Oleh Sdr. Henrik Jonan
1. Pengantar
Entah kapan dimulai, sejak beberapa waktu terakhir ini beberapa saudara selalu memakai kata Pace ketika mereka menyapa diriku. Saya heran dengan sapaan itu, pada hal namaku bukan Pace tetapi saudara Henrik Jonan. Awalnya sapaan ini sungguh mengganguku dan berat rasanya sapaan seperti itu kuterima. Setahu saya sapaan pace itu adalah sapaan yang dipakai oleh orang Papua untuk orang yang lebih tua. Dalam bahasa Papua, kata pace berarti Bapak (dipakai Mace untuk sapaan kepada ibu) yang berkeluarga dan memiliki anak. Sepintas saya berpikir apakah para saudara yang selalu menyapa saya dengan kata pace sungguh mengetahui apa arti ucapan pace. Saya kan masih mudah, biarawan, saudara Kapusin dan bukan seorang bapa rumah tangga. Itulah keberatan saya ketika para saudara selalu menyapaku pace. Pikirku, “Sapaan ini mengejek bah”Saya sudah bosan meyakinkan para saudara untuk tidak menyapa saya dengan nama itu, saya pasrah juga tapi…. “Terserahlah…” pikirku. Karena para saudara juga selalu menyapa saya dengan pace. Bahkan ucapan ini sering keluar datang dari ucapan saudara lain seperti Pastor Aris, Pastor Domba dan Pastor Yulius dan saudara lain juga.
2. PACE Bermakna dalam Kata dan Tindakan
Akan tetapi baru saya sadari kalau sapaan pace untuk diriku itu adalah sesuatu yang bermakna untukku sebagai seorang saudara Dina Kapusin. Bermakna bukan berarti sapaan menguji sikap kerendahan hati saya untuk tahan ejekan dari para saudara. Tetapi saya melihat lebih dalam lagi bahwa sapaan itu sungguh sarat makna. Makna terdalamnya tertemukan dalam sapaan Bapak Serafik kita santo Fransiskus, PACE E BENE, yang berarti damai dan kebaikan. Maka, Aha Erlebnist,…toho do marlapatan do hata ni pace i.
Damai sangat akrab dalam kata dan karya Santo Fransiskus. “Semoga Tuhan memberi engkau damai,” (wasiat 8:23). Ungkapan lain Fransiskus tentang damai dapat kita temukan dalam ajakannya, “ …hendaklah mereka itu murah hati dan suka damai, sopan santun dalam berbicara dengan semua orang.” (Angbul Pasal 3 ayat 11). Kepada para saudara yang hendak bepergian ke dunia fransiskus menasehatkan, “Di rumah mana pun mereka masuk, hendaklah mereka mengatakan lebih dahulu: Damai sejahtera bagi rumah ini…”. (Angbul Pasal XIV ayat 2). “...damai yang sejati dari surga serta kasih yang tulus ikhlas kepada Tuhan.” (2 SurBerim ayat 1). “Saudara Leo, saudaramu Fransiskus menyampaikan kepadamu salam dan damai (Surat Kepada saudara Leo ayat1). “semoga Ia mengarahkan pndangan-Nya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera,” (Berkat untuk saudara Leo ayat 2).
Santo Fransiskus melihat kata damai sebagai sebuah kata yang sungguh menggerakka dan menghidupkan. Damai itu menggerakkan seluruh hidupnya karena memang damai itu berasal dari Allah. Damai itu menjadi milik Fransiskus dalam kata dan tindakan. Damai itu sangat berguna bagi Fransiskus dan para saudaarnya, karena berasal dari Allah. Damai telah dialami dan telah dibagikan Fransiskus baik itu kepada orang beriman, umat muslim dan umat tak beriman. Bagi Fransiskus Damai menjadi tolok ukur kebahagiaan seseorang. Oleh karena itu Santo Fransiskus mengajak para saudara pengikutnya untuk menghidup damai dalam kata dan tindakan. Damai sangat diperlukan ketika ada perang dan kesusahan hidup melanda hidup manusia. Damai menaklukan rasa dendam dan kecemasan dalam diri para saudara.
3. Saudara Kapusin adalah PACE
Kita sebagai saudara Dina Kapusin bisa disapa Pace oleh saudara lain dan memanggil pace kepada saudara sebagai pengganti namanya. Nama pace adalah tanda sekaligus identitas diri saudara Kapusin. Kita dipanggil menjadi kapusian untuk menjadikan PACE sebagai bagian dari hidup yang teralami. Pace menjadi tolok ukur untuk kualitas kebahagiaan kita. Kita dipanggil PACE untuk membagikan PACE dari Allah kepada yang lain, agar kita disebut pembawa PACE dari Allah. PACElah kita. Horas, Pace E Bene!
Posting Komentar
Terima kasih atas Partisipasi Anda!