WAJAH KERAHIMAN
08 DESEMBER 2015 – 20 NOVEMBER 2016
BULLA TENTANG TUNTUTAN
YUBILEUM ISTIMEWA KERAHIMAN ILAHI
FRANSISKUS
USKUP
ROMA, HAMBA DARI PARA HAMBA ALLAH
KEPADA
SEMUA YANG MEMBACA SURAT
INI
RAHMAT,
KERAHIMAN, DAN DAMAI
1. Yesus Kristus adalah wajah kerahiman Bapa.
Kata-kata ini meringkaskan misteri iman orang Kristen. Kerahiman menjadi hidup
dan dapat dilihat dalam Yesus dari Nazaret, mencapai puncaknya di dalam Dia. Bapa,
yang “kaya dalam rahmat” (Ef 2:4) setelah mewahyukan nama-Nya kepada Musa
sebagai “Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya”
(Kel 34:6), tidak pernah berhenti menunjukkan, dalam berbagai cara dalam sejarah,
kodrat ilahi-Nya. “Setelah genap waktunya” (Gal 4:4) ketika segalanya berjalan sesuai
dengan rencana keselamatan-Nya, Ia mengirim Putra satu-satunya ke dunia, yang
dilahirkan oleh Perawan Maria, untuk menampakkan cinta-Nya kepada kita secara
definitif. Siapa melihat Yesus melihat Bapa (bdk. Yoh 14:9). Yesus dari
Nazaret, oleh kata-kata-Nya,
tindakan-Nya, dan seluruh pribadi-Nya menampakkan kerahiman Allah.
2. Kita perlu terus-menerus mengkontemplasikan
misteri kerahiman. Kerahiman adalah sumber kegembiraan, ketenangan, dan damai.
Keselamatan kita tergantung padanya. Kerahiman: Kata itu menampakkan
misteri Allah Tritunggal Mahakudus. Kerahiman: Tindakan terakhir dan
tertinggi yang melalui kerahiman itu Allah datang menjumpai kita.
Kerahiman: Hukum dasar yang tinggal di dalam hati setiap
pribadi yang melihat dengan tenang pada mata saudara dan saudarinya pada jalan
kehidupan. Kerahiman: Jembatan yang menghubungkan Allah dan
manusia, membuka hati kita kepada harapan untuk dicintai selamanya sekalipun
kita berdosa.
3. Kadang-kadang kita dipanggil untuk melihat
dengan serius kerahiman sehingga kita menjadi suatu tanda yang efektif tindakan
Allah di dalam hidup kita. Karena alasan inilah saya telah mengumumkan suatu
Yubileum Istimewa Kerahiman Ilahi
sebagai suatu waktu khusus bagi Gereja, waktu ketika kesaksian
orang-orang yang percaya bertumbuh lebih kuat dan lebih efektif.
Tahun Suci akan dibuka pada tanggal 8 Desember
2015, pada Hari Raya Maria Dikandung tanpa Noda. Hari pesta liturgis ini
mengenang tindakan Allah dari awal mula sejarah umat manusia. Setelah kedosaan
Adam dan Hawa, Allah tidak ingin meninggalkan manusia dalam kelabakan dosa. Maka
Ia mengalihkan pandangan-Nya kepada Maria, kudus dan tak bernoda dalam cinta
kasih (bdk. Ef 1:4) dengan memilihnya menjadi Bunda Penebus manusia. Ketika
dihadapkan dengan daya tarik dosa, Allah menjawab dengan kepenuhan kerahiman.
Kerahiman akan selalu lebih besar daripada setiap dosa, dan tak seorang pun
dapat membatasi cinta kasih Allah yang selalu bersedia mengampuni. Dengan gembira
saya akan membuka Pintu Suci pada hari Raya Maria Dikandung tanpa Noda. Pada
hari itu Pintu Suci akan menjadi suatu Pintu Kerahiman melaluinya setiap orang
yang masuk akan mengalami cinta kasih Allah yang menghibur, mengampuni, dan
berangsur-angsur mem-bangkitkan harapan.
Hari Minggu berikutnya, Hari Minggu ketiga Adven,
Pintu Suci Katedral Roma – yaitu Basilika St. Yohanes Lateran – akan dibuka.
Pada minggu-minggu berikutnya, Pintu-Pintu Suci Basilika Kepausan lainnya akan
dibuka. Pada hari Minggu yang sama, saya akan mengumumkan bahwa di setiap
gereja lokal, di katedral – gereja induk umat beriman di daerah
setempat – atau alternatifnya di ko-katedral atau gereja lain yang memiliki arti
khusus, sebuah Pintu Kerahiman akan dibuka selama Tahun Suci. Seturut
kebijaksanaan ordinaris setempat, sebuah pintu yang sama sebaiknya dibuka pada
setiap tempat suci yang sering dikunjungi oleh kelompok-kelompok peziarah yang
besar, karena mengunjungi situs-situs suci ini sering juga dipenuhi dengan
saat-saat berahmat, selama umat menemukan suatu jalan kepada pertobatan. Setiap
Gereja Partikular, karena itu, akan secara langsung terlibat dalam mengidupi
Tahun Suci ini sebagai suatu momen rahmat dan pembaharuan rohani yang istimewa. Maka Yubileum akan dirayakan baik di Roma maupun
di Gereja-Gereja Partikular sebagai tanda kelihatan persekutuan Gereja
universal.
4. Saya telah memilih tanggal 08 Desember karena artinya yang kaya dalam sejarah Gereja sekarang ini.
Sesungguhnya saya akan membuka Pintu Suci pada ulang tahun ke-50 penutupan Konsili Ekumenis Vatikan II. Gereja merasakan suatu
kebutuhan besar untuk tetap menghidupi peristiwa ini. Dengan konsili, Gereja
memasuki suatu fase baru sejarahnya. Bapa-bapa konsili merasakan dengan kuat,
seperti nafas benar dari Roh Kudus, suatu kebutuhan untuk berbicara tentang
Allah kepada laki-laki dan perempuan dari zamannya dalam suatu cara yang lebih
dapat diterima. Dinding-dinding yang telah terlalu lama membuat Gereja sejenis
benteng dirobohkan dan waktunya telah tiba untuk memaklumkan
Injil dalam cara yang baru. Itu adalah suatu fase baru dari evangelisasi yang sama yang telah ada sejak semula. Itu adalah satu
usaha yang segar dari semua orang Kristen untuk memberi kesaksian imannya
dengan entusiasme dan keyakinan yang besar. Gereja merasakan suatu tanggung
jawab untuk menjadi tanda hidup dari kasih Allah di dunia.
Kita ingat kata-kata tajam dari Santo Yohanes
XXIII ketika membuka konsili ia menunjukkan langkah yang diikuti: “Pengantin Baru Kristus ingin menggunakan obat kerahiman daripada mengangkat
lengan kekerasan ... Gereja
Katolik, selama dia memegang tinggi-tinggi
obor kebenaran Katolik pada konsili ekumenis ini, ingin menunjukkan
dirinya seorang ibu yang mengasihi semua; sabar, baik hati, tergerak oleh belas
kasih dan kebaikan kepada anak-anaknya yang terpisah”. Beato Paulus VI berbicara
dalam nada yang serupa pada penutupan konsili: “Kita lebih suka menjelaskan
bagaimana cinta kasih telah menjadi sifat religius dari konsili ini ... cerita
lama seorang Samaria yang baik hati telah menjadi model spiritualitas konsili ...
suatu gelombang afeksi dan kekaguman mengalir dari konsili atas dunia
kemanusiaan modern. Kesalahan-kesalahan dihukum, sungguh karena cinta kasih
menuntut ini lebih daripada melakukan kebenaran, tetapi bagi individu-individu
sendiri hanya ada nasehat, hormat, dan kasih. Daripada diagnosa-diagnosa yang
menekan, lebih baik pengobatan-pengobatan yang memberi semangat; daripada
prediksi-prediksi yang menakutkan, konsili menyampaikan pesan-pesan kebenaran
kepada dunia masa kini. Nilai-nilai dunia modern tidak hanya dihormati, tetapi
juga dimuliakan, usaha-usahanya diterima, aspirasi-aspirasinya dimurnikan dan
diberkati .... Poin lain yang harus kita tekankan ialah ini: semua kekayaan
pengajaran ini disalurkan dalam satu pimpinan, pelayanan umat manusia, dari
setiap situasi, dalam setiap kelemahan dan kebutuhan”.
Dengan perasaan-perasaan syukur atas setiap hal
yang telah diterima oleh Gereja ini, dan dengan suatu rasa tanggung jawab untuk
tugas yang ada di hadapannya, kita akan melewati ambang Pintu Suci dengan penuh
kepercayaan bahwa kekuatan Tuhan Yang Bangkit, yang terus-menerus menyokong
kita pada jalan peziarahan kita, akan tetap memelihara kita. Semoga Roh Kudus,
yang menuntun langkah-langkah orang-orang beriman dalam kerja sama dengan karya
keselamatan yang dibawa oleh Kristus, menunjukkan jalan dan mendukung umat
Allah sehingga mereka dapat mengkontemplasikan wajah kerahiman.
5. Tahun Yubileum akan ditutup dengan Hari Raya
Kristus Raja Semesta Alam pada tanggal 20 November 2016. Pada hari itu, ketika
kita menyegel Pintu Suci, di atas segalanya, kita akan dipenuhi dengan suatu
rasa syukur dan terima kasih kepada Tritunggal Mahakudus karena telah memberikan
kepada kita suatu waktu rahmat istimewa. Kita akan mempercayakan hidup Gereja,
semua kemanusiaan, dan seluruh alam semesta kepada Ketuhanan Kristus, sambil
memohon kepada-Nya untuk mencurahkan kerahiman-Nya atas kita seperti embun
pagi, sehingga kita dapat pergi keluar kepada setiap laki-laki dan perempuan
sambil membawa kebaikan dan kelembutan Allah! Semoga minyak balsem kerahiman
mencapai setiap orang baik orang-orang beriman maupun mereka yang menjauh dari
imannya, sebagai suatu tanda bahwa Kerajaan Allah sudah ada di tengah-tengah
kita!
6.
“Pantaslah
Allah menerapkan kerahiman, dan Ia menyatakan kekuasaan-Nya secara istimewa
dengan cara ini”. Kata-kata St. Thomas Aquinas menunjukkan bahwa kerahiman
Allah, selain tanda kelemahan, adalah tanda kemahakuasaan-Nya. Karena alasan
inilah, liturgi, dalam salah satu kumpulannya yang paling tua, berdoa dengan
berkata: “Ya Allah, Engkau menampakkan kekuasaan-Mu terutama melalui kerahiman
dan pengampunan”. Sepanjang sejarah kemanusiaan, Allah akan selalu menjadi Pribadi
yang hadir, dekat, ingat akan hari esok, kudus, dan penuh belas kasih.
“Sabar dan penuh belas kasih”. Kata-kata ini
sering berjalan bersama dalam Perjanjian Lama untuk melukiskan kodrat Allah. Dia
yang adalah penuh belas kasih ditunjukkan secara konkret dalam banyak
tindakan-Nya sepanjang sejarah keselamatan di mana kebaikan-Nya menang atas
hukuman dan kehancuran. Mazmur-mazmur secara istimewa mengedepankan keagungan
tindakan kerahiman-Nya: “Dia yang mengampuni segala kesalahanmu, yang
menyembuhkan segala penyakitmu, Dia yang menebus hidupmu dari lobang kubur,
yang memahkotai engkau dengan kasih setia dan rahmat” (Mzm 103:3-4). Mazmur
yang lain, bahkan dalam cara yang lebih eksplisit, memberikan kesaksian
tanda-tanda konkret kerahiman ini: “Yang menegakkan keadilan untuk orang-orang
yang diperas, yang memberi roti kepada orang-orang yang lapar. Tuhan
membebaskan orang-orang yang terkurung, Tuhan membuka mata orang-orang buta,
Tuhan menegakkan orang yang tertunduk, Tuhan mengasihi orang-orang benar. Tuhan
menjaga orang-orang asing, anak yatim dan janda ditegakkan-Nya kembali, tetapi
jalan orang fasik dibengkokkan-Nya” (Mzm 146:7-9). Inilah beberapa ungkapan
lain dari pemazmur: “Ia menyembuhkan orang-orang yang patah hati dan membalut
luka-luka mereka; Tuhan menegakkan kembali orang-orang yang tertindas, tetapi
merendahkan orang-orang fasik sampai ke bumi” (Mzm 147:3,6). Singkatnya,
kerahiman Allah bukanlah suatu gagasan yang abstrak, tetapi suatu realitas
konkret yang menampakkan kasih-Nya seperti kasih seorang ayah atau ibu, yang
meninggalkan kedalaman kasih kepada anaknya. Hampir tidak berlebihan mengatakan
bahwa inilah kasih “yang mendalam”. Itu memancar keluar dari kedalaman secara
natural, penuh kelembutan dan keharuan, indulgensi dan kerahiman.
7. “Karena kasih setia-Nya tetap untuk
selama-lamanya.” Inilah refren yang diulang-ulangi setiap ayat dalam Mzm 136
ketika ia menceritakan sejarah pewahyuan Allah. Atas dasar kasih setia, semua
peristiwa dari Perjanjian Lama penuh dengan arti keselamatan yang mendalam.
Kasih setia mengubah sejarah Allah dengan Israel suatu sejarah keselamatan. Untuk
mengulangi terus-menerus “karena kasih setia-Nya tetap untuk selama-lamanya” seperti
dilakukan oleh Mazmur, tampak membelah dimensi ruang dan waktu, dengan
menyelipkan setiap hal ke dalam misteri kasih yang abadi. Itu seolah-olah
mengatakan bahwa tidak hanya dalam sejarah, tetapi untuk semua keabadian
manusia akan selalu berada di bawah pandangan belas kasih Bapa. Tidaklah
kebetulan bahwa umat Israel ingin memasukkan Mazmur ini - “Hallel Agung” begitu disebut – dalam
hari-hari pesta liturgisnya yang sangat penting.
Sebelum penderitaan-Nya, Yesus berdoa dengan
Mazmur kasih setia ini. Matius memberi kesaksian ini dalam Injilnya ketika ia
mengatakan bahwa, “sesudah mereka menyanyikan pujian” (26:30), Yesus dan
murid-murid-Nya pergi ke Bukit Zaitun. Ketika Ia mendirikan Ekaristi sebagai
kenangan abadi bagi Diri-Nya dan kurban Paska-Nya, Ia secara simbolis
menempatkan tindakan pewahyuan tertinggi ini dalam cahaya belas kasih-Nya.
Dalam konteks belas kasih yang sama, Yesus yang masuk ke dalam penderitaan dan
kematian-Nya, sadar akan misteri kasih yang agung ini bahwa Ia akan memenuhinya
di salib. Menyadari bahwa Yesus sendiri mendoakan Mazmur ini membuat Mazmur itu
lebih penting bagi kita sebagai orang-orang Kristen, sambil menantang kita untuk
mengambil refren itu dalam hidup harian kita dengan mendoakan kata-kata pujian
ini: “Karena kasih setia-Nya tetap untuk selama-lamanya.”
8. Dengan mata kita yang tertuju kepada Yesus
dan tatapan belas kasih-Nya, kita mengalami kasih Trinitas Mahakudus. Misi
Yesus yang diterima dari Bapa ialah mewahyukan misteri kasih ilahi dalam
kepenuhannya. Sekarang kasih ini telah dapat dilihat dan nyata dalam
keseluruhan hidup Yesus. Pribadi-Nya tidak lain adalah kasih, kasih yang
diberikan secara cuma-cuma. Persahabatan-persahabatan yang dijalin dengan umat
yang datang mendekati-Nya menampakkan sesuatu yang seluruhnya unik
dan tak dapat diulangi. Tanda-tanda yang Dia kerjakan khususnya kepada para
pendosa, orang miskin, orang yang dipinggirkan, orang sakit, dan yang
menderita, ialah semua dimaksudkan untuk mengajarkan kerahiman. Segala sesuatu
di dalam Dia berbicara tentang kerahiman. Tak satu pun di dalam Dia adalah sama
sekali tanpa belas kasih.
Yesus, ketika
melihat kerumunan orang yang
mengikuti-Nya, sadar bahwa mereka lelah dan kehabisan tenaga, tersesat dan
tanpa seorang pemimpin, dan Ia merasakan belas kasih yang mendalam atas mereka
(bdk. Mat 9:36). Pada dasar cinta kasih yang berbelas kasih ini Ia menyembuhkan
orang sakit yang dibawa kepada-Nya (bdk. Mat 14:14), dan hanya dengan sedikit
potong roti dan ikan Ia menyenyangkan orang banyak (bdk. Mat 15:37). Apa yang
menggerakkan Yesus dalam semua situasi ini ialah tidak lain daripada
belas kasih, yang dengan itu Ia membaca hati mereka yang dijumpai-Nya dan memenuhi kebutuhan terdalam mereka. Ketika Ia datang
menjumpai seorang janda dari Nain yang sedang membawa putranya ke kuburan, Ia tergerak oleh belas kasihan karena
penderitaan mendalam dari ibu yang sedang berduka, dan Ia mengembalikan
putranya itu dengan membangkitkannya dari kematian (Luk 7:15). Setelah mengusir
orang yang kerasukan setan di daerah Gerasa, Yesus mempercayakan kepadanya misi
ini: “Pulanglah ke rumahmu, kepada orang-orang sekampungmu, dan beritahukanlah
kepada mereka segala sesuatu yang telah diperbuat oleh Tuhan atasmu dan
bagaimana Ia telah mengasihani engkau” (Mrk 5:19). Panggilan Matius juga
dihadirkan dalam konteks kerahiman. Ketika sedang melewati tempat pengumpul
pajak, Yesus memandang Matius dengan sungguh-sungguh. Itu adalah suatu tatapan
yang penuh kerahiman yang mengampuni dosa-dosa orang tersebut, seorang pendosa
dan pemungut cukai, yang dipilih oleh Yesus – melawan keraguan para murid –
untuk menjadi salah seorang dari dua belas rasul. Santo Beda Venerabilis, yang
mengomentari teks ini menulis bahwa Yesus melihat Matius dengan kasih kerahiman
dan memilihnya: miserando atque eligendo (Tuhan
telah berkenan mengasihi aku dan akhirnya memilih aku). Ungkapan ini sangat
menyentuh saya sehingga saya memilihnya menjadi moto saya sebagai uskup.
9. Dalam perumpamaan-perumpamaan yang
berbicara tentang kerahiman, Yesus menampakkan kodrat Allah seperti seorang
bapak yang tidak pernah putus asa sampai ia telah mengampuni orang yang
bersalah dan mengatasi penolakan dengan belas kasihan dan kerahiman. Kita
mengetahui dengan baik perumpamaan-perumpamaan ini, khusus ada tiga: domba yang
hilang, mata uang yang hilang, dan ayah dengan dua putranya (bdk. Luk 15:1-32).
Dalam perumpamaan-perumpamaan ini Allah selalu dihadirkan sebagai orang yang penuh
kegembiraan, khususnya ketika dia mengampuni. Di dalam perumpamaan-perumpamaan ini kita menemukan
inti Injil dan iman kita, karena kerahiman dihadirkan sebagai suatu kekuatan
yang mengatasi segala sesuatu, memenuhi hati dengan cinta kasih dan membawa penghiburan
melalui pengampunan.
Dari perumpamaan lain, kita memilih suatu
pengajaran penting bagi kehidupan kita orang-orang Kristen. Dalam menjawab
pertanyaan Petrus tentang berapa kali kita harus mengampuni, Yesus mengatakan:
“Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh
kali tujuh kali” (Mat 18:22). Kemudian Ia melanjutkan dengan menceritakan
perumpamaan tentang “hamba yang kejam”, yang, dipanggil oleh tuannya untuk
mengembalikan hutangnya yang besar, bersembah sujud di hadapannya memohon belas
kasihan. Tuannya menghapus hutangnya. Tetapi kemudian ia bertemu dengan seorang
hamba lain yang berhutang kepadanya lebih sedikit dan pada gilirannya memohon
belas kasihan daripadanya, tetapi hamba yang pertama itu menolak permintaannya
dan memasukkannya ke penjara. Ketika tuan mendengar hal itu, ia menjadi marah,
lalu ia panggil hamba pertama itu dan berkata: “Bukankah engkaupun harus
mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau?” (Mat 18:33). Yesus
menyimpulkan: “Maka Bapa-Ku yang di surga akan berbuat demikian juga terhadap
kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudara-saudaramu dengan
segenap hatimu” (Mat 18:35).
Perumpamaan ini berisi suatu pengajaran yang mendalam
bagi kita semua. Yesus menegaskan bahwa kerahiman bukan hanya suatu tindakan
dari Bapa, tetapi itu menjadi suatu kriteria untuk memastikan siapa
anak-anak-Nya yang benar. Singkatnya, kita semua dipanggil untuk menunjukkan
kerahiman karena kerahiman pertama telah ditunjukkan kepada kita. Pengampunan
atas penghinaan-penghinaan menjadi ungkapan yang sangat jelas dari cinta kasih
yang berbelas kasih, dan bagi kita orang-orang Kristen itu merupakan suatu
perintah yang tidak dapat mengecualikan diri kita sendiri. Kadang-kadang
tampaknya betapa berat mengampuni! Dan lagi pengampunan merupakan suatu alat
yang ditempatkan ke dalam tangan-tangan kita yang rapuh untuk mendapat
ketenangan hati. Membiarkan pergi kemarahan, angkara murka, kekerasan, dan
balas dendam adalah kondisi-kondisi yang perlu untuk hidup dengan gembira.
Karena itu marilah kita perhatikan anjuran Sang Rasul: “Janganlah matahari
terbenam sebelum padam amarahmu” (Ef 4:26). Di atas segalanya, marilah kita
mendengar kata-kata Yesus yang membuat kerahiman sebagai cita-cita hidup dan
suatu kriteria kredibilitas iman kita: “Berbahagialah orang yang murah hatinya,
karena mereka akan beroleh kemurahan” (Mat 5:7); kebahagiaan yang secara khusus
mengilhami kita di Tahun Suci ini.
Seperti dapat kita lihat dalam Kitab Suci,
kerahiman ialah suatu kata kunci yang menyatakan tindakan Allah kepada kita. Ia
tidak hanya membatasi diri-Nya semata-mata untuk menegaskan kasih-Nya, tetapi
membuat kasih itu kelihatan dan nyata. Kasih, setelah semuanya, tak pernah hanya
dapat menjadi abstraksi. Oleh kodratnya, kasih menunjukkan sesuatu yang
konkret: intensi-intensi, sikap-sikap dan kelakuan-kelakuan yang ditunjukkan
dalam hidup sehari-hari. Kerahiman
Allah adalah keprihatinan kasih-Nya bagi masing-masing kita. Ia merasa
bertanggung jawab, yaitu, Ia menginginkan kesejahteraan kita dan Ia ingin
melihat kita bahagia, penuh kegembiraan dan damai. Ini adalah juga langkah yang
harus ditempuh oleh kasih kerahiman orang-orang Kristen. Seperti Bapa
mengasihi, demikian jugalah anak-anak-Nya. Sebagaimana Dia adalah berbelas
kasih, maka kita juga dipanggil untuk berbelas kasih satu terhadap yang lain.
10. Kerahiman adalah dasar dari kehidupan
Gereja. Semua aktivitas pastoralnya seharusnya diikuti oleh kelembutan yang
dihadirkan kepada orang-orang beriman; tak satu pun dalam kotbah dan dalam
kesaksiannya kepada dunia kerahiman dapat dialpakan. Kredibilitas Gereja
terlihat dalam bagaimana ia menunjukkan kasih kerahiman dan yang berbelas
kasih. Gereja “memiliki keinginan yang berkesudahan untuk menunjukkan
kerahiman”. Mungkin telah lama kita melupakan bagaimana menunjukkan dan
menghidupi jalan kerahiman. Di satu sisi pencobaan untuk berfokus hanya kepada
keadilan membuat kita lupa bahwa ini adalah hanya yang pertama, sekalipun itu
langkah yang perlu dan sangat diperlukan. Tetapi Gereja harus melampaui dan
berjuang untuk suatu tujuan yang lebih tinggi dan lebih penting. Di sisi lain,
sedih untuk dikatakan, kita harus mengakui bahwa praktek kerahiman sedang
berkurang dalam kebudayaan yang lebih luas. Sekalipun kata itu kadang-kadang
melenyap. Akan tetapi tanpa suatu kesaksian akan kerahiman, hidup menjadi tak
berbuah dan steril, seolah-olah terasing dalam suatu padang gurun yang tandus.
Waktu telah tiba bagi Gereja untuk menerima panggilan penuh sukacita kepada
kerahiman sekali lagi. Adalah waktu untuk kembali kepada dasar dan memikul
kelemahan-kelemahan dan perjuangan-perjuangan dari para saudara dan saudari
kita. Kerahiman adalah kekuatan yang membangkitkan kembali kita kepada hidup
yang baru dan menanamkan dalam diri kita semangat untuk melihat masa depan
dengan harapan.
11. Janganlah kita melupakan pengajaran agung
yang diberikan oleh Santo Yohanes Paulus II dalam Ensiklik keduanya, Dives in Mesericordia (Kaya dalam Belas Kasih), yang pada
waktu itu tema tersebut datang secara tiba-tiba dan menuai banyak keheranan.
Khususnya saya mau mengingatkan dua hal. Pertama, Santo Yohanes Paulus II
menyoroti fakta bahwa kita telah melupakan tema tentang kerahiman dalam
lingkungan budaya sekarang ini: “Mentalitas sekarang ini mungkin lebih daripada
umat di masa lampau, tampaknya bertentangan dengan kerahiman Allah, dan
sesungguhnya cenderung mengalpakan dari hidup dan memindahkan dari hati manusia
gagasan kerahiman. Kata dan konsep ‘kerahiman’ tampak menyebabkan banyak
kesulitan pada orang, yang terima kasih kepada perkembangan pesat ilmu
pengetahuan dan teknologi, yang tidak pernah dikenal sebelumnya dalam sejarah,
telah menjadi tuan dari bumi dan telah tunduk dan menguasainya (bdk. Kej 1:28).
Kuasa atas bumi ini kadang-kadang dipahami secara sepihak dan semu, tampaknya tak
ada ruang bagi kerahiman... Dan inilah sebabnya dalam situasi Gereja dan dunia
sekarang ini, banyak individu dan kelompok dituntun oleh rasa iman yang hidup
sedang berbalik, saya katakan hampir secara spontan, kepada kerahiman Allah”.
Kedua, Santo Yohanes Paulus II begitu termotivasi pentingnya
mewartakan dan bersaksi tentang kerahiman dalam dunia sekarang ini: “Itu
diperintah oleh kasih bagi orang, bagi semua manusia dan orang yang, menurut
intuisi kita zaman ini, terancam oleh suatu bahaya yang besar. Misteri Kristus
... mengharuskan saya untuk mewartakan kerahiman sebagai kasih Allah Yang Maharahim,
yang diwahyukan dalam misteri Kristus yang sama. Misteri Kristus juga
mewajibkan saya untuk memanggil diri kepada kerahiman yang demikian dan
memohonnya pada fase yang kritis, sulit ini dari sejarah Gereja dan dunia”.
Pengajaran ini kurang lebih berhubungan selalu dan pantas diambil lagi pada
Tahun Suci ini. Mari kita dengarkan sekali lagi perkataannya: “Gereja
menghayati suatu kehidupan yang otentik ketika ia mengakui dan mewartakan
kerahiman – sifat yang sangat menakjubkan dari Pencipta dan Penebus – dan
ketika ia membawa umat dekat kepada sumber-sumber kerahiman Sang Penyelamat,
sebab Gereja adalah penyimpan dan penyalur”.
12. Gereja bertugas untuk mewartakan kerahiman
Allah, hati yang berdebar-debar dari Injil, yang dengan perantaraannya harus
menembus hati dan pikiran setiap orang. Pengantin Kristus harus mengikuti
teladan Putra Allah yang pergi keluar kepada
setiap orang tanpa kecuali. Pada zaman kita ini yang di dalamnya terlibat dalam
evangelisasi baru, tema kerahiman harus ditawarkan terus-menerus dengan
entusiasme yang baru dan dengan tindakan pastoral yang diperbaharui. Itu
sungguh sangat esensial bagi Gereja dan bagi kredibilitas pesannya bahwa dia
sendiri menghidupi dan saksi kerahiman. Bahasa dan gerak-geriknya harus
menghantar kerahiman untuk menembus hati semua orang dan menginspirasi mereka
sekali lagi untuk menemukan jalan yang menuntun kepada Bapa.
Kebenaran pertama Gereja ialah cinta kasih
Kristus. Gereja membuat dirinya seorang hamba dari kasih ini dan menjadi
perantara untuk dapat sampai kepada semua orang: kasih yang mengampuni dan
mengungkapkan dirinya dalam pemberian diri sendiri. Karena itu, di mana saja
Gereja hadir kerahiman Bapa harus terbukti di sana. Dalam paroki-paroki kita,
komunitas-komunitas, kumpulan-kumpulan dan gerakan-gerakan, pokoknya, di mana
ada orang-orang Kristen, setiap orang seharusnya menemukan suatu oase kerahiman.
Kita ingin menghidupi Tahun Yubileum ini dalam
cahaya kata-kata Tuhan: Murah hati seperti Bapa. Penginjil mengingatkan kita
pengajaran Yesus yang berkata: “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu
adalah murah hati” (Luk 6:36). Itu adalah program hidup, yang sekalipun banyak
persyaratan, namun kaya dengan kegembiraan dan damai. Perintah Yesus diarahkan
kepada siapa saja yang ingin mendengarkan suara-Nya (bdk. Luk 6:27). Karena itu
agar kita dapat memiliki kerahiman pertama sekali kita harus menetapkan diri
kita untuk mendengarkan Sabda Allah. Ini berarti menemukan kembali nilai
keheningan untuk merenungkan Sabda yang datang kepada kita. Dalam cara ini,
akan dimungkinkan untuk mengkontemplasikan kerahiman Allah dan mengangkatnya
sebagai cara hidup kita.
14. Praktek perziarahan memiliki tempat
istimewa dalam Tahun Suci, karena itu mewakili perjalanan masing-masing kita
yang tercipta dalam hidup ini. Hidup itu sendiri merupakan suatu perziarahan,
dan umat manusia adalah seorang viator
(pejalan), seorang peziarah yang berjalan sepanjang jalan, dengan membuat
jalannya kepada tujuan yang dikehendaki. Juga untuk sampai kepada Pintu Suci di
Roma atau di tempat lain di dunia, setiap orang, masing-masing menurut
kemampuannya harus membuat perziarahan. Ini akan menjadi sebuah tanda bahwa
kerahiman juga suatu tujuan untuk mencapai dan mewajibkan dedikasi dan
pengorbanan. Semoga perziarahan menjadi suatu dorongan kepada pertobatan:
dengan melewati ambang Pintu Suci, kita akan menemukan kekuatan untuk
merangkul kerahiman Allah dan mendedikasikan diri kita sendiri untuk berbelas
kasih kepada yang lain seperti Bapa berbelas kasih kepada kita.
Tuhan Yesus menunjukkan kepada kita
langkah-langkah perziarahan untuk memperoleh tujuan kita: “Janganlah kamu
menghakimi, maka kamupun tidak akan dihakimi. Dan janganlah kamu menghukum,
maka kamupun tidak akan dihukum; ampunilah dan kamu akan diampuni. Berilah dan
kamu akan diberi: suatu takaran yang baik, yang dipadatkan, yang digoncang dan
yang tumpah keluar akan dicurahkan ke dalam ribaanmu. Sebab ukuran yang kamu
pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu” (Luk 6:37-38). Di atas segalanya
Allah meminta kita untuk tidak mengadili
dan tidak menghukum. Jika seseorang
ingin menghindari hukuman Allah, ia tidak membuat dirinya hakim atas saudara
atau saudarinya. Umat manusia, kapanpun mereka mengadili hanya melihat yang di
permukaan, sementara Bapa melihat di kedalaman jiwa. Betapa kata-kata merusak
ketika kata-kata itu didorong oleh perasaan-perasaan iri hati dan dengki! Berbicara
jahat tentang saudara ketika ia tidak hadir di hadapan kita sama artinya
memasukkan saudara itu ke dalam cahaya kegelapan, meruntuhkan
reputasinya dan membiarkannya dalam cengkeraman gossip. Jangan mengadili dan
menghakimi artinya secara positif mengetahui apa yang baik yang ada dalam
setiap pribadi dan bertekad tidak ada yang menderita karena penilaian kita yang
sepihak dan pengandaian kita untuk mengetahui segala sesuatu tentang dia.
Tetapi ini masih belum cukup untuk mengungkapkan kerahiman. Yesus meminta kita
juga untuk mengampuni dan memberi. Menjadi alat-alat kerahiman
karena kitalah yang pertama menerima itu dari Allah. Baik hati kepada yang
lain, karena tahu bahwa Allah menunjukkan kebaikan-Nya atas kita dengan
kebaikan hati yang mendalam.
Karena itu berbelas kasih seperti Bapa adalah
“moto” Tahun Suci ini. Dalam kerahiman, kita menemukan bukti bagaimana Allah
mencintai kita. Ia memberikan seluruh Diri-Nya, selalu, secara bebas, tanpa
meminta untuk dikembalikan. Ia datang menolong kita bila kita memanggil-Nya.
Betapa suatu hal yang indah bahwa Gereja memulai doa hariannya dengan
kata-kata, “Ya Allah, bersegeralah menolong aku. Tuhan perhatikanlah hamba-Mu”
(bdk. Mzm 70:2)! Pertolongan yang kita minta ini sudah merupakan suatu langkah
pertama dari kerahiman Allah menuju kita. Ia datang menolong kita dalam
kelemahan kita. Dan pertolongan-Nya tercapai dalam bantuan-Nya kepada kita
untuk menerima kehadiran dan kedekatan-Nya kepada kita. Hari demi hari,
disentuh oleh belas kasih-Nya, kita juga dapat menjadi berbelas kasih kepada
yang lain.
15. Dalam Tahun Suci ini, kita dapat saja
menciptakan pengalaman bagaiamana membuka hati bagi mereka yang hidup di
pinggiran masyarakat yang sering diciptakan oleh dunia modern secara dramatis. Betapa
banyak situasi tak tentu dan menyedihkan dalam dunia sekarang! Betapa banyak
luka pada tubuh yang dialami oleh mereka yang tidak mempunyai suara karena
teriakan mereka lemah dan mati oleh karena disamakan saja dengan mereka yang
kaya. Selama Yubileum ini Gereja dipanggil lebih lagi untuk menyembuhkan
luka-luka ini, menghilangkannya dengan minyak penghiburan, membalutnya dengan
kerahiman dan menyembuhkannya dengan solidaritas dan perawatan yang siap siaga.
Janganlah kita jatuh kepada kesamaan yang merendahkan, dalam rutinitas yang
mencamplok keinginan dan menghalangi untuk menemukan kebaruan, dalam sinisme
yang merusak. Marilah kita membuka mata kita dan melihat penderitaan dunia,
luka-luka dari para saudara dan saudari kita yang tidak diakui martabat mereka,
dan marilah kita mengakui bahwa kita terdorong untuk mendengarkan teriakan
minta tolong mereka. Tangan kita kita apitkan erat-erat pada tangan mereka dan
kita tarik kepada kita sehingga mereka merasakan kehangatan kehadiran,
persahabatan dan persaudaraan kita. Bahwa teriakan mereka menjadi teriakan kita
dan bersama-sama kita dapat memecahkan halangan kesamaan yang sering merajai di
atas segalanya untuk menyembunyikan kemunafikan dan egoisme.
Kerinduanku yang bernyala-nyala bahwa selama Tahun
Yubileum ini semoga orang-orang Kristen merenungkan karya-karya kerahiman yang
bersifat jasmani dan rohani. Itu akan menjadi jalan untuk membangkitkan kembali
kesadaran kita yang sering tertidur di hadapan drama kemiskinan dan untuk lebih
masuk kepada hati Injil di mana orang-orang miskin memiliki pengalaman yang
istimewa akan kerahiman Allah. Yesus memperkenalkan kepada kita karya-karya
kerahiman ini dalam kotbah-Nya sehingga kita dapat tahu apakah kita hidup
sebagai murid Kristus atau tidak. Mari kita temukan kembali karya-karya
kerahiman yang jasmani ini: memberi makan kepada yang lapar, memberi minum
kepada yang haus, pakaian kepada yang telanjang, menerima orang-orang asing,
menyembuhkan yang sakit, mengunjungi yang dipenjarakan, dan menguburkan orang yang
mati. Dan janganlah kita lupa karya-karya kerahiman yang rohani: membimbing
yang ragu-ragu, mengajarkan mereka yang tidak tahu, menasehati para pendosa,
menghibur yang menderita, mengampuni mereka yang menghina, bersabar kepada
mereka yang membuat kita sakit, dan berdoa bagi mereka yang hidup dan yang
mati.
Kita tidak dapat menghindar dari kata-kata Tuhan
kepada kita, dan kata-kata itu akan menjadi kriteria ketika kita diadili kelak:
apakah kita telah memberi makan kepada yang lapar dan minum kepada yang haus,
menerima orang asing dan pakaian kepada yang telanjang, atau memberi waktu
kepada mereka yang sakit dan yang dipenjara (Mat 25:31-45). Dan lagi kita akan
ditanya jika kita telah menolong yang lain bebas dari keraguan yang menyebabkan
mereka jatuh ke dalam ketakutan yang sering menjadi sumber kesepian; jika kita
telah membantu untuk mengatasi ketidaktahuan dari beribu-ribu orang, khususnya
anak-anak yang terluput dari pertolongan yang perlu untuk membebaskan mereka
dari ikatan kemiskinan; jikalau kita telah dekat kepada yang kesepian dan
teraniaya; jika kita telah mengampuni mereka yang memfitnah kita dan menolak
semua bentuk kemarahan dan kebencian yang membawa kepada kekerasan; jikalau
kita telah memiliki contoh kesabaran Allah yang demikian sabar kepada kita; dan
akhirnya jika kita telah membawa ke dalam doa para saudara dan saudari kita.
Dalam “setiap hal yang paling kecil” ini hadir Kristus. Tubuh-Nya menjadi dapat dilihat kembali dalam tubuh mereka yang teraniaya, yang
terluka, yang disesah, yang kurang makanan, yang dibuang ... untuk diakui,
disentuh, dan kita pelihara. Janganlah kita melupakan kata-kata Santo Yohanes dari Salib: “Pada malam
kehidupan kita, kita akan diadili atas dasar cinta”.
16. Dalam Injil Lukas, kita menemukan elemen
penting lain yang akan membantu kita menghidupi Yubileum dengan iman. Lukas
menuliskan bahwa Yesus, pada hari Sabat, kembali ke Nazaret, dan menurut
kebiasaan-Nya masuk ke Sinagoga. Mereka memanggil Dia untuk membacakan Kitab
Suci dan menjelaskannya. Perikop diambil dari Buku Yesaya di mana tertulis: “Roh
Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan khabar
baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan
pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta,
untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat
Tuhan telah datang” (Yes 61:1-2). “Tahun rahmat Tuhan” atau “Tahun kerahiman”:
inilah yang diwartakan oleh Tuhan dan inilah yang ingin kita hidupi sekarang. Tahun
Suci ini akan mengedepankan kekayaan misi Yesus yang digemakan dalam kata-kata
nabi: membawa kata dan tanda penghiburan kepada orang yang miskin, mewartakan
pembebasan kepada yang terbelenggu oleh bentuk-bentuk baru perhambaan dalam
masyarakat modern, memulihkan penglihatan yang tidak dapat melihat lagi karena
mereka terbungkuk pada dirinya sendiri, memulihkan martabat mereka yang telah
dirampas martabatnya. Kotbah Yesus menjadi lebih dapat dilihat lagi dalam
menjawab iman bahwa kesaksian orang-orang Kristen ialah dipanggil untuk
memberi. Semoga kata-kata Rasul menyertai kita: siapa yang menunjukkan
kemurahan, hendaklah melakukannya dengan sukacita (Rom 12:8).
17. Masa Prapaska selama Tahun Yubileum ini
seharusnya juga dihidupi lebih intens sebagai suatu momen istimewa untuk
merayakan dan mengalami kerahiman Allah. Berapa banyak halaman Kitab Suci cocok
bagi meditasi selama minggu-minggu Masa Prapaska untuk menolong kita menemukan
kembali wajah Bapa yang berbelas kasih. Kita dapat mengulangi kata-kata Nabi
Mika dan menjadikan itu milik kita sendiri: “Siapakah Allah seperti Engkau yang
mengampuni dosa, dan memaafkan pelanggaran dari sisa-sisa miliknya sendiri;
yang tidak bertahan dalam murkanya untuk seterusnya, melainkan berkenan kepada
kasih setia? Biarlah Ia kembali menyayangi kita, menghapuskan kesalahan-kesalahan
kita dan melemparkan segala dosa kita ke dalam tubir-tubir laut” (7:18-19).
Perikop dari Nabi Yesaya dapat juga dimeditasikan
secara konkret selama musim doa, puasa, dan karya-karya cinta kasih ini: Bukan!
Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu
kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang
teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi
orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin tak punya rumah, dan
apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan
tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri! Pada waktu itulah
terangmu akan merekah seperti fajar dan lukamu akan pulih dengan segera; kebenaran
menjadi barisan depanmu dan kemuliaan Tuhan barisan belakangmu. Pada waktu
itulah engkau akan memanggil dan Tuhan akan menjawab, engkau akan berteriak
minta tolong dan Ia akan berkata: Ini Aku! Apabila engkau tidak lagi mengenakan
kuk kepada sesamamu dan tidak lagi menunjuk-nunjuk orang dengan jari dan
memfitnah, apabila engkau menyerahkan kepada orang lapar apa yang kauinginkan
sendiri dan memuaskan hati orang yang tertindas maka terangmu akan terbit dalam
gelap dan kegelapanmu akan seperti rembang tengah hari. Tuhan akan menuntun
engkau senantiasa dan akan memuaskan hatimu di tanah yang kering, dan akan
membaharui kekuatanmu; engkau akan seperti taman yang diairi dengan baik dan
seperti mata air yang tidak pernah mengecewakan (58:6-11).
Inisiatif “24 Jam bagi Tuhan” dirayakan pada hari
Jumat dan Sabtu sebelum Minggu ke-4 Masa Prapaska akan diimplementasikan dalam
setiap dioses. Dengan demikian banyak orang termasuk orang-orang muda kembali
kepada Sakramen Rekonsiliasi; melalui pengalaman ini mereka menemukan lagi langkah kembali kepada Tuhan dengan menghidupi momen doa yang intens dan
menemukan makna di dalam hidup mereka. Mari kita tempatkan Sakramen
Rekonsiliasi sekali lagi pada pusat sedemikian sehingga sakramen itu akan
memungkinkan orang untuk menyentuh keagungan kerahiman Allah dengan tangan
mereka sendiri. Bagi setiap pentobat, sakramen itu akan
menjadi sumber kedamaian batiniah yang benar.
Saya tidak akan pernah lelah menekankan bahwa bapa-bapa pengakuan
menjadi tanda-tanda kerahiman Bapa. Kita tidak dapat secara otomatis menjadi
bapa-bapa pengakuan yang baik. Jangan pernah kita lupa bahwa menjadi bapa-bapa
pengakuan berarti berpartisipasi di dalam misi Yesus menjadi tanda konkret dari
ketetapan kasih ilahi yang mengasihi dan menyelamatkan. Kita para imam telah menerima rahmat Roh Kudus
untuk pengampunan dosa-dosa, dan kita bertanggung jawab untuk ini. Tak satu pun
dari kita main kuasa atas sakramen ini; kita adalah hamba-hamba setia kerahiman
Allah melalui sakramen itu. Setiap bapa pengakuan harus menerima umat seperti
bapa dalam perumpamaan anak yang hilang: seorang bapa yang lari menjumpai
anaknya kendatipun fakta bahwa ia telah menghambur-hamburkan harta kekayaannya.
Bapa-bapa pengakuan dipanggil untuk merangkul putra yang bertobat yang kembali
ke rumah dan mengungkapkan kegembiraan karena ia kembali lagi. Mari kita juga
jangan pernah lelah pergi kepada putra yang lain yang berdiri di luar, yang
tidak dapat bergembira untuk menjelaskan kepadanya bahwa pengadilannya kejam
dan tidak adil serta tak punya arti dalam cahaya kerahiman bapa yang tak
terbatas. Semoga bapa-bapa pengakuan tidak memakai pertanyaan yang tak berguna,
tetapi seperti bapa dalam perumpamaan yang menghentikan percakapan yang telah
disiapkan oleh putra yang hilang, karena mereka sudah memetik di dalam hati
permohonan bantuan dan permintaan pengampunan masing-masing peniten. Pokoknya
bapa-bapa pengakuan dipanggil untuk menjadi suatu tanda pertama dari kerahiman,
selalu, di mana-mana, dan dalam setiap situasi apa pun.
18. Selama Tahun Suci ini, saya bermaksud mengirimkan Misionaris-misionaris Kerahiman. Mereka
akan menjadi tanda sukacita keibuan bagi umat Allah yang memungkinkan mereka
memasuki kedalaman kekayaan misteri ini yang demikian mendasar bagi iman. Mereka
adalah imam-imam yang akan saya beri kuasa untuk mengampuni juga termasuk
dosa-dosa yang dikhususkan bagi Tahta Suci, sehingga akan tampak nyata keluasan
perutusan mereka. Terutama mereka akan menjadi tanda hidup dari kesediaan Bapa
yang menerima kembali mereka yang mencari pengampunan-Nya. Mereka akan menjadi
Misionaris Kerahiman karena mereka akan menjadi fasilitator-fasilitator dari
suatu pertemuan yang sangat manusiawi, suatu sumber pembebasan, kaya dengan
tanggung jawab untuk mengatasi rintangan-rintangan dan mengambil kembali hidup
baru Baptisan. Dalam misi mereka, mereka akan dituntun oleh kata-kata Sang
Rasul: “Sebab Allah telah mengurung semua orang dalam ketidaktaatan, supaya Ia
dapat menunjukkan kemurahan-Nya atas mereka semua” (Rom 11:32). Setiap orang
sesungguhnya tanpa kecuali dipanggil untuk merangkul panggilan kepada
kerahiman. Semoga para Misionaris ini dapat menghidupi panggilan ini sambil
mengarahkan pandangan kepada Yesus, “Imam Besar yang menaruh belas kasihan dan
setia kepada Allah” (Ibr 2:17).
Saya memohon kepada Saudara-saudaraku Uskup untuk
mengundang dan menerima misionaris-misionaris ini sehingga mereka dapat, di
atas segalanya, menjadi pengkotbah-pengkotbah kerahiman yang meyakinkan. Masing-masing
keuskupan diharapkan untuk mengatur “misi kepada umat” sedemikian sehingga para
Misionaris ini boleh menjadi bentara-bentara kegembiraan dan pengampunan. Para
Uskup diminta untuk merayakan Sakramen Rekonsiliasi dengan umatnya sehingga
waktu berahmat yang dimungkinkan oleh Tahun Yubileum menjadi mungkin bagi
banyak putra dan putri Allah untuk mengambil sekali lagi perjalanan ke rumah
Bapa. Semoga para pastor khususnya selama Masa Prapaska rajin memulangkan umat
beriman “tahta kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih
karunia” (Ibr 4:16).
19. Semoga pesan kerahiman mendapati setiap orang, dan
panggilan untuk mengalami kerahiman tak membiarkan seorangpun merasa tidak ada
bedanya sama sekali. Undanganku kepada pertobatan diarahkan juga dengan tekanan
lebih kepada pribadi-pribadi yang menemukan dirinya jauh dari rahmat Allah
karena sikap hidup mereka. Saya berpikir secara khusus kepada para lelaki dan
wanita dari grup kriminal mana saja. Demi kebaikan kalian, saya meminta
kepadamu untuk mengubah hidup. Saya memohon itu kepada kalian atas nama Putra
Allah, yang sekalipun melawan kejahatan, Ia tidak pernah menolak siapa pun
pendosa itu. Janganlah kalian jatuh ke dalam perangkap pikiran bahwa hidup
tergantung dari uang dan bahwa, tanpa uang, apa pun yang lain tidak punya nilai
dan martabat. Itu hanya suatu ilusi. Kita tidak dapat membawa uang kepada hidup
di seberang sana. Uang tidak memberi kita kebahagiaan sejati. Kekerasan yang
dipakai untuk menimbun uang yang meneteskan darah tidak memberi kekuasaan pun
tidak membuat kita tidak mati. Untuk semua, cepat atau lambat, akan datang
pengadilan Allah dan tak seorang pun dapat melarikan diri daripadanya.
Undangan yang sama ditujukan kepada mereka yang
melakukan atau turut membantu dalam korupsi. Luka yang membusuk ini adalah
suatu dosa berat yang berteriak dengan sekuat tenaga sampai ke surga karena ini
mengancam landasan-landasan kehidupan pribadi dan sosial. Korupsi menghalangi
kita untuk melihat masa depan dengan harapan, karena dengan keangkuhan dan
kerakusannya merusak rencana-rencana kaum lemah dan menginjak-injak mereka yang
lebih miskin. Itu adalah suatu kejahatan yang melekat dalam tindakan-tindakan
hidup setiap hari, yang menyebabkan skandal publik. Korupsi adalah hati yang
membatu yang menggantikan Allah dengan ilusi bahwa uang adalah suatu bentuk
kekuasaan. Itu adalah suatu karya kegelapan, yang disuburkan oleh kecurigaan
dan intrik. Corruptio optimi pessima,
kata Santo Gregorius Agung, untuk menunjukkan bahwa tak seorang pun dapat memikirkan
dirinya kebal terhadap pencobaan ini. Jikalau kita ingin mengeluarkannya dari
kehidupan pribadi dan sosial, kita perlu bijaksana, waspada, setia,
transparansi, bersama dengan semangat menolak segala tindakan yang salah.
Jikalau itu tidak diperangi secara terbuka, cepat atau lambat setiap orang akan
menjadi antek atau kaki tangan dari korupsi, dan itu akan berakhir pada
penghancuran eksistensi kita.
Ini adalah kesempatan yang menguntungkan untuk
mengubah hidup kita! Inilah waktu untuk membiarkan diri disentuh oleh hati
kita. Ketika berhadapan dengan perbuatan-perbuatan jahat, bahkan dalam wajah
para penjahat berat, inilah waktu untuk mendengarkan teriakan orang tak
bersalah, yang tercabut hak miliknya, martabat mereka, perasaan-perasaan
mereka, dan bahkan kehidupan mereka sendiri. Tinggal pada jalan kejahatan merupakan
sumber ilusi dan kesedihan semata-mata. Kehidupan yang benar ialah sesuatu yang
sungguh berbeda. Allah tidak pernah lelah menjumpai kita. Ia selalu bersedia
mendengarkan, seperti saya juga, bersama dengan Saudaraku para uskup dan imam.
Cukup hanya menerima undangan untuk bertobat dan menyerahkan diri kepada
keadilan selama waktu khusus kerahiman yang diberikan oleh Gereja.
20. Bergunalah dalam konteks ini mengenang
kembali hubungan antara keadilan dan
kerahiman. Ini bukanlah dua realitas
yang berlawanan, tetapi dua dimensi dari satu realitas tunggal yang terbuka
secara progresif sampai berpuncak pada kepenuhan kasih. Keadilan ialah suatu
konsep mendasar bagi masyarakat sipil, yang biasanya mengacu kepada ketentuan
menurut hukum. Keadilan juga dipahami bahwa setiap orang wajib diberikan apa
yang menjadi haknya. Dalam Kitab Suci, ada banyak petunjuk kepada keadilan
ilahi dan kepada Allah sebagai “hakim”. Di situ biasanya keadilan dipahami
sebagai ketaatan penuh atas hukum dan tingkah laku dari setiap orang Israel yang
baik yang bersesuaian dengan hukum yang diberikan oleh Allah. Akan tetapi
pandangan ini sering jatuh kepada legalisme dengan mengubah arti asli dari
keadilan dan mengaburkan nilainya yang mendalam. Untuk mengatasi pandangan yang
legalistik ini kita perlu mengingat bahwa dalam Kitab Suci keadilan pada
dasarnya dipahami sebagai suatu penyerahan diri penuh pasrah kepada kehendak
Allah.
Dari pihak Yesus, Ia berbicara beberapa kali tentang pentingnya iman daripada hanya sekedar ketaatan
hukum. Dalam arti inilah kita harus memahami kata-kata-Nya ketika Ia, yang sedang
duduk semeja dengan Matius dan teman-teman pemungut cukai lainnya serta para
pendosa, mengatakan kepada orang-orang Farisi yang berkeberatan terhadap
diri-Nya, “Pergilah dan pelajarilah arti Firman ini: Yang Kukehendaki ialah
belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan memanggil orang
benar, melainkan orang berdosa” (Mat 9:13). Berhadapan dengan pandangan
keadilan sebagai ketaatan hukum melulu yang mengadili orang hanya dengan membagi
mereka ke dalam dua kelompok – orang baik dan orang berdosa – Yesus cenderung
menampakkan karunia agung kerahiman yang mencari orang-orang berdosa dan
memberikan kepada mereka pengampunan dan keselamatan. Orang dapat melihat
mengapa, pada dasar pandangan kerahiman yang membebaskan seperti itu sebagai
sumber hidup baru, Yesus ditolak orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat
lainnya. Dalam usaha untuk setia kepada hukum, mereka hanya meletakkan
beban-beban pada pundak orang lain dan mengurangi kerahiman Bapa. Panggilan kepada
kesetiaan pada hukum tidak dapat menghalangi perhatian pada
kepentingan-kepentingan yang menyentuh pribadi-pribadi.
Panggilan Yesus yang diambil dari buku Nabi Hosea - “Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan
persembahan” (6:6) – adalah penting dalam hal ini. Yesus menegaskan bahwa sekarang
dan selanjutnya hukum kehidupan bagi para murid-Nya harus menempatkan kerahiman
pada pusat, seperti Yesus sendiri menunjuk-kan bersama dengan para pendosa. Kerahiman
sekali lagi ditampakkan sebagai suatu aspek fundamental misi Yesus. Ini sungguh
menantang para pendengar-Nya yang berhenti pada penghormatan formal dari hukum.
Yesus sebaliknya pergi melampaui hukum itu; para sahabat-Nya yang oleh hukum
dilihat sebagai para pendosa memahami hingga di mana sampai kerahiman-Nya.
Rasul Paulus juga membuat perjalanan yang sama. Sebelum
bertemu dengan Yesus di jalan ke Damaskus, dengan penuh semangat ia membaktikan
dirinya untuk mengejar keadilan menurut hukum (bdk. Flp 3:6). Pertobatannya
kepada Kristus mengubah pandangannya, sehingga ia menuliskan kepada jemaat di
Galatia: “Kami pun telah percaya kepada Kristus Yesus, supaya kami dibenarkan
oleh karena iman dalam Kristus dan bukan oleh karena melakukan hukum Taurat.
Sebab tidak ada seorangpun yang dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat”
(2:16).
Pemahaman Paulus tentang keadilan berubah secara
radikal. Sekarang ia menempatkan pertama iman, bukan keadilan. Keselamatan
terjadi bukan melalui ketaatan kepada hukum Taurat, tetapi melalui iman di dalam
Yesus Kristus, yang di dalam kematian dan kebangkitan-Nya membawa keselamatan
dan kerahiman yang membenarkan. Sekarang keadilan Allah menjadi kekuatan yang
membebaskan bagi mereka yang tertindih oleh perhambaan dosa dan akibatnya.
Keadilan Allah adalah kerahiman-Nya (Mzm 51:11-16).
21. Kerahiman tidak dilawankan dengan
keadilan, tetapi agaknya mengungkapkan cara Allah menjumpai pendosa, dengan
memberikan kepadanya suatu kesempatan baru untuk melihat dirinya, bertobat, dan
percaya. Pengalaman Nabi Hosea dapat menolong kita untuk melihat bagaimana
kerahiman mengatasi keadilan. Zaman nabi hidup merupakan salah satu zaman yang
paling dramatis dalam sejarah orang Yahudi. Kerajaan mendekati kehancuran; umat
tidak lagi setia kepada perjanjian, mereka telah menjauh dari Allah dan telah
kehilangan iman nenek moyang mereka. Menurut logika manusia, masuk akal bila
Allah menolak umat yang tidak setia: mereka tidak setia kepada perjanjian yang
ditetapkan dan karena itu pantas mereka dihukum, yakni pembuangan. Kata-kata nabi
memberi kesaksian tentang ini: “Mereka harus kembali ke tanah Mesir, dan Asyur
akan menjadi raja mereka, sebab mereka menolak untuk bertobat” (11:5). Dan
lagi, setelah panggilan kepada keadilan ini, nabi secara radikal mengubah
pembicaraannya dan menampakkan wajah yang benar dari Allah: “Masakan Aku
membiarkan engkau, hai Efraim, menyerahkan engkau, hai Israel? Masakan Aku
membiarkan engkau seperti Adma, membuat engkau seperti Zeboim? Hati-Ku berbalik
dalam diri-Ku, belas kasihan-Ku bangkit serentak. Aku tidak akan melaksanakan
murka-Ku yang bernyala-nyala itu, tidak akan membinasakan Efraim kembali. Sebab
Aku ini Allah dan bukan manusia, Yang Kudus di tengah-tengahmu, dan Aku tidak
datang untuk menghanguskan” (11:8-9). Santo Agustinus seolah-olah mengomentari
kata-kata nabi ini: “Lebih mudah bagi Allah menarik kembali kemarahan-Nya
daripada kera-himan”. Memang begitulah. Kemarahan Allah berlang-sung sesaat
saja, tetapi kerahiman-Nya berlangsung selamanya.
Jika Allah hanya membatasi diri-Nya hanya kepada
keadilan, Ia berhenti menjadi Allah, dan Ia menjadi seperti manusia yang hanya
meminta bahwa hukum dihormati. Tetapi keadilan saja tidak cukup. Pengalaman
mengajarkan bahwa permintaan keadilan saja akan mengakibatkan kehancurannya. Itulah
sebabnya Allah melampaui keadilan dengan kerahiman dan pengampun-an-Nya. Tetapi
ini tidak berarti bahwa keadilan tidak bernilai atau tidak berguna. Sebaliknya,
setiap orang yang membuat kesalahan harus membayar harganya. Akan tetapi ini
baru awal dari pertobatan, belum akhirnya, karena orang baru mulai merasakan
kelembutan dan kerahiman Allah. Allah tidak menyangkal keadilan. Agaknya Ia
menyampul itu dan melampauinya dengan suatu peristiwa yang lebih besar yang di
dalamnya kita mengalami kasih sebagai dasar dari keadilan yang benar. Kita
harus perhatikan lebih dekat apa yang dikatakan oleh Santo Paulus jika kita
ingin menghindari membuat kesalahan yang sama seperti yang dicelanya kepada
orang-orang Yahudi pada zamannya: “Sebab, oleh karena mereka tidak mengenal
kebenaran Allah dan karena mereka berusaha untuk mendirikan kebenaran mereka
sendiri, maka mereka tidak takluk kepada kebenaran Allah. Sebab Kristus adalah
kegenapan hukum Taurat, sehingga kebenaran diperoleh tiap-tiap orang yang
percaya” (Rom 10:3-4). Keadilan Allah ialah kerahiman-Nya yang diberikan kepada
setiap orang sebagai rahmat yang mengalir dari kematian dan kebangkitan Yesus
Kristus. Maka salib Kristus ialah penghakiman Allah atas semua kita dan atas
seluruh dunia karena melalui salib itulah Ia memberikan kepada kita kepastian
kasih dan hidup baru.
22. Sebuah Yubileum juga meminta pemberian indulgensi. Praktek ini akan memperoleh
suatu arti yang bahkan lebih penting di Tahun Suci Kerahiman ini. Pengampun-an
Allah tidak mengenal batas. Dalam kematian dan kebangkitan Yesus Kristus, Allah
membuat bukti yang lebih nyata akan cinta dan kekuatan-Nya menghancurkan semua
dosa manusia. Rekonsiliasi dengan Allah dimungkinkan melalui misteri Paska dan
perantaraan Gereja. Maka, Allah selalu bersedia untuk mengampuni, dan Ia tidak
pernah lelah mengampuni dalam cara-cara yang terus-menerus baru dan
mengagumkan. Akan tetapi semua kita kenal baik pengalaman dosa. Kita tahu bahwa
kita dipanggil kepada kesempurnaan (bdk. Mat 5:48), dan lagi kita merasakan
beratnya beban dosa. Meskipun kita merasakan kekuatan rahmat yang mengubah,
kita juga merasakan pengaruh-pengaruh dosa yang melingkungi kita. Kendatipun
diampuni, kita membawa dalam hidup kita pertentangan-pertentangan sebagai
akibat dari dosa-dosa kita. Dalam Sakramen Rekonsiliasi Allah mengam-puni
dosa-dosa yang harus diampuni; dan lagi, dosa meninggalkan suatu pengaruh
negatif dalam sikap-sikap dan pikiran-pikiran kita. Karena itu kerahiman Allah
lebih kuat daripada ini. Itu menjadi indulgensi dari pihak Bapa yang melalui
Pengantin Kristus, Gereja-Nya, menjumpai pendosa yang diampuni dan membebaskan
dia dari setiap bekas yang ditinggalkan oleh akibat-akibat dosa, yang memungkinkannya
untuk bertindak dengan cinta kasih, bertumbuh dalam kasih daripada jatuh
kembali kepada dosa.
Gereja hidup dalam persekutuan dengan para kudus.
Dalam Ekaristi, persekutuan ini, yang adalah rahmat dari Allah, menjadi
persekutuan rohani yang mengikat kita dengan para santo/a dan beato/a yang tak terbilang banyaknya (Why 7:4). Kekudusan
mereka menolong kita dalam kelemahan kita dalam suatu cara yang memungkinkan
Gereja, dengan doa-doa keibuan dan cara hidupnya, memperkuat kelemahan yang
satu dengan kekuatan orang lain. Karena itu menghidupi indulgensi Tahun Suci
berarti mendekati kerahiman Bapa dengan kepastian bahwa pengampunan-Nya
diperluas kepada seluruh hidup orang-orang beriman. Mendapat indulgensi adalah
mengalami kekudusan Gereja, yang mencurahkan semua buah penebusan Kristus, sehingga
kasih dan pengampunan Allah tersebar ke mana-mana. Marilah kita menghidupi
Yubileum ini dengan intens, sambil memohon Bapa mengampuni dosa-dosa kita dan
memandikan kita ke dalam “indulgensi” belas kasih-Nya.
23. Ada satu aspek kerahiman yang melampaui
batas Gereja. Itu menghubungkan kita kepada Yudaisme dan Islam, yang mereka
lihat itu sebagai salah satu dari sifat-sifat terpenting Allah. Israel adalah yang pertama
menerima pewahyuan ini yang berkelanjutan dalam sejarah sebagai sumber kekayaan
yang tak habis-habisnya yang diberikan kepada seluruh kemanusiaan. Seperti
telah kita lihat, halaman-halaman dari Perjanjian Lama tercelup dalam kerahiman
karena halaman-halaman itu mengisahkan karya-karya yang telah dikerjakan oleh
Allah kepada umat-Nya dalam waktu-waktu yang lebih sulit dalam sejarah. Di
pihak Islam di antara nama yang diberikan kepada Pencipta, ada nama “Yang
Maharahim dan Mahabaik”. Doa ini sering ada pada bibir orang-orang Muslim,
karena mereka sering merasakan ditemani dan disokong oleh kerahiman dalam
kelemahan hidup harian mereka. Mereka juga percaya bahwa tak seorang pun dapat
membatasi kerahiman ilahi karena pintu-pintunya selalu terbuka.
Tahun Yubileum ini yang merayakan kerahiman Allah
akan membantu perkembangan pertemuan dengan dua agama ini dan dengan
tradisi-tradisi agama lainnya; semoga itu mengarahkan kita kepada dialog yang
lebih terbuka sehingga kita dapat saling mengetahui dan memahami; semoga itu
menghilangkan setiap bentuk pikiran yang tertutup dan tidak menghormati,
melepaskan semua bentuk kekerasan dan diskriminasi.
24. Pikiran sekarang terarah kepada Bunda
Kerahiman. Kemanisan pandangannya menemani kita di Tahun Suci ini, sehingga
kita semua dapat menemukan kembali sukacita kelembutan Allah. Tak seorangpun
seperti Maria yang telah mengetahui kedalaman misteri Allah menjadi manusia. Seluruh
hidupnya dibentuk oleh kehadiran Kerahiman yang menjadi manusia. Bunda dari
Yang Tersalib dan Yang Bangkit dimasukkan ke dalam tempat kudus kerahiman ilahi
karena ia telah berpartisipasi secara intim pada misteri kasih-Nya.
Dipilih menjadi Bunda Putra Allah, sejak semula ia
telah dipersiapkan oleh kasih Bapa untuk menjadi Tabut Perjanjian antara Allah dan
manusia. Telah tinggal di dalam hatinya kerahiman ilahi dalam keharmonisan yang
sempurna dengan Putranya Yesus. Dalam Kidung Pujian-nya, yang dilambungkannya
pada ambang pintu rumah Elisabet, diberi tempat kerahiman Allah yang diperluas
dari generasi ke generasi (Luk 1:50). Kita juga termasuk dalam kata-kata
profetis Perawan Maria itu. Ini akan menjadi suatu sumber penghiburan dan
kekuatan kepada kita ketika kita melewati ambang Tahun Suci untuk mengalami
buah-buah dari kerahiman ilahi.
Pada kaki salib, Maria bersama dengan Yohanes, murid
terkasih, adalah saksi dari kata-kata pengampunan yang keluar dari bibir Yesus.
Pengampunan tertinggi kepada mereka yang telah menyalibkan Dia menunjukkan
kepada kita sampai di mana kerahiman Allah. Maria memberi kesaksian bahwa
kerahiman Putra Allah tidak mengenal batas dan menjangkau semua tanpa kecuali. Kita
arahkan kepadanya doa kuno dan selalu baru, yaitu Salve Regina, karena ia
tidak pernah lelah mengarahkan kepada kita mata belas kasihnya dan menjadikan
kita pantas meng-kontemplasikan wajah kerahiman, Putranya Yesus.
Doa kita juga diperluas kepada para santo/a dan
beato/a yang menjadikan kerahiman ilahi misi hidup mereka. Secara khusus
pikiranku terarah kepada rasul besar kerahiman, yaitu Santa Faustina Kowalska.
Dia yang dipanggil masuk ke dalam kerahiman ilahi memohon kepada kita dan
mendapatkannya bagi kita rahmat untuk hidup dan berjalan selalu dalam
pengampunan Allah dan dalam kesetiaan yang teguh pada kasih-Nya.
25. Karena itu saya memberikan Tahun Yubileum istimewa
ini untuk menghidupi dalam hidup harian kita kerahiman yang terus-menerus
diperluas oleh Bapa kepada kita semua. Dalam Tahun Yubileum ini marilah kita
membiarkan Allah mengagumi kita. Ia tidak pernah lelah membuka pintu hati-Nya
untuk mengulangi bahwa Ia mencintai kita dan Ia ingin berbagi hidup dengan
kita. Gereja merasakan pentingnya mewartakan kerahiman Allah. Hidupnya otentik
dan dapat dipercaya hanya ketika ia menjadi bentara kerahiman yang meyakinkan. Gereja
tahu bahwa tugas utamanya teristimewa dalam momen yang penuh harapan besar dan
tanda-tanda kontradiksi ialah memperkenalkan setiap orang misteri agung
kerahiman Allah dengan merenungkan wajah Kristus. Gereja di atas segalanya
dipanggil untuk menjadi saksi yang dapat dipercayai kepada kerahiman,
mengakuinya dan menghidupinya sebagai inti pewahyuan Kristus. Dari hati
Trinitas, dari kedalaman misteri Allah, sungai besar kerahiman memancar keluar
dan mengalir tiada henti. Itu adalah suatu mata air yang tak akan pernah
kering, entah berapa pun banyak orang menimba daripadanya. Setiap waktu tiap-tiap
orang yang memerlukannya dapat mendekatinya, karena kerahiman Allah tidak
pernah berakhir. Kedalaman misteri yang dikandungnya tak pernah habis-habisnya
demikian juga dengan kekayaan yang mengalir keluar daripadanya.
Di Tahun Yubileum ini, semoga Gereja menggemakan
Sabda Allah yang berbunyi kuat dan jelas sebagai suatu pesan dan tanda
pengampunan, kekuatan, dan kasih. Semoga Gereja tidak pernah lelah memberikan
kerahiman dan selalu sabar dalam menghibur dan mengampuni. Semoga Gereja
menjadi suara setiap laki-laki dan perempuan dan mengulangi dengan yakin: “Ingatlah
segala rahmat-Mu dan kasih setia-Mu, ya Tuhan, sebab semuanya itu sudah ada
sejak purbakala” (Mzm 25:6). ***
Diberikan
di Roma, di Basilika St. Petrus tanggal 11 April 2015, Hari Minggu Paska Kedua
atau Hari Minggu Kerahiman Ilahi, dalam tahun Tuhan, tahun ketiga kepausan
saya.
FRANSISKUS
****
Posting Komentar
Terima kasih atas Partisipasi Anda!