1. Pengantar
Hidup bersama dengan orang lain
adalah kenyataan yang tidak bisa kita sangkal. Setiap orang pastilah akan
selalu berhubungan dengan sesamanya. Hal ini bisa kita lihat dalam pengalaman
kita setiap hari: seberapa banyak kita berkontak dengan orang lain. Rasanya
sulit bila kita tidak berkomunikasi dengan orang lain. Namun dalam kenyataan sering
komunikasi kita dengan orang lain tidak lancar (entah karena kurang mendengar,
kurang sopan, terkesan melukai perasaan, teman bicara kita membebalkan; atau
bahkan kita sendiri menimbulkan kesan negatif terhadap orang lain yang
mengakibatkan komunikasi kita tidak lancar). Maka, hal ini tentu berpengaruh
bagi hidup kita sendiri baik secara rohani maupun secara jasmani.
Kita sebagai orang beriman
(termasuk anggota Lembaga Hidup Bakti), bagaimana (seharusnya/paling tidak)
kita membangun suatu komunikasi yang baik, yang tentunya akan membawa kebaikan
bagi orang lain, bagi keselamatannya dan juga bagi perkembangan hidup kita. Tulisan
ini tentu tidak hendak mengungkapkan seluruh aspek yang perlu mendasari
komunikasi kita tetapi hanya akan merefleksikan beberapa hal yang kiranya perlu
mendasari komunikasi kita dengan orang lain.
2. Ada Keakraban Cinta
Dalam sebuah tulisan yang
sifatnya refleksi dikatakan bahwa sejarah hubungan antara Allah dan umat
manusia seperti dicatat dalam Kitab Suci Perjanjian Lama dan kemudian
Perjanjian Baru, kalau dapat diungkapkan secara singkat, sesungguhnya merupakan
suatu hubungan keakraban cinta.
Bahkan Allah selalu menyatakan cintaNya meskipun manusia (Adam) jatuh dalam
dosa dan meninggalkan Allah. Allah tidak memutuskan komunikasiNya kepada
manusia. Cinta dan kerahimaNya tetap turun atas manusia. Hal ini bukan karena
sudah sejak awal Allah telah menetapkan dan menciptakan manusia serupa dengan
citraNya tetapi karena Allah menghendaki kebaikan bagi manusia. Maka, adapun hubungan
antara Allah dan umat manusia yang tampak semenjak Adam dan sekarang puncaknya
dalam diri Yesus Kristus, selalu mencerminkan hubungan cinta. Kehadiran Kristus
menjadi puncak cinta dan komunikasi Allah terhadap manusia.
Bahasa cinta Allah tampak menjadi
bahasa yang biasa, karena disampaikan dalam konteks yang sangat manusiawi, yakni
dalam lingkungan hidup-budaya manusia biasa. Tetapi justru karena itu, Sabda
itu menjadi luar biasa dan menantang untuk dinyatakan secara radikal. Ketika
seseorang atau sekelompok orang memilih Allah, memilih Cinta itu, sebenarnya
tidak ada pilihan lain baginya selain daripada kembali mencintai Allah dan hal
itu tampak dalam cinta kepada sesama. Penyataan cinta itu tidak mengenal waktu
suka atau duka dalam kehidupan sekalipun. Itulah resiko sebuah cinta.
Kita sebagai orang beriman (atau yang
dipanggil secara khusus untuk mengabdi Allah), sejauh mana cinta itu sudah
memengaruhi komunikasi kita dengan orang lain? Seberapa jauh komunikasi kita
membawa orang kepada keselamatan? Mungkin selama kita masih hidup pertanyaan
ini masih akan tetap hidup dan bergaung untuk kita renungkan. Tetapi
bagaimanapun, kiranya cinta itu, seyogianya melandasi pergerakan kita karena itulah
salah satu ciri khas hidup dan panggilan kita sebagai orang beriman.
Sebagaimana sudah disinggung tadi bahwa secara singkat sebenarnya boleh kita
katakan bahwa seluruh isi Sabda Allah adalah ungkapan cinta Allah. Maka hidup
kitapun berangkat dari cinta Allah.
Berhadapan dan berkomunikasi
dengan orang lain mesti selalu dilandasi keakraban cinta. Hal itu sudah
ditunjukkan oleh Yesus sendiri. Seluruh tindakan Yesus selalu atas dasar cinta.
