Fr. Michael A. Aritonang OFMCap
Setiap orang dipanggil untuk terbuka terhadap kasih dan sapaan Allah. Namun, harus diakui bahwa ternyata tidak setiap orang mau mendengarkan sapaan dan kasih itu. Bisa karena memang orangnya tertutup (tuli), bisa juga karena tidak mau membuka mulut untuk berkata-kata (bisu). Analogi ini menjadi suatu contoh konkrit untuk menggambarkan bahwa sesungguhnya keselamatan yang dari Allah, kini telah tiba. Dan itulah yang menjadi seruan nabi Yesaya kepada orang sebangsanya yang sedang dalam ketakutan dan keputusasaan: “Kuatkanlah hatimu, jangan takut! Lihatlah, Allahmu akan datang dengan pembalasan dan ganjaran. Ia sendiri datang menyelamatkan kamu”. Yesaya menubuatkan bahwa telah tiba saatnya bangsa Israel bersukacita dan bersorak-sorai sebab Allah telah datang untuk membebaskan umat-Nya. Dan Ia sendiri akan membuka telinga orang tuli supaya dapat mendengar dan mulut orang bisu supaya dapat berbicara. Di sini, Yesaya mengajak semua orang untuk berkata seperti pemazmur: “Betapa megah nama-Mu Tuhan, di seluruh bumi”. Bagi pemazmur, jelas bahwa Allah patut dimuliakan dan diagungkan sebab Ia menegakkan keadilan bagi orang yang tertindas, memberi makan kepada yang lapar, membebaskan para tawanan, membuka mata orang buta dan tuli, mengasihi orang-orang benar dan menjaga orang-orang asing.
Kepenuhan nubuat Yesaya akan datangnya penyelamat menjadi kenyataan melalui kehadiran Yesus dalam peristiwa penyembuhan seorang bisu tuli. Dan itu dapat tampak dalam diri orang-orang yang memohon supaya Yesus mau meletakkan tangan atas seorang bisu tuli dan menyembuhkannya. Inisiatif itu datang dari orang banyak yang mungkin telah mendengar mukjizat yang pernah dilakukan Yesus di tempat lain. Dan kini mereka hendak membuktikan sendiri kebenarannya. Ternyata apa yang mereka dengar itu, benar-benar terjadi.
Hal yang menarik dari reaksi orang banyak yang melihat mukjizat penyembuhan orang bisu tuli itu adalah mereka pergi mewartakan apa yang mereka saksikan sendiri meskipun Yesus telah melarang mereka untuk berkata-kata tentang kejadian itu. Akan tetapi, mereka tahu bahwa mereka tak boleh berhenti sampai di situ saja. Apa yang mereka alami sendiri, mesti disebarluaskan supaya orang lain juga memperoleh keselamatan dari Allah. Telinga dan mulut mereka telah terbuka untuk memuliakan dan memegahkan nama Yesus ke seluruh penjuru bumi.
Kisah Yesus menyembuhkan orang bisu tuli dapat kita jadikan sebagai refleksi dalam kehidupan kita sebagai orang beriman. Tetapi kita juga harus mengerti apa konteks bisu tuli di zaman kita saat ini. Biasanya orang tuli juga tidak dapat berbicara, sebab dia tidak dapat mendengar apa yang harus dia katakan. Analogi bisu tuli dalam injil dapat ditafsirkan sebagai suatu sikap ketertutupan terhadap keselamatan Allah. Dan itu dapat dilihat ketika kita tidak mampu terbuka terhadap sapaan dan kasih Allah yang hadir di tengah-tengah kita. Tuli menjadi suatu sikap apatis, tidak mau mendengar apalagi melaksanakan kehendak Allah. Dan itu berlanjut pada sikap di mana kita tidak mau membuka mulut untuk mewartakan keselamatan yang datang dari Allah. Ketika ada orang yang meminta pertolongan dari kita, (misalnya orang miskin dan tertindas), kita tidak mau mengulurkan tangan untuk membantu mereka keluar dari kesusahan. Bahkan kita berusaha menghindar dan tidak mau bersentuhan dengan mereka. Akibatnya, kita tidak terbuka untuk menghadirkan Kristus dalam kehidupan harian kita. Padahal, mereka inilah yang wajib kita perhatikan dan pelihara. Sebab untuk itulah Allah memberikan kita kemampuan untuk berpikir, kecakapan untuk bertindak dan harta benda untuk memperhatikan setiap orang yang lemah dan berkekurangan. Apa yang kita terima dari Allah seharusnya kita gunakan untuk memperluas keselamatan Allah kepada banyak orang seperti yang telah dilakukan oleh orang banyak dalam kisah injil tentang penyembuhan seorang bisu tuli. Mereka tidak tinggal diam, tetapi mewartakan keajaiban itu meskipun Yesus sendiri melarang mereka.
Setiap orang kristen diundang untuk memiliki sikap terbuka terhadap sapaan dan kasih Allah. Kita harus membuka telinga untuk mendengarkan Sabda-Nya, dan membuka mulut untuk mewartakan kemuliaan nama-Nya. Itulah iman yang sejati. Dan sebagai orang beriman, rasul Yakobus mengingatkan kita untuk mewujudkan kesungguhan iman itu melalui tindak nyata, bukan dengan kepura-puraan. Yakobus menasihatkan supaya dalam mengamalkan iman itu, kita tidak memandang muka atau membeda-bedakan: yang kaya dihormati dan dipuja, tetapi yang miskin ditindas dan diabaikan. Menurut Yakobus, iman yang benar harus diamalkan melalui perbuatan nyata yang dapat menghantar banyak orang untuk sampai pada keselamatan Allah. Namun, terkadang kita pun menjadi orang tuli yang tidak mau terbuka terhadap sapaan kasih Allah yang sesungguhnya telah hadir di tengah-tengah kita melalui Sabda dan Ekaristi. Tetapi karena kita tuli, maka kita pun tak mampu lagi untuk mewartakan Allah kepada sesama kita. Maka, mari kita memohon supaya Allah membuka telinga dan mulut kita agar kita mampu mendengarkan Sabda Allah dan melaksanakannya dalam kehidupan nyata setiap hari. Semoga Roh Kudus dan doa-doa para kudus menyertai saudara-saudari sekalian. Amin.
MEMBUKA TELINGA UNTUK MENDENGARKAN SABDA ALLAH DAN MEWARTAKAN KEMULIAAN NAMANYA (Yes 35:4-7a; Yak 2:1-5; Mrk 7:31-35)
Labels:
Renungan
Posting Komentar
Terima kasih atas Partisipasi Anda!