Fr. Michael A. Aritonang OFMCap
Manusia sering mengukur kebaikan orang menurut ukuran dunia, bahkan menggunakan ukuran yang bersifat ekonomis. Manusia juga sering mengukur berdasarkan waktu dan prestasi duniawi dan merasa diri paling berjasa atas banyak hal tanpa melihat peran orang lain di dalamnya. Akibatnya muncullah suatu sikap dan pemikiran bahwa: “Aku patut mendapatkan bagian dan imbalan yang paling besar; Dan aku harusnya berada di urutan terdepan”.
Dalam bacaan injil hari ini, Yesus mengingatkan kita pada dua hal yang mesti kita hidupi sebagai umat beriman. Pertama, kesepakatan. Sebelum tuan rumah menyuruh para pekerja ke kebun anggurnya, dia terlebih dahulu mengadakan kesepakatan dengan mereka. Kesepakatan itu tentu diambil atas dasar saling menguntungkan. Jika tidak terlebih dahulu sepakat, tidak mungkin si tuan rumah menyuruh pekerja pergi. Atau tidak mungkin pekerja mau bekerja jika upah yang akan mereka terima nantinya tidak sesuai dengan kerja keras mereka. Karena itu, kesepakatan menjadi dasar tindakan keduabelah pihak.
Kedua, kemurahan hati. Ketika tuan rumah menyuruh mandornya untuk memberikan upah kepada para pekerja itu mulai dari yang pertama ke yang terakhir, ternyata mereka semua menerima upah yang sama, yakni satu dinar. Tentu saja hal ini menimbulkan pertanyaan besar bagi pekerja yang masuk lebih awal: “Bagaimana mungkin tuan rumah memberikan upah yang sama untuk mereka yang bekerja lebih lama dengan yang bekerja hanya satu jam saja? Bukankah ini suatu ketidakadilan?” Mereka yang bekerja lebih lama sebenarnya mengharapkan upah yang lebih banyak dibandingkan mereka yang bekerja sebentar saja. Tetapi dalam konteks ini, si tuan yang menggaji mereka berbuat dengan sangat adil. Dia memberikan upah kepada para pekerja yang masuk pertama sesuai dengan kesepakatan mereka. Dia tidak memberi lebih atau kurang dari apa yang telah mereka sepakati bersama. Dan terhadap mereka yang masuk kemudian diberi juga upah yang sama. Bukankah itu hak dan kebebasan tuan rumah untuk menggunakan seluruh miliknya. Lebih lanjut mau dikatakan bahwa tuan rumah ingin menunjukkan belaskasih dan kemurahan hatinya terhadap orang lain. Jadi, pantaskah para pekerja itu menuntut sesuatu yang tidak disepakati?
Persoalan yang muncul dalam injil tadi sering kita alami dalam kehidupan setiap hari. Sikap cemburu dan perasaan sangat berjasa inilah yang melatarbelakangi munculnya protes dan penolakan terhadap perbuatan orang lain yang menurut pandangan kita berlaku tidak adil terhadap kita. Banyak hal baik yang pada akhirnya kita kesampingkan karena sikap kita yang kurang baik. Kita meminta orang lain memberi sesuai dengan apa yang kita inginkan dan ingin diperlakukan secara khusus. Kita menjadi iri hati dengan kemurahan hati orang lain yang dapat menggunakan haknya secara bebas. Kita ingin mendapatkan sesuatu yang lebih daripada yang diterima oleh orang lain karena kita lebih berjasa dan lebih banyak bekerja. Kita tidak mengingat lagi hal-hal yang sudah jelas-jelas menjadi kesepakatan kita dengan pihak lain. Kita lupa bahwa sebenarnya apa yang kita terima juga merupakan bukti kemurahan hati orang lain. Jadi mengapa kita harus cemburu, iri hati atau menuntut lebih banyak lagi? Bukankah seharusnya kita bersyukur atas kemurahan orang lain terhadap kita?
Dalam kehidupan beriman, hal ini juga sering kita alami. Ketika Tuhan memberikan sesuatu seperti yang telah kita dapatkan sekarang dan kita melihat orang lain mendapat lebih banyak dari kita, kita pun merasa cemburu, iri hati dan bahkan menuduh Tuhan tidak adil terhadap kita. Atau kalau sedang sakit, sementara selama ini kita hidup baik, tetapi ketika melihat orang lain yang hidupnya kurang baik selalu sehat dan jarang mengalami masalah, kita merasa bahwa Allah tidak mengasihani dan menjauh dari kita. Tetapi sesungguhnya Allah sangat mencintai dan mengasihani kita dengan cara-Nya sendiri. Dia memberikan cinta dan keadilan-Nya sesuai dengan kehendak-Nya sendiri, tapi kita sering kurang menyadarinya. Kita sering menilai kemurahan hati Allah sesuai dengan cara pandang dan sifat kemanusiaan kita. Kita tidak melihat rencana baik Allah dibalik semua hal yang terjadi kepada kita. Kita lupa bahwa rancangan Allah tidak sama dengan rancangan manusia. Manusia melihat dan mengukur sesuai dengan apa yang kelihatan dan menurut ukuran duniawi. Tetapi Allah melihat dan mengukur dengan ukuran cinta dan keadilan serta kemurahan hati-Nya. Dia senantiasa mencari semua orang untuk dapat masuk ke dalam Kerajaan-Nya dan melimpahkan kemurahan-Nya kepada siapa saja tanpa memandang muka.
Kita sebagai pengikut Kristus dituntut untuk tidak pernah merasa bahwa diri kitalah yang paling berjasa. Kita harus mencari Tuhan dan berseru selama Ia berkenan ditemui. Kita diajak untuk meninggalkan perbuatan yang kurang berkenan di hadapan Allah serta mengundang Dia untuk selalu bersemayam dan hidup di dalam hati kita setiap hari. Seperti kata Rasul Paulus: “Bagiku, hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.” Dan di tempat lain Paulus juga berkata: “Jika kita hidup, kita hidup bagi Tuhan. Dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi entah hidup entah mati, kita tetap milik Tuhan.” Maka, yang paling penting kita lakukan adalah hidup sesuai dengan perintah Tuhan serta mengandalkan Dia dalam hidup setiap hari. Lebih jauh, kita harus meletakkan segala pengharapan kita kepada Allah dan membiarkan segalanya terjadi sesuai dengan kehendak-Nya. Kemurahan hati Allah sungguh tidak terbatas. Karena itu, kita harus yakin bahwa jalan Allah adalah jalan yang terbaik dan pilihan-Nya adalah yang terbaik. Maka, tak ada hal lain yang dapat kita perbuat selain berkata: “Aku ini hamba Tuhan. Terjadilah padaku menurut kehendak-Mu.” Semoga. Amin.
IRI HATIKAH ENGKAU KARENA AKU MURAH HATI??? (Yes 55:6-9; Flp 1:20c-24.27a; Mat 20:1-16a)
Labels:
Renungan
Posting Komentar
Terima kasih atas Partisipasi Anda!