Cinta akan membawa orang kepada pembaharuan hidup dan inilah yang dituntut
Yesus dari kita. Kita membangun hidup, membangun komunitas yang berlandaskan
cinta sehingga mampu membawa orang kepada keselamatan.
3. Ada Komunikasi Iman
Iman mestinya diungkapkan,
dikatakan, dibahasakan, dikomunikasikan, ditunjukkan, dan diperlihatkan agar
iman itu nyata. Rasul Yakobus berkata bahwa iman tanpa diungkapkan adalah iman
yang mati. Pewujudnyataan iman itu sekaligus merupakan suatu penghayatan iman.
Iman yang dihayati tampak dalam pewujutannya. Iman bukanlah sesuatu yang dicangkokkan
pada hidup tetapi Iman itu merupakan dimensi yang paling dalam dari hidup orang
beriman. Dalam iman manusia menghayati hidup di hadapan Tuhan. Bagaimana iman
ditunjukkan/ditampakkan, tentu tergantung dari kekhasan hidup masing-masing
orang. Maka sebagai seorang beriman, seyogianya dapat berkomunikasi dalam iman
sebab komunikasi merupakan ciri khas iman.
Orang beriman, yang dipanggil
Allah menjadi umatNya, mestinya mendasarkan hidup atas kasih karunia Allah.
Seluruh pergerakan kita ada dalam kerangka kasih Allah. Maka dalam
berkomunikasi pun, hal yang sama berlaku. Komunikasi manusiawi kita menjadi
komunikasi dalam iman. Sehingga, komunikasi kita, yang kerap diwarnai oleh
kekurangharmonisan seperti keretakan, keributan, perkelahian, saling
mendiamkan, mengadu domba, pembohongan, dan lain-lain, harusnya masuk dalam
kerangka iman. Maka, komunikasi tidak berhenti hanya pada sisi manusiawi kita
tetapi terus terbuka ke arah introspeksi dan pertobatan.
Di sini pantas kita akui bahwa
salah satu hambatan terbesar dalam pewujudannya ialah kekerasan hati. Kita
tidak mau jujur, tidak mau bertobat, tak mau menyangkal diri dan tidak mau
diangggap rendah. Hal ini (hambatan-hambatan tadi) sering juga membuat kita
gagal dan stagnan dalam hidup baik secara pribadi maupun bersama. Sering kita
tidak bisa maju/berkembang karena takut: takut tersinggung sehingga kita
menjadi tidak jujur; karena harga diri akhirnya kita menjadi tidak bertobat
(sulit mengubah diri); karena merasa diri tidak berdosa dan merasa diri lebih
berkuasa sehingga tidak bisa ditegor; atau bahkan kita takut dikatakan
berlebihan (pataho-tahohon) sehingga
kita tidak mau menegor orang lain yang bertindak kurang tepat.
Komunikasi iman kiranya bukanlah sesuatu
yang aneh bagi kita. Komunikasi iman berarti komunikasi yang memberi perhatian terutama
pada pengungkapan iman dalam hidup bersama dengan orang lain. Bagaimana berkomunikasi?
kiranya bukan juga suatu pertanyaan yang sulit kita jawab. Setiap orang pasti tahu
bagaimana manusia berhubungan dengan sesamanya: dengan duduk bersama,
berbincang-bincang, bercerita, bekerjasama, saling meneguhkan dan membantu
dalam membangun hidup bersama. Namun, yang terutama perlu diperhatikan kalau
orang hidup bersama dalam satu rumah ialah bagaimana hidup ditata dalam satu
kebersamaan, misalnya pengaturan waktu bersama, adat kebiasaan, pembagian tugas,
pertemuan, rapat, dan evaluasi bersama. Hal yang sama berlaku untuk
pengungkapan iman. Setiap pribadi diundang untuk mengungkapkan imannya yang
nyata terhadap sesamanya. Sehingga komunikasi kita tidak hanya sesuatu yang
lahiriah saja tetapi komunikasi yang sungguh-sungguh membangun masing-masing
pribadi.
4. Ada Ikatan Batin
Kita semua pasti menyadari bahwa
seorang bayi mungil pada bulan-bulan awal sesudah kelahirannya belum dapat
diajak berbicara. Tetapi kita tahu bahwa seorang ibu dapat berkomunikasi dengan
bayinya. Hal itu dapat terjadi lewat sorotan mata, lewat senyuman, lewat
tangisan, ledekan dan lain sebagainya. Sebenarnya, komunikasi itu dapat terjadi
karena antara ibu dan bayi ada ikatan lahir batin. Demikian juga kiranya dengan
dua orang yang hanya saling mengenal di permukaan, tentu tidak akan bertahan
dalam suasana kesunyian. Dengan cara tertentu, mereka akan mencari jalan untuk
menghindari kesunyian. Sebaliknya dua orang sahabat karib tidak takut akan
kesunyian sebab dalam keheningan, mereka dapat juga berbicara.
Dari kenyataan tersebut di atas,
dapat kita katakan bahwa komunikasi ternyata tidak hanya menyangkut tata-lahiriah
yang tampak dalam permukaan (yang kasat mata), tetapi melampaui yang kasat mata
itu dan menyentuh kedalaman inti batin seseorang. Seseorang dengan orang lain
mempunyai ikatan batin sehingga komunikasi menjadi jauh lebih efektif dan
berdayaguna membangun hubungan yang harmonis.
5. Ada Kerendahan Hati
Dalam hidup bersama dengan orang
lain, satu hal yang perlu ialah adanya sikap saling memberi nasehat. Hidup
bersama dapat berdiri kokoh bila para anggotanya bersedia menasehati dan
dinasehati, ada corectio fraterna
yang diungkapkan dalam cinta kasih dan kerendahan hati. Namun kita sadar,
umumnya orang kurang bersedia ditegor. Hal itu tampak bila seseorang ditegor,
langsung sakit hati, merasa direndahkan. Lebih-lebih lagi bila kita merasa bahwa
kita di atas dan ditegur oleh orang yang kita pikir levelnya masih di bawah
kita. Sebaliknya juga kita sebagai bawahan sering merasa dikucilkan, merasa dianggap
hanya seperti pembantu saja, merasa tidak dicintai bila kita
ditegur/dinasehati.
Nasehat atau tegoran mestinya
kita terima dengan lapang hati dan bukan sebaliknya mencari-cari jawaban yang
kesannya masuk akal untuk membenarkan diri. Nasehat itu akan membangun
kehidupan bersama kita menjadi bangunan yang lebih kokoh. Maka dua sikap ini
yakni bersedia menegor dan ditegor mesti ada dalam diri setiap orang agar hidup
kita, baik secara pribadi maupun komunal dapat bertumbuh dan berkembang.
Dari kutipan Mat 18:15-17, kita
dapat belajar bagaimana berkomunikasi. Kita diajak untuk memikirkan cara yang
tepat dan lebih bersahabat dalam berkomunikasi.pertanyaan reflektif bagi kita
aialah bagaimana sikap kita bila berhadapan dengan orang lain, dengan saudara
kita, dengan komunitas (tempat kita berkarya), dan terutama dengan mereka yang
melakukan kesalahan? Beranikah kita berbicara? Atau bahkan memilih untuk diam
karena takut tersinggung. Bagaimana seharusnya cara kita berbicara? Demikian juga
sebaliknya, bagaimana seharusnya sikap kita bila kita berada dalam posisi yang
diingatkan (berdosa/bersalah)? Dua pilihan bagi kita: menerima apa yang benar
atau menolak seperti orang-orang Farisi yang sering menolak Yesus karena
mengatakan yang benar (bebal hati, sombong, merasa tidak bersalah). Kita memang
mesti mengambil sikap terhadap apa yang kurang tepat tetapi mesti kita membangun
komunikasi yang tepat pula. Komunikasi yang tepat telah ditunjukkan Yesus
sendiri. Hal itu nyata dalam tindakan dan perbuatanNya yang membawa keselamatan
bagi banyak orang. Maka sebagai orang beriman, yang mengikuti Yesus, kiranya mampu
berkomunikasi kepada setiap orang terutama lewat sikap kita sehingga mampu
membawa kebaikan bagi orang lain.
6. Penutup
Hidup
yang baik dan bahagia dalam suatu komunitas adalah dambaan setiap orang. Tidak
ada orang yang mengharