MENINGKATKAN
PARIWISATA DANAU TOBA:
BUKAN
KONSEP UTOPIS?
Sangat
diapresiasi kebijakan pemerintah terhadap pembangunan kawasan Danau Toba. Tidak
tanggung-tanggung. Tujuannya ialah menjadikan kawasan Danau Toba sebagai
kawasan pariwisata bertaraf internasional. Untuk mempercepat laju pembangunan
tersebut, presiden bersama dengan para kepala daerah di kawasan Danau Toba
membentuk Badan Otoritas Pariwisata Danau Toba. Kunjungan langsung Presiden RI Ir. Joko Widodo beberapa bulan yang lalu
menunjukkan keseriusan perwujudan ide pembangunan di kawasan tersebut.
Terlepas
dari konsep kawasan Danau Toba menjadi Monaco
of Asia, sebenarnya sudah lama Danau Toba dan pulau Samosir sebagai incaran
wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Penulis yang lahir di pulau Samosir
telah menyaksikan bagaimana tourist
mancanegara sungguh menikmati alam indah pulau Samosir dan segala potensi
wisata di dalamnya yang sekarang akrab disebut dengan Negeri Indah Kepingan
Surga. Salah satu daerah tujuan wisata di
Samosir ialah Danau Sidihoni. Danau ini terletak di daerah pegunungan Pulau
Samosir. Christine Schreiber, seorang peneliti berkebangsaan Jerman menuliskan
banyak hal tentang Sidihoni. Hasil penelitian tersebut telah dipublikasi dalam
bahasa Jerman yang berjudul “SIDIHONI:
Perle im Herzen Sumatras I” (Sidihoni: Mutiara di Jantung Sumatera). Buku
tersebut tidak terutama mengulas topografi Danau Sidihoni yang dikenal dengan danau di atas danau.
Dalam buku tersebut Christine Schreiber mengulas Sidihoni dari perspektif antropologi. Gambaran kehidupan dan ulasan
budaya masyarakat di wilayah tersebut menjadi ulasan utama dalam buku yang
merupakan hasil penelitian warga negara Jerman yang telah dinobatkan menjadi
boru Simalango.
Jauh
sebelum munculnya cita-cita pemerintah untuk merealisasi Samosir sebagai Negeri
Indah Kepingan Surga telah tampak animo masyarakat internasional untuk mengunjungi
kawasan Danau Toba. Lebih dari sekadar berkunjung, masyarakat internasional
telah menunjukkan simpati dan cinta terhadap masyarakat di kawasan Danau Toba.
Bentuk konkret dari cinta itu telah ditunjukkan Cristina Schreiber dengan mendukung
pembangunan sebuah Rumah Adat Batak Toba di Huta Bolon (Sidihoni, Kabupaten
Samosir) yang sekarang masih terpelihara dengan baik.
Akan
tetapi, laju peningkatan jumlah tourist
ke Danau Toba dan Pulau Samosir memang terkesan lambat. Sangat masuk akal bahwa
laju pertambahan tourist dari tahun ke
tahun tidak meningkat, kalau tidak mau mengatakan stagnan. Penyebabnya jelas, kurangnya sentuhan dari berbagai pihak
untuk menata wajah Danau Toba dan pulau Samosir agar tetap menawan dan layak dipromosikan
bagi dunia internasional. Campur tangan pemerintah diharapkan terutama melalui
kegigihan pemerintah untuk tetap setia menjaga kawasan Danau Toba. Kesetiaan
itu sangat dituntut ketika berhadapan dengan pihak-pihak yang tidak
memperhatikan kelestarian lingkungan hidup Danau Toba. Kebijakan pemerintah
yang tidak boleh ditawar-tawar adalah kebijakan yang pro lingkungan Danau Toba
dan melestarikan situs-situs budaya yang ada di dalamnya.
Patut
disayangkan juga bahwa selama ini pembangunan sarana dan prasarana transportasi
untuk menjangkau daerah wisata di kawasan Danau Toba agak lambat. Hal itu dapat
kita amati bila masa Natal dan Tahun Baru atau hari-hari libur lainnya, antrian
untuk menyeberang melalui Ferry dari Ajibata (Parapat) menuju Tomok (Samosir)
dan sebaliknya sangat panjang. Memang, pemerintah sudah menyediakan sarana
penyeberangan dari Tiga Ras menuju Simanindo dan sebaliknya serta di beberapa
tempat lain. Namun, terobosan-terobosan lain perlu dibuat guna memudahkan akses
para wisatawan menjangkau daerah-daerah wisata di kawasan ini. Pembangunan
sejumlah infrastruktur yang terlalaikan selama ini harus menjadi bahan
perhatian utama.
Sekarang,
angin segar berhembus bagi kawasan ini karena Pemerintah telah menetapkannya
sebagai salah satu destinasi wisata unggulan dari sepuluh destinasi wisata
unggulan di nusantara. Pertanyaannya, kawasan pariwisata yang bagaimana yang hendak
diwujudkan di daerah ini? Kita tahu bahwa masyarakat di kawasan Danau Toba
memiliki budaya yang khas selain panorama alam yang indah. Masyarakat Batak
memiliki budaya yang mengandung nilai-nilai religi dan nilai-nilai filosofi yang
layak dipamerkan ke dunia internasional. Kiranya yang hendak dipromosikan kepada
dunia internasional adalah alam dan segala potensi khas parawisata yang ada di kawasan
Danau Toba. Segala potensi yang khas dan otentik itulah yang hendaknya
dikembangkan sehingga menjadi daya tarik yang khas bagi masyarakat dunia
internasional.
Jika
demikian, pembangunan di kawasan Danau Toba tidak boleh menghilangkan analisis
sosial-antropologi. Analisis ini bersifat fundamental apabila ingin mewujudkan
pariwisata bertaraf internasional di Tanah Batak. Semua pihak tidak
mengharapkan bahwa pembangunan yang bertaraf internasional itu seperti
dipaksakan bagi penghuni kawasan Danau Toba. Pembangunan hendaknya berdasar
pada analisis sosial-antropologi. Berangkat dari analisis sosial-antropologi,
sebanyak mungkin diserap informasi, data dan teori tentang masyarakat di
kawasan Danau Toba. Hal itu berkaitan dengan budaya dan gambaran kehidupan
masyarakat di Kawasan Danau Toba.
Mewujudkan
kawasan Danau Toba menjadi kawasan pariwisata internasional berarti mempercepat
pertemuan masyarakat di kawasan ini dengan masyarakat internasional. Pertemuan budaya setempat dengan budaya luar
akan semakin kental ditambah dengan era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Maka,
analisis antropologi-sosial harus hadir dan aktif sebagai konsultan pemerintah
dalam membangun kawasan Danau Toba. Bila tidak, pembangunan pariwisata bertaraf
internasional di kawasan Danau Toba tidak lain adalah mengganti baju masyarakat
di kawasan Danau Toba yang sekarang ini khas kultural menjadi baju modern.
Berdasarkan analisis antropologi-sosial diminimalisir kecemasan yang timbul dan
tentunya dijunjung optimisme akan masa depan yang semakin cerah di tanah Batak.
Hal
yang tidak kalah perlu untuk kita ketahui ialah bahwa masyarakat di kawasan
Danau Toba memiliki sistem kekerabatan yang terstruktur dan rapi. Realitas
kekerabatan itu bukan mau menujukkan eksklusivitas masyarakat di kawasan ini,
melainkan suatu unsur budaya yang telah terbukti mampu menjaga keharmonisan masyarakat
di kawasan ini. Karena itu, para tokoh masyarakat dari berbagai daerah dan dari
berbagai marga (klan) di kawasan ini hendaknya
dilibatkan untuk memberikan ide sebagai mitra pemerintah dalam mewujudkan
rencana pembangunan.
Seraya
merancang anggaran dan desain pariwisata di daerah ini, pemerintah sudah harus
mengupayakan pendidikan pariwisata ataupun sosialisasi kepariwisataan terhadap
masyarakat di kawasan ini. Maksudnya adalah untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat sebagai masyarakat kawasan pariwisata. Pembangunan fisik dan mental
harus berjalan bersama. Dalam rangka pembangunan mental tersebut, upaya
pendekatan yang sangat elegan ialah pemerintah bekerjasama dengan tokoh-tokoh masyarakat
dan para pemuka agama. Organisasi-organisasi kemasyarkatan dan pemuda juga
hendaknya dianimasi agar menjadi mitra pemerintah dalam mewujudkan pembangunan.
Bagaimanapun,
kebijakan untuk mengelola kawasan Danau Toba sebagai kawasan pariwisata yang
mumpuni tidak terlepas dari cita-cita untuk mensejahterakan masyarakat di
kawasan ini. Masyarakat harus didukung agar tidak tercabut dari akarnya dan
bahkan tidak melarat karena hanya menjadi penonton di tengah riuhnya suasana
pembangunan. Kesejahteraan masyarakat hendaknya menjadi intensitas utama pembangunan.
Dengan demikian, konsep yang digagas pemerintah untuk menjadikan kawasan Danau
Toba sebagai destinasi wisata merupakan konkretisasi cita-cita pemerintah untuk
mewujudkan destinasi wisata unggulan dan
kesejahteraan masyarakat. Bila tidak, konsep tersebut adalah konsep utopis.
Posting Komentar
Terima kasih atas Partisipasi Anda!