SUKACITA DI TENGAH KEMARAU
Fr. Francesco Sinaga OFMCap
Pengalaman
itu masih begitu melekat di dalam hati dan pikiran saya. Semua yang saya alami
selama di sana menjadi sebuah pengalaman yang sangat berharga bagi saya
khususnya dalam bidang pastoral. Hadir di tengah-tengah mereka yang selama ini
merindukan kita adalah mimpi yang terwujud bagi saya. Bukan karena saya adalah
frater yang pada umumnya memang dihormati, tetapi mereka menerima saya dengan tulus
hati. Dan ini menjadi jembatan bagi saya untuk dapat beradaptasi dengan mereka.
Pengalaman ini juga membuatku sedih karena hadir untuk mereka yang miskin akan
harta dunia tetapi lebih miskin akan harta surgawi. Ini sungguh sebuah
pengalaman yang tak terlupakan yang pernah saya alami. Menjadi saudara bagi
mereka adalah tugas utamaku. Berpastoral memang bukanlah yang ada dipikiranku
saat pertama kali menginjakkan kaki di sana, tetapi menjadi salah satu dari
mereka yang merasakan bagaimana sulitnya hidup di tengah kemarau dan dinginnya
cuaca.
*****
Sitatar merupakan salah satu stasi yang ada di
paroki Palipi. Stasi yang memiliki jumlah kepala keluarga yang cukup sedikit
ini mengantarku kepada sebuah permenungan yang cukup mendalam akan pentingnya
bersukacita walau banyak rintangan yang kita hadapi. Frater yang hadir bagi
mereka adalah hadiah besar yang mereka dapat. Kapusin masih begitu mereka kenal
dan hormati dengan baik. “Tuhan yang kasat mata” itulah ungkapan hati mereka
bagi setiap anggota religius yang hadir di tengah-tengah mereka. Sapaan kecil,
senyum manis dari mulut kita mampu menciptakan sukacita kecil di tengah
kegundahan hati. Senyum, sapaan, merupakan hal yang luar biasa yang dimilki
setiap orang untuk menghadirkan kegembiraan di tengah banyak orang.
Beraktivitas
di tengah teriknya matahari dan dinginnya cuaca bukanlah hal mudah yang saya
alami selama immersion di sana. Semua
harus dimulai dengan perjuangan yang tidak mudah. Bangun cepat dan menahan
cuaca yang sangat dingin di pagi hari adalah hal yang cukup sulit kulewati. Tak
jarang saya telat bangun dan harus mengenakan jaket tebal ketika beraktivitas. Sewaktu-waktu
saya merasa patah semangat melihat keadaan yang membuat saya sedih sekaligus
merasa bersalah karena tidak bisa cepat menyesuaikan diri dengan mereka.
Tinggal bersama dengan orang-orang yang sudah sangat terbiasa dengan
lingkungannya memacu saya untuk secepat mungkin mampu menjadi salah satu dari
mereka. saya teringat akan satu kalimat yakni “ala bisa karena biasa’’. Kalimat
ini secara perlahan mampu membangkitkan
kembali motivasi saya untuk tidak menyerah belajar dan belajar lagi bagaimana
menjadi salah satu dari mereka.
Melihat
keadaan sejenak, mereka sangat mengharapkan kita (saya) untuk menjadi motivator
dan inspirator bagi mereka dalam segala hal. Tentu saja hal ini tidak mudah
saya lakukan mengingat kemampuan minim yang saya miliki, ditambah lagi dengan
takutnya memberi sesuatu tetapi tidak bermanfaat. Saya cukup bergumul dengan keadaan
ini karena setiap hari saya harus memikirkan dan membuat sesuatu yang berguna
bagi mereka. Dengan harapan itu, saya mencoba memberi beberapa katekese dan
pengetahuan-pengetahuan umum yang membantu mereka sedikit demi sedikit memahami
ajaran Gereja katolik dan sedikit tentang liturgi. Mereka cukup antusias dan
memberi perhatian ketika saya bercerita, berkhotbah, berkatekese. Ini merupakan
sebuah hasil yang sangat berguna bagi kehidupan menggereja umat di masa yang
akan datang.
Saya
mencoba mengenal kehidupan setiap keluarga dengan tinggal bersama mereka
bekerja, makan, tidur bersama mereka, bercerita bersama, dan tertawa bersama. Dan
ini mengingatkan saya pada sebuah komunitas persaudaraan. Menjadi anggota
keluarga adalah sebuah tanggung-jawab besar bagi saya. Dengan status sebagai frater,
mereka cukup membedakan status itu dalam berbagai hal, contohnya: mendapatkan
ikan, memimpin doa, dan sebagainya. Saya mencoba mendengar keluh-kesah setiap
keluarga dengan duduk bersama mereka dan menjadi pendengar yang baik bagi
mereka. Tanpa dihalangi apapun, mereka berusaha membagikan apa yang mereka
alami di dalam keluarga dan masyarakat maupun Gereja. Tanpa saya sadari, mereka
telah menganggapku sebagai orang yang terpercaya dan terberkati di sana.
Kapusin
yang begitu terkenal dengan ciri khas persaudaraannya membantu saya untuk membagikan sedikit kepada mereka bagimana
seorang Kapusin bersaudara. Relasi yang ada di antara saya dan mereka menjadi
sebuah tali relasi yang tetap menjaga keharmonisan di antara kami. Menurut saya
agar kita mampu berelasi dengan baik kepada saudara-saudari atau semua orang
adalah dengan tidak membeda-bedakan latar-belakang setiap orang. Walaupun tidak
selalu mudah dan bahkan sulit. Dengan penjelasan yang telah saya berikan kepada
mereka, saya berharap mereka hidup dalam satu masyarakat layaknya sebagai satu
komunitas yang harmonis.
Kita
menyadari bahwa kita di satu sisi seperti penganut hidup yang eksklusif. Bahkan
banyak orang di sekitar kita yang tidak tahu siapa kita sejauh ini. Maka kita
perlu sedikit keluar dari kehidupan kita. Dan ini selalu kembali kepada setiap
saudara. Dengan alasan setiap saudara memiliki cara yang berbeda-beda dalam hal
kerasulan. Identitas akan tetap nampak di permukaan ketika kita ada di antara
mereka. Bagaimana mereka mengenal kita kalau kita tidak pernah atau jarang
bermasyarakat. Maka caranya bisa seperti: mengunjungi masyarakat pada hari-hari
tertentu dan juga aksi panggilan. Cara hidup kita yang merupakan seharusnya
mampu membawa umat dekat kepada Tuhan. Kita harus menyadari bahwa kita telah mengalami
banyak perubahan yang sangat signifikan khususnya dalam hal mengembangkan iman
umat lewat cara hidup kita. Maka kita perlu mengusahakan cara-cara yang kreatif
untuk mengembangkan kehidupan iman di tengah masyarakat dimanapun kita
berkarya.
*****
Senang atau susah,
menangis atau tertawa, hitam atau putih, baik atau buruk, bising atau sunyi,
menjerit atau bungkam hanyalah bagian kecil dari setiap sisi kehidupan. Karena
semua bagian dari hidup telah diciptakan secara berpasangan. Kata-kata ini
membantuku untuk semakin yakin bahwa hidup adalah perjuangan. Tetapi sangat
perlu diketahui bahwa hidup itu adalah rahmat terbesar yang pernah kita peroleh
dari belas kasih Allah yang Mahabaik. Berjuang untuk mempertahankan hidup dan
kepercayaan telah saya lihat sendiri di stasi Sitatar. Cukup dibanggakan mereka
masih menggenggam erat iman Katolik walaupun banyak masalah yang harus mereka
hadapi dan selesaikan.
Doa dari kita kaum religius
sangat mereka butuhkan. Mereka memberi seluruh kepercayaannya kepada kita agar
kita menolong mereka dengan doa-doa kita. Saya berharap semoga kehidupan
masyarakat khususnya umat kita yang ada di stasi Sitatar mengarah kepada
kehidupan yang lebih baik lagi. Terimakasih kepada persaudaraan yang memberikan
kesempatan kepada saudara-saudara muda untuk terjun langsung di tengah-tengah
umat yang saat ini sungguh sangat mengharapkan pendampingan dari kita. Secara
umum mereka menerima kita sebagai orang yang mampu memberi mereka semangat
untuk memampukan mereka tetap beriman walau hidup begitu sulit dijalani. Semoga
lewat immersion ini juga,
saudara-saudara muda semakin berani untuk terjun di tengah-tengah umat yang
mendambakan gembala. Duc In Altum
memang mengandung makna yang harus benar-benar kita alami dan perjuangkan.
Semoga kita yang memberi diri untuk melayani mereka menjadi sebuah jembatan
iman antara mereka dan Allah. Amin.
Posting Komentar
Terima kasih atas Partisipasi Anda!