melihat dapat melihat elemen
pernikahan: cincin pengantin, perjanjian, kerudung pengantin (velatio nuptialis), penyatuan tangan
kanan (dexterarum iunitio), perayaan
seksual (ratum et consumatum). Sampai
akhir abad ke-4 pernikahan dan diatur oleh masayrakat dan dirayakan di luar campur
tangan agama.
Abad V-XV
Bagaiama terjadi ritus pernikahan menjadi urusan gereja? Ada yang menduga
bahwa kebiasaan ini berubah sesudah kaisar romawi persekusi kekristenan.
Masyarakat tidak lagi mengadakan di depan umum, mungkin takut. Gereja berinisiatif
mengambil alih dan membawa ke dalam upacara religius. Pada abad ke-5 sampa ke-8
kita sudah menemukan rubrik tentang pernikahan khususnya berkat terhadap
pengantin, misalnya di dalam Sacramentarium Veronense, Gelasiamum dan
pre-gelasianum.
Pada abad pertengahan Paus Pius V menerbitkan Rituale Romanum, di sana
dituliskan dengan jelas peran imam: pada waktu scrutinium, mereciki dengan air, memberkati saat cincin dimasukkan
ke jari pengantin dengan rumus trinitas. Ritus pernikahan berlangsung depan pintu
gereja. Posis ritus pernikahan: laki-laki di sisi kanan-perempuan di sisi kiri
lalu imam menanya tentang status bebas mempelai. 1. Scrutinium, 2. consensus, 3.
penerimaan, 4. mereciki dengan rumusan doa mirip litany, 5. pemberkatan cincin
dan mereciki dengan air suci ditutup dengan rumus trinitas, doa penutup.
Sesudah itu diaka untuk perayaan ekaristi, boleh pada hari bersangkutan boleh
beberapa hari kemudian. Misa ini disebut missa
muptialis.
Faktor lain yang membuat peran imam semakin menonjol dalam liturgi pernikahan
adalah perkembangan teologi. Pada abad masa ini mucul devosi, ada kesadaran dan
penghayatan yang tinggi terhadap berkat dari para klerus. Berkat dipandang
sebagai tanda perlindungan dan simbol penyelenggaraan ilahi. Muncul juga
refleksi teologi dan ajaran dokrinal terhadap ekaristi sebagai sakramen yang paling
agung.
Bila kita cermati lebih dalam, sebenanrnya sudah muncul ide untuk memadukan
acara pernikahan dengan perjamuan ekaristi. Tertulianus, misalnya, melihat
bahwa ada hubungan hubungan pemberkatan
pengantin dengan pemberkatan dalam ekaristi; “comforma oblatio, obsignat
beneditio”. “Tertullian expatiates
upon the happiness of “that marriage which is made by the Church, confirmed by
the Holy Sacrifice (oblatio), sealed by the blessing, which the angels proclaim
and which is ratified by our Father in heaven” (Ad Uxor., ii, 9)” Di
dalam ekaristi dan pernikahan diadakan perjamuan maka pantas dipadukan. Ini
yang disebut alasan similitudine. Ambrosius mengatakan ekaristi adalah doa
berkat yang paling tinggi atau agung. Dengan demikian pelan-pelan
praktek-praktek doa restu dari kepala keluarga atas pengantin bergeser kepada berkat
imam, dan perayaan ekaristi semakin populer di kalangan umat.
Pembaharuan Konsili Vatikan II
1.
Kitab Hukum Kanonik
KHK. 1055, 1: “ pernjanjian (consensus/foedus)
perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka
persekutuan seluruh hidup …”. Hukum gereja dengan sangat jelas menggariskan
bahwa konsensus antarpengantin adalah radic
atau akar pernikahan. Konsensus adalah aksi nyata dari subyek atau persona
pengantin yang dilakukan dengan kesadaran. Oleh karena itu konsensus adalah
elemen konstitutif, causa efficiens,
penyebab yang melahirkan pernikahan. Hal ini diperkuat kembali dalam nomor
1057, 1 yang mengatakan bahwa kesepakatan kedua pengantin tidak dapat digantikan
oleh kuasa manusiawi manapun. Perjanjian yang disampaikan dalam kehendak bebas
tak dapat ditarik kembali. Di sini jelas diperlihatkan bahwa dasar ontologis
pernikahan adalah perjanjian antar kedua belah pihak.
Dalam kanon 1108,1 menyebutkan bahwa peranan imam (ordinaris wilayah) dalam
pernikahan diperlukan demi sahnya pernikahan bukan demi terbentuknya
pernikahan. Selain itu dibutuhkan dua saksi dari umat awam. Bahkan kanon 1116,
1 memberi peluang dalam situasi dimana ordinaris wilayah tidak dapat hadir
karena kesulitan besar, pernikahan dapat dilangsung di depan dua saksi saja;
situasi bahaya maut misalnya. Benar bahwa imam adalah saksi gereja yang sah,
namun kehadiran imam tidak menambah dan mengurangi dasar ontologis
pernihakan.
2.
Gaudium et Spess
Dasar ontologis ini juga mendapat penekanan dalam dokumen konsii vatikan
dua, Gaudium et Spess (no.48) : “Persekutuan hidup dan kasih
suami-isteri yang mesra, yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan
hukum-hukumnya, dibangun oleh janji pernikahan atau persetujuan pribadi yang
tak dapat di tarik kembali”. Pernikahan tidak dibangun di atas dasar tindakan
liturgis imam tetapi dibangun oleh janji pernikahan atau persetujuan pribadi.
3.
Sacrosanctum Concilium
Melalui Sc. 77-78, para Bapa Konsili
menghendaki pemugaran ritus pernikahan dan serentak dengan itu memperkaya
dengan kebijakan-kebijakan local wijayah. Bapa konsili memberi peluang lebih
luas kepada pimpinan gereja partikur untuk menyusun tata perayaan pernikahan,
dengan tetap mempertahakan kaidah-kaidah dan iman.
Diharapkan agar perayaan pernikahan
dirayakan dalam ekaristi. Menarik menercermati kalimat ini: “Doa atas mempelai hendaknya, dipugar dengan baik,
sehingga mencantumkan dengan jelas bahwa kedua mempelai sama-sama mempunyai
kewajiban untuk saling setia”. Pemugaran atas doa
bertujuan untuk memperlihatkan lebih jelas kepada kedua mempelai kewajiban dan
tanggung jawab untuk setia. Di sini teks tidak menyebutkan bahwa pemugaran itu
berkaitan dengan sah atau tidaknya pernikahan
4. Peran imam Ordo Celebrandi
Matrimonium
Ordo Celebrandi Matrimonium adalah buan dari Konsili Vatikan II. Dalam
preaenotanda, sebagaimana ditegaskan dalam hukum gereja, OCM menegaskan bahwa
perjanjian merupakan unsur konstitutif dalam membentuk keluarga. Janji kedua
mempelai adalah dasar perkawinan. Persekutuan perkawinan diangkat ke martabat
yang lebih agung, karena menjadi salah satu dari sakramen-sakramen Perjanjian
Baru.
Tugas dan wewenang Bapak
Uskup, pastor paroki dalam pernikahan adalah segi pastoral dan liturgi. Uskup
memiliki weweanng mengatur pelaksanaan perayaan dan pelayanan pastoral Sakrmaen
Pernikahan. OCM secara spesifik lagi menunjukkan tugas-tugas pastoral yang
sifatnya pembinaan agar kedua mempelai menghayati penggilannya sebagai suami
dan istri:
1. homili, katekese kepada anak-anak dan remaja dengan memberi pengajaran
tentang perkawinan katolik
2. Menyelenggarakan persiapan pribadi bagi calin mempelai, menjelang
perkawinan, membimbing pada kesucian dan tanggung jawab satu sama lain
3. Menjelaskan tata perayaan liturgi dan merayakan liturgi penuh makna
4. Memastikan bahwa kedua mempelai memiliki status bebas dan tidak ada
halangan
Praenotanda ini sama sekali tidak menyebut bobot konstitutif kehadiran imam
dalam perayaan sakramen pernikahan. Demikian juga kehadiran para saksi tidak
memberi arti apa pun selain saksi kronologis dan saksi atas peristiwa itu
sendiri. Namun mengingat budaya Indoensia dan karena sebelum OCM terbit,
perayaan pernikahan di wilayah Sumatera Utara sudah terlanjur mencantumkan saksi awam, maka
OCM tetap mempertahankan kehadiran saksi.
Menarik bahwa dalam nomor 24, diberi peluang, dengan alasan yang sungguh
dapat dipertanggung jawabkan, awam dapat meneguhkan pernikahan, dengan
persetujuan ordinaris wilayah dan Konferensi Waligereja setempat. Ini hendak
menunjukkan menegaskan bahwa pada hakekatnya pernikahan itu tidak bangun di
atas tindakan atau kehadiran imam tertahbis. Karena itu pula, OCM menawarkan
berbagai tata perayaan tanpa kehadiran imam.
Pertanyaan kita apa persis peran imam dalam liturgi pernikahan? Menurut
Kitab Hukum Kanonik, sebagaimana disebut di atas, pernikahan dibentuk atau
dibangun oleh perjanjian kedua belah pihak. Dengan itu pernikahan terjadi
secara konstitutif. Peran imam di dalam perayaan pernikahan adalah saksi utama
demi sahnya, testis qualificatus. Peran
imam menjadi sentral saat perayaan nikah dilaksanakan dalam perayan ekaristi.
5.
Peran imam dalam Perayaan Pernikahan
Pada umumnya sebelum membahas satu ritus, perlu dicermati praenotanda,
karena di sana termuat petunjuk dan nilai-nilai yang terkandung dalam suatu
perayaan. Namun karena keterbatasan waktu, artikel ini tidak membahas isi OCM.
Diharapkam para pastor dan pastor membaca dan mencermatinya secara pribadi.
1.
Ritus Pembuka: Menyambut pengantin
Dalam ritus pembuka, OCM memberi arahan tentang peran imam; imam menyambut
mempelai di depan gereja. “Selamat
datang, kami menyambut kalian di sini …” Di sini peran imam adalah
perwakilan gereja atau rapresentasi gereja yang bergembira atas pernikahan
umatnya, atau salah seorang dari anggota gereja. Maka peran pastor dalam ritus
pembuka ini adalah menyambut pengantin.
Catatan penting. Acara penyambutan ini boleh ada dan boleh tidak; diberi
peluang untuk membuat sedemikian sehingga dapat mengakomodasi kekayaan budaya.
Karena itu bila dilihat ritus bahasa toba, penyambutan dibuat berdasarkan
budaya toba “Horas ma di hamu saluhutna”. Dalam ritus bahasa Indonesia imam
langsung mengatakan “Semoga Allah memberi
rahkat dan berkat, adar saudara-saudarai menghadap kepada-Nya dengan hati suci”
Dalam bahasa latin tidak dialig antara pihak keluarga pengantin dengan pastor.
Ini adalah khas Indonesia, untuk mengakomodasi kebiasaan budaya setempat. Dalam
bahasa latin imam langsug mengucapkan selamat datang kepada hadirin. “
Mengapa dalam hal ini gereja sangat fleksibel? Karena secara umum dalam
liturgi kita dapat memodifikasi ritus pembuka (perayaan malam paska). Selain
itu doalog dalam ritus pembuka tidak merupakan inti dari perayaan. Perayaan
baru mulai sesudah imam membuka dengan Tanda Salib.
2.
Liturgi Sabda: Homili
Di dalam menyampaikan homili imam berpesan sebagai gembala yang sedang
menyampaikan pengajaran. Ini bagian dari tugas pokok para imam. Pada saat ini
imam adalah pusat konsentrasi. Namun bukan karena imamnya melainkan karena
kata-kata yang sampaikannya dalah “pecahan-pecahan Sabda yang baru saja
didengakan di dalam bacaan-bacaan. Dengan kata lain imam sedang memamahkan
Sabda Allah.
Di dalam praenotanda, OCM menandaskan bahwa homili adalah bagian dari tugas
pendampingan dan pengajaran gereja terhadap umatnya. Artinya homili adalah
tanggung jawab sekaligus kewajiban para imam, sebagai gembala umat di paroki. Oleh
karena itu homili atau imam tidak memiliki memberi bobot yuridis terhadapa
sakramen pernikahan yang sedang berlangsung. Homili memiliki kekuatan reflektif
dan daya ilahi untuk mengarahkan umat menghayati janji pernikahan. Dengan kata
lain, seandainya terjadi, secara yuridis tanpa homili, pernikahan tetap sah,
tetapi secara moral dan teologis homili wajib diwartakan di tengah umat.
3.
Pernyataan mempelai
Sesudah homili ada ritus tambahan, yakni meminta restu kepada orang tua
atau biasa disebut sungkeman. Acara
sungkeman ini tidak ditemukan dalam teks latin. Demikian juga di dalam
terjamahan bahasa inggris dan italia, acara sungkeman tidak dimuat. Artinya ini
adalah khas Indonesia. Ini suatu usaha inkulturasi dalam ritus pernikahan. Oleh
karena itu KWI memberi bahwa acara ini boleh ada boleh tidak ada.
Di dalam teks latin, sesudah homily imam menyelidiki calon mempelai. Untuk
mengerti lebih jelas, bandingkan dengan scrutinium pada perayaan kaul kekal
kaum religius. Dalam penyelidikan imam menyelidiki tentang: status bebas,
kesetiaan dan kesediaan menerima dan mendidik anak mereka. “sungguhkah kalian dengan hati bebas dan
tulus ikhlas hendak meresmikan perkawinan ini?” Pertanyaan ini berguna
untuk pengantin yang sedang berdiri.
Dalam hal ini imam mewakili gereja untuk menanyakan kesungguhan kedua
mempelai. Dalam acara ini imam tidak memiliki kekuatan untuk membatalkan atau
menyanggah jawaban mempelai. Dalam dialog ini tampak bahwa yang pengantin
adalah causa eficiens atau persona
yang membuat ada pernikahan “sungguhkan kalian … meresmikan perkawinan ini”? Pengantin
adalah subyek penentu. Artinya pertanyaan imam dimaksud untuk menyadarkan kedua
mempelai akan apa yang sedang terjadi dan apa yang akan terjadi, bukan demi
sahnya. Apabila salah seorang saja dari mempelai mengatakan “saya tidak
sungguh, saya ragu-ragu” maka perayaan harus dibubarkan. Imam tidak memiliki
hak apa pun untuk melanjutkan karena pelaku tidak bersedia. Ini mau menunjukkan
peran imam tidaklah menentukan untuk membentuk suatu pernikahan.
4.
Konsensus
Pernyataan mempelai sangat berkaitan langsung dengan konsenssus. Imam
meminta kedua mempelai untuk berjabat tangan, kemudian mengungkapkan janji
pernikahan secara bergantian.”Saya … memilih engkau …” Di sini subyek adalah
kedua mempelai. Kalimat consensus itu ditujukan kepada pasangan, tanpa sedikit
pun intervensi dari saksi, termasuk saksi utama. Dengan kata lain imam dan saksi sama sekali
tidak berperan apa pun selain mendengarkan janji itu.
Catatan penting. rubrik OCM tidak memberi instruksi bahwa pastor boleh mengenakan
stola di tangan kedua mempelai. OCM juga tidak memberi instruksi bahwa kedua tangan
mempelai diletakkan di atas Kitab Suci. Teks consensus juga tidak menyebutkan
“demikianlah janji yang kusampaikan di atas Kitab Suci” Stola sama sekali tidak
menambah bobot dan nilai apa pun terhadap kesahan dan kedalaman janji
pernikahan. Malah menimbulkan pertanyaan di kalangan umat, yang sering dijawab
oleh para imam dengan jawaban yang berbeda-beda, yang barangkali tidak dapat
ditelusuri apa dasarnya.
5.
Saksi
Dalam consensus ini imam berdiri menghadap kedua mempelai yang mengucapkan
consensus. Bersama dengan imam ada dua umat awam yang berfungsi sebagai saksi. Dalam
teks latin tidak disebut bahwa butuh saksi dari awam. Dalam hal ini saksi kedua
saksi tidak memiliki fungsi apa pun selain fungsi praktis yakni saksi saksi
peristiwa dan saksi sejarah. Tanpa saksi itu pernikahan tetap sah, karena saksi
utama adalah imam sendiri. Di dalam paroki tertentu, secara implisit diberi
wewenang yuridis untuk menentukan nasib pernikahan: “menurut saudara apakah ada kalangan yang
dapat membatalkan pernikahan ini?” Bila saksi “bermain” atau sengaja ingin
mengacaukan pernikahan karena dendam, dapat membubarkan pernikahan, misalnya
dengan menjawab “ada, menurut si anu dia memiliki hubungan gelap dan istri di
sana”.
Di dalam teks lain dan teks bahasa lain seperti bahasa inggris dan italia,
tidak ada peran saksi dalam hal ini. Menurut penuturan Pater Emmanuel
Sembiring, OFMCap (Ketua KOMLITKAM), peran saksi ini hanya ada di dalam ritus
bahasa Indonesia. Ketika para pegiat liturgi post consili vatikan II
menterjemahkan dan menyusun teks upacara pernikahan mereka memasukkan unsur
itu. Mungkin sebagai upaya inkulturasi atau sebagai perpadanan dalam kasus
sipil.
6.
Penerimaan kesepakatan (consensus)
Sesudah mendengarkan janji atau consensus, imam mengatakan: “Semoga Tuhan mempeteguh janji, yang sudah
kalian nyatakan di hadapan Gereja dan berkenan melimpahkan berkat-Nya kepada
kalian berdua”. Ini adalah harapan gereja dan umat Allah. Selanjutnya imam
mengatakan: ” Yang dipersatukan Allah, jangan diceraikan manusia.” Ini adalah
pesan biblis. Jadi kalimat ini tidak memiliki efek yuridis, selain bentuk
harapan dan nasihat kepada mempelai.
7.
Ritus tambahan
Ritus tambahan yang dimaksud adalah: saling memberikan cincin, membuka
kerudung (velatio nuptialis), memberikan tanda-tanda budaya dan barang-barang
devosional. Di sini ada unsur mempertahankan tradisi dan mengupayakan
inkulturasi. Pemberan cincin dan membuka kerudung adalah dua hal yang sangat
tua dalam upacara pernikahan. Dahulu kala upacara pernikahan, juga pemberian
cincin dan membuka kerudung, dilaksanakan di luar campur tangan gereja. Ini
sungguh urusan sipil, konkritnya kedua belah pihak. Mengingat ini, OCM memberi
keterangan bahwa ritus ini sebagai tambahan. Kedua tanda ini hanya simbol atau
pengingat bahwa mereka sudah berkeluarga, sudah ada yang memiliki. Dengan
demikian cincin itu bernilai sesudah dibangun pernikahan. Itu berarti cincin
tidak memberi bobot ontologis atau konstitutif terhadap janji atau consensus. Demikian
juga halnya dengan tanda budaya dan barang devosional, itu tidak menambah dan
tidak mengurangi bobot perikahan.
8.
Berkat bagi Mempelai
Banyak pelayan pastoral, terutama para imam, melihat bahwa penempatan doa
berkat sebelum komuni tidak tepat. Alasan mereka pada umumnya adalah alasan
praktis; sesudah pernyataan consensus adalah amat praktis langsung diikuti
dengan doa berkat. Menempatkan doa berkat sebelum komuni terkesan memisahkan
ritus menjadi dua bagian. Argumen ini dibangun dengan membandingkan ritus
pemberkatan nikah dengan ritus sakramen pentahbisan atau ritus pengikraran kaul
kekal. Dalam kedua ritus itu, doa pentahbisan penutup dari aksi liturgi
penahbisan, sebelum persembahan. Pertanyaan mengapa tidak dibuat demikian?
Sebelum menjawab pertanyaan ini perlu diluruskan sejarah dan dinamika perkembangan terbitnya Upacaa Pernikahan. Pada tahun
1976 PWI menerbitkan buku Upacara
Perwakinan. Buku ini merujuk pada OCM editio
typica tahun 1969. Di buku Upacara
Perkawinan ini doa berkat
dilangsungkan sebelum komuni, sama seperti yang terdapat dalam ritus bahasa
latin. Perlu disadari bahwa sejak tahun penerbitan itu tidak ada revisi sampai
tahun 2010. Ritus ini masih dikenal dan dilaksanakan oleh para pastor yang
ditahbiskan tahun 1980-an. Namun dalam perkembangan selanjutnya, ada imam yang
kreatif menyusun tata perayaan perkawinan sendiri, dengan menempatkan doa
berkat, seperti yang terdapat pada ritus pentahbisan. Hasil kreasi ini
diproduksi dan diteruskan sekian lama sampai tahun 2000-an. Celakanya, kreasi
yang kurang tepat ini menjadi popular, sehingga seolah-olah itu benar. Pada
tahun 2010, ketika KWI untuk merevisi Upacara Perkawinan tahun 1979, kita
merasa bahwa isi buku TPP itu adalah baru. Mengapa direvisi buku perkawinan,
karena Vatikan juga merevisi OCM 1969 dengan editio altera tahun 1990/1.
Kita perlu memahami kembali arti dan bobot doa pentahbisan bagi calon
tertahbis (calon imam dan calon uskup). Dalam pentahbisan aksi ritual,
menumpangan tangan atas calon tertahbis, dan doa berkat merupakan satu
kesatuan. Dalam hal ini aksi dan doa adalah satu kesatuan. Unsur epiclesis melekat erat dalam doa berkat.
Sebagaimana dalam tradisi biblis, penumpangan tangan adalah saat mengundang Roh
Kudus, demikian juga dalam pentahbisan. Unsur epiclesis ini menyempurnakan aksi liturgis sebelumnya. Ini merupakan
bagian konstitutif dalam upacara pentahbisan.
Di dalam Tentu berkat untuk mempelai tentu ada unsur epiclesis tetapi tidak memiiki efek yuridis konstitutif, seperti
pada sakramen imamat, karena yang membuat pernikahan ada adalah consensus. Maka berkat disini fungsi dan
bobotnya sama dengan berkat devosional. Namun berkat untuk mempelaid disusun
menurut tradisi doa berkat Gereja; dimulai dari Pernjanjial Lama kemudian ke
Perjanjian Baru dan disempurnakan di dalam Kristus.
Di dalam upacara pernikahan, hakikat berkat untuk mempelai selaras dengan
makna ritus komuni, yakni pengurbanan dan persatuan Kristus dalam rupa roti
anggur umat dengan tubuh-Nya, yaitu Gereja. Dengan demikian ditekankan dimensi
pengurbanan perkawinan kritstiani.
Ide teologis kurba didasari munculnya perkembangan teologi. Dari
surat-surat Paulus kita mengetahui bahwa hubungan suami dan istri diangkat ke
tingkat sakramen. Hubungan suami – isteri dilihat sebagai sakramen Kristus
dengan mempelai-Nya. Dimensi pengurbanan Yesus tampak jelas dalam penyaliban,
yang kini kita rayakan dalam ekaristi. Dimensi pengurbanan di salib, yang kini
dalam komuni, hendaknya menjadi model keluarga kristiani. Maka dengan
menempatkan doa berkat sebelum komuni, gereja hendak mengaitkan kurban Kristus
dan dengan kurban suami-istri sebagai model pernikahan kristian. Dengan kata
lain, gereja mau menunjukkan kepada pengantin secara kasat mata bahwa hidup
mengurbankan diri di dalam kelaurga, bermodelkan pengurbanan Kristus yang kini mengorbankan
diri-Nya dalam rupa roti anggur.
9.
Ekses sentralisasi imam dalam ritus pernikahan
Beberapa gejala yang
barangkali dapat disebut sebagai ekses semtralisasi peran imam dalam peryaan
pernikahan adalah; melilitkan stola pada tangan mempelai, anggapan bahwa doa
berkat mempelai disejajarkan dengan doa consekrasi tahbisan imamat atau pengikraran
kaul. Ada perbedaan mendasar antara doa kosekrasi tahbisan dengan doa berkat
pengantin. Dalam sakramen imamat misalnya doa konsekrasi melekat erat degan
kelesuruhan aksi liturgi pentahbisan. Namun dalam sakramen perkawinan tidaklah
demikian. Sesudah mempelai saling memberikan dan saling menerima consensus
sesungguhnya sakramen pernikahan sudah terjadi. Praktisnya boleh pulang.
Hal-hal lain merupakan tambahan; cincin, membuka kerudung, tanda-tanda lainnya
merupakan tambahan yang sama sekali tidak menambang dan mengurangi eksistensi
ontologis janji pernikahan yang sudah diucapkan. Tanpa dan dengan itu semua
pernikahan sudah sah dan sudah konstitutif.
Berjanji dengan berjabat tangan membentu persekutuan satu sama lain. Gereja
melihat pernikahan tidak hanya persekutuan hidup diantara kedua mempelai,
tetapi juga melambangkan persekutuan Kristus dengan mempelainya yaitu gereja.
Persekutuan kedua mempelai disempurkan dengan persektutan dengan Kristus, yang
dirayakan dalam ekaristi. Oleh karena itu doa berkat ditempatkan sebelum
menerima komuni. Dengan ini mau ditegaskan, persektuan kedua mempelai kini
disempurnakan dengan persekutuan dengan Kristus.
Penutup
Dalam sejarah
perkembangannya, pesta pernikahan adalah urusan kalangan masyarkat sipil, tanpa
campur tangan gereja. Kita tahu semua tahap dalam ritus pernikahan diurus oleh
kedua mempelai. Dari sejarah kita ketahui bahwa tradisi tukar cincin, janji,
berkat dan kerudung bukanlah tradisi gereja. Juga diketahui bahwa konsens
merupakan unsur konstitutif dalam pernikahan.
Peran imam atau gereja beru ditemukan pada abad ke-8, yakni di dalam buku sacramentarium; itu pun sangat kabur.
Pada abad ke 17 khususnya tahun 1614 Paus Pius V menerbitkan Rituale Romanum
yang di dalamnya kita menemukan peran
para imam yang mulai sangat tampak: scrutinium, meneguhkan dan memberkati.
Sesudah Konsili Vatikan II, Kongregasi Ibadat menerbitkan OCM editio tipica tahun 1969. Dalam atmosfer
pembaruan konsili ini PWI menerbitkan buku Upacara Perkawinan. Dalam perjalana
sejarah ritus di Indonesia, muncul kreativitas para imam untuk membuat ritus
sakramen pernikahan, dengan memasukkan unsur-unsur baru dan mengubah hal-hal
tertentu. Buku ini menjadi model bagi umat dan imam-imam baru, sedangkan
terbitan PWI tidak dipakai.
Pada tahun 2010 KWI menerbitkan buku TPP dengan tetap setia mengikuti OCM editio altera 1991 dan memasukkan unsur
baru. Oleh kalangan umat atau imam, buku ini dirasa kurang praktis, membawa
perubahan dengan memisahkan doa berkat mempelai dari consensus.
KWI setiap pada ritus latin. Penempatan doa berkat mempelai sebelum komuni
merupakan tradisi dari editio tipica.
Penempatan ritus berkat itu tentu dengan alasan dan intensi yang kuat.
Sumber Kepustakaan
1.
Kongreasi Ibadat
Ilahi dan Tata Tertbi Sakramen, Ordo
Celebrandi Matrimonium (editio typica), Vatikan, 1979.
2.
Konferensi
Waligereja Indonesia, Tata Perayaan Perkawinan,
Obor, Jakarta, 2013.
3.
Komisi Liturgi
Keuskupan Agung Medan, Ruhut ni Liturgi Pardongansaripeon,
Bina Media, Medan, 2018.
4.
S. Bocchin, La verginità: “professata, celebrata,
confessata”. Contributo per la sua comprensione teologico-liturgica dall’Ordo consecrationis
Virginum, Bibliotheca «Ephemerides Liturgicae» «subsidia» 151, CLV edizioni
liturgiche, Roma 2009.
5.
A.M. Triacca, Matrimonio e verginità.
Teologia e celebrazione per una pienezza di vita in Cristo, ed. M. Sodi -
F. Attard, Monumenta studia instrumenta
liturgica 39, LEV, Città del Vaticano 2005.
6. Colombo
G., “Matrimonio”, dalam Dizionari San Paulo: Liturgia, D. Sartore-A.M. Triacca,
San Paolo, (2001)1150-1163
Posting Komentar
Terima kasih atas Partisipasi Anda!