Senja menurunkan cahaya keemasan di Pelabuhan Sibolga. Ombak datang silih berganti, menyapu tiang-tiang dermaga yang mulai lapuk dimakan waktu. Burung-burung camar berputar rendah di sekitaran bagan, sementara teriakan nelayan bercampur dengan aroma ikan asin khas Sibolga yang terbawa angin. Laut sore itu tampak seperti cermin besar. Berparas tenang di permukaan, namun menyimpan riak yang sulit ditebak.
Di ujung dermaga, duduklah seorang pria muda. Aleksandro, anak rantau yang baru saja kembali setelah bertahun-tahun menjauh dari kota kelahirannya. Koper kecil lusuh yang rebah di sampingnya seolah menjadi saksi perjalanan panjang yang ia jalani, penuh harap sekaligus luka. Namun, di hadapan laut yang membesarkannya, ia merasa seakan orang asing di rumah sendiri.
Pandangannya menerobos ke air yang berkilau, lalu kenangan lama muncul. Dulu, saat kanak-kanak, dermaga ini adalah dunia kecilnya. Ia berlari di papan kayu bersama teman-teman, tertawa sambil melempar batu ke laut. Kadang ia duduk di pangkuan ayahnya, mendengarkan cerita tentang nelayan-nelayan tangguh yang berani menghadapi samudra. Dermaga adalah tempat di mana ia belajar bermimpi.
Kini, semua itu tinggal jejak samar. Dermaga yang dulu menyambutnya dengan riang kini seperti menyimpan pertanyaan. Ada rindu yang menekan dadanya, tetapi juga keraguan yang membuat langkahnya berat. Dalam hening, Aleksandro bertanya pada dirinya sendiri:
“Apakah aku benar-benar pulang, atau hanya singgah sebentar sebelum kembali hanyut di lautan yang entah?”
Aleksandro menarik napas panjang. Angin laut yang dulu terasa akrab kini menusuk seperti tamu yang asing. Ia kembali, tetapi tak membawa apa-apa selain cerita tentang kegagalan yang tak pernah ia rencanakan. Di tanah rantau, banyak mimpinya karam sebelum sempat berlayar jauh. Pekerjaan yang ia perjuangkan hilang begitu saja, sahabat yang ia percayai pergi, bahkan cinta yang pernah menguatkannya luruh tanpa jejak.
Kini, ia duduk di dermaga yang sama, tetapi dengan hati yang berbeda. Seperti perahu yang kembali tanpa tangkapan, ia merasa kosong. Ada rasa malu menekan dadanya, malu karena pulang tanpa kabar gembira, malu karena tak bisa menunjukkan hasil dari perjalanan panjangnya.
Ia menatap laut yang bergelombang, dan dalam benaknya muncul pertanyaan yang terus menghantui:
“Apakah pulang berarti mengakui kekalahan? Apakah aku masih pantas diterima di tempat ini? Atau lebih baik aku berlayar lagi, menjauh, hingga tak seorang pun perlu tahu bahwa aku pernah gagal?”
Riak laut menjawabnya dengan suara lirih, namun hatinya tetap tak menemukan kepastian. Yang ia tahu, dirinya terombang-ambing, tak sepenuhnya ingin tinggal, dan tak sepenuhnya berani pergi.
Dalam riak laut, kembali ia melihat seorang lelaki yang lelah, jauh berbeda dari pemuda penuh semangat yang dulu berangkat meninggalkan dermaga itu. Ingatannya melayang pada masa rantau, masa di mana ia percaya segala sesuatu akan lebih mudah di kota besar.
Di sana, ia mengenal Kevin, sahabat yang awalnya berjalan bersamanya dalam suka dan duka. Kevin-lah yang menolongnya mencari tempat tinggal, berbagi roti ketika hari-hari terasa sulit, dan mendengar keluhannya saat malam begitu panjang. Mereka sering bercakap tentang mimpi, tentang suatu hari akan kembali ke kampung halaman dengan keberhasilan yang bisa dibanggakan.
Namun kenyataan berjalan lain. Seiring waktu, langkah mereka terpisah. Kevin menemukan jalannya sendiri, meraih apa yang dulu hanya mereka impikan. Sementara Aleksandro tertinggal, terjebak dalam lingkaran kegagalan. Persahabatan itu perlahan menjauh, bukan karena kebencian, melainkan karena perbedaan nasib yang makin lebar.
Kenangan itu menekan hatinya. “Bahkan sahabatku bisa berjalan lebih jauh dariku. Lalu apa yang kucapai? Untuk apa aku pulang?” batinnya bergetar.
Aleksandro makin merasa dirinya seperti kapal yang berlayar terlalu jauh, kehilangan arah, dan kini kembali dengan layar yang koyak. Ia ingin percaya bahwa pulang adalah keputusan tepat, tetapi keraguan terus menahannya. Dermaga Sibolga beserta isinya, yang dulu menyimpan tawa masa kecilnya, kini berubah menjadi cermin yang mempertanyakan harga dirinya.
Riak ombak terus berkejaran tanpa memperdulikan perasaannya yang seolah mengikuti gelisah berkecamuk di dada Aleksandro. Pandangannya tertuju pada perahu-perahu nelayan yang kembali ke pelabuhan dengan jaring penuh hasil laut. Ia tersenyum pahit. Dulu, ketika masih kecil, ia sering ikut ayahnya menyambut perahu seperti itu. Ayah selalu berkata, “Kapal boleh berlayar jauh, tapi akhirnya akan pulang juga. Tak ada kapal yang ditakdirkan selamanya di lautan.”
Kata-kata itu kini terasa menohok. Ayahnya telah lama tiada, meninggalkan ibu yang masih menunggu di rumah kecil di pinggir laut Sibolga, Panomboman nama tempatnya. Ingatan tentang ibunya membuat dada Aleksandro semakin sesak. Ia masih bisa membayangkan sosok perempuan renta itu duduk di beranda, menanti kabar dari anak bungsu yang ia lepaskan ke tanah rantau dengan doa dan air mata.
Namun yang membuatnya takut adalah kenyataan: ia pulang bukan dengan kebanggaan, melainkan dengan tangan hampa. Bagaimana mungkin ia menatap mata ibunya, setelah bertahun-tahun ia menjanjikan akan kembali sebagai anak yang berhasil?
Pikirannya semakin kacau. Antara rindu yang membuncah dan rasa malu yang menahan langkah, Aleksandro seolah terjebak di persimpangan. Ia ingin berlari memeluk ibunya, tetapi suara hatinya berbisik: “Apa yang bisa kau bawa untuknya selain kecewa?”
Dermaga itu menjadi saksi bisu dari pergulatan seorang anak rantau yang merasa terasing di kampung sendiri. Terjebak antara keinginan untuk pulang dan ketakutan untuk diterima.
Tiba-tiba langit yang semula jingga berubah muram. Angin laut berembus lebih kencang, membuat perahu-perahu kecil bergoyang di tambatan. Ombak yang tadinya tenang mulai meninggi, menghantam tiang-tiang dermaga dengan suara keras. Aleksandro terdiam, matanya mengikuti riak yang pecah berulang kali.
Ia merasakan gelombang itu di dalam dirinya sendiri. Begitu lama ia mencoba berdiri tegar di tanah rantau, tetapi kenyataannya ia tak lebih dari layar yang koyak, mudah dihempas angin. Ia ingin pulang, namun hatinya berteriak: “Pulang adalah kalah.” Ia ingin berlayar lagi, tapi tubuhnya sudah letih, seperti kapal yang kehilangan tenaga.
Bayangan wajah ibunya muncul, bercampur dengan suara sahabatnya, Kevin, yang kini jauh melangkah di depan. Luka itu menekan dada, membuatnya hampir sulit bernapas. Untuk sesaat, Aleksandro merasa dirinya seperti perahu tanpa dermaga; tak ada tempat berlabuh, tak ada arah untuk berlayar.
“Ombak ini seperti aku,” bisiknya lirih. “Datang berulang, berisik, tapi tak pernah benar-benar tenang. Aku terseret, tak tahu ke mana harus kembali.”
Di sekitarnya, pelabuhan tetap riuh: nelayan berteriak, anak-anak berlari, camar berputar rendah di udara. Namun, bagi Aleksandro, semuanya lenyap. Yang tersisa hanyalah dirinya dan laut yang semakin bergelora; dua jiwa resah yang saling bercermin.
Di dalam hatinya, suara Kevin kembali terdengar: “Kita semua punya jalannya, Sandro. Jangan takut pulang kalau memang itu jalanmu.” Tetapi suara itu berubah menjadi sindiran dalam pikirannya sendiri, seakan Kevin sedang menegaskan betapa ia telah gagal menapak jalan yang dulu mereka rancang bersama.
Langkahnya maju setapak, lalu mundur lagi. Ia sempat berpikir untuk kembali menaiki kapal, meninggalkan Sibolga sekali lagi tanpa jejak. Mungkin di kota lain, ia bisa memulai dari awal. Namun, begitu ia menoleh ke laut, ombak yang membadai seperti menertawakan pikirannya. Kapal kecil yang memaksa keluar dari pelabuhan justru terombang-ambing, seolah mengingatkan bahwa laut tak selalu ramah bagi mereka yang kehilangan arah.
Aleksandro menutup mata. “Kalau aku terus lari, sampai kapan aku akan menemukan tenang?” bisiknya, hampir tak terdengar oleh dirinya sendiri.
Hatinya remuk, seperti tiang kayu dermaga yang dihantam gelombang berkali-kali. Ia berada di titik rapuh antara berlari lagi atau menyerahkan dirinya pada kenyataan yang menakutkan: pulang dengan segala luka dan kekosongan.
Pelan-pelan, angin reda. Ombak yang tadi menggila mulai mengendur, menyisakan riak lembut yang berkilau oleh sisa cahaya senja. Suara hempasan air tidak lagi terdengar seperti teriakan, melainkan seperti bisikan yang menenangkan.
Aleksandro membuka mata, menatap laut yang kini tampak jinak. Ia tertegun: bagaimana sesuatu yang begitu garang beberapa saat lalu bisa berubah begitu damai? Dalam keheningan itu, ia merasa ombak berbicara kepadanya. “Aku bergejolak, tetapi akhirnya aku kembali juga ke pantai. Itulah caraku pulang.”
Kalimat itu menancap dalam-dalam di hatinya. Pulang bukan soal menang atau kalah. Pulang adalah keberanian untuk menerima bahwa hidup tak selalu sesuai dengan rencana. Pulang adalah kerendahan hati untuk mengakui rapuhnya diri, sekaligus keyakinan bahwa di rumah ada pelabuhan yang tak pernah menolak kedatangan.
Aleksandro menarik napas panjang. Beban yang tadi menindih dadanya perlahan luruh, seperti pasir yang dibasuh gelombang. Ia masih takut menghadapi ibunya, masih malu pada kegagalan yang membayanginya. Tetapi kini ada keberanian kecil yang tumbuh, keberanian yang datang dari laut itu sendiri: keberanian untuk berhenti melarikan diri.
Langkahnya maju lagi, kali ini lebih mantap. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi saat mengetuk pintu rumah. Tetapi setidaknya ia sudah menemukan jawabannya di dermaga: setiap pelayaran, betapa pun jauh dan berliku, selalu ditakdirkan menemukan jalan pulang.
Senja pun kian menua, meninggalkan jejak jingga tipis di langit barat. Aleksandro melangkah perlahan meninggalkan dermaga, hatinya masih bergetar oleh pesan laut yang baru saja ia pahami. Di tengah langkah ragu itu, sebuah suara memanggil dari belakang.
“San!”
Ia menoleh. Dari kejauhan, Kevin berdiri di ujung dermaga, wajahnya sedikit lelah tetapi matanya penuh ketulusan. Sejenak Aleksandro terdiam, seolah tak percaya sahabat yang selama ini terasa jauh kini hadir kembali.
Kevin berjalan mendekat, menepuk bahunya pelan. “Aku tahu kau akan kembali ke sini,” katanya singkat. Aleksandro menelan ludah, berusaha menahan getar dalam suaranya. “Aku takut, Kev. Takut dianggap gagal. Takut pulang dengan tangan kosong.”
Kevin menatapnya dalam, lalu tersenyum tipis. “Pulang itu bukan soal apa yang kau bawa, San. Pulang itu soal keberanianmu untuk datang. Rumahmu selalu menunggu, meski kau merasa tak punya apa-apa.” Kata-kata itu menembus seperti cahaya pertama setelah badai. Aleksandro merasa dadanya lapang. Ia tersenyum samar, menatap laut yang kini berdesir lembut.
Di belakang mereka, ombak seakan ikut merestui perjumpaan itu. Ombak yang tadi keras kini berbisik damai, menjadi lagu penutup dari pergulatan panjang Aleksandro. Ia menatap Kevin sejenak, lalu ke laut, dan akhirnya ke jalan yang membawanya pulang. Untuk pertama kalinya sejak lama, langkahnya tidak lagi digelayuti rasa takut, melainkan ditemani keyakinan. Setiap ombak, betapapun kerasnya, pada akhirnya selalu mengajarkan arah pulang.
*** Pace e Bene ***
Posting Komentar
Terima kasih atas Partisipasi Anda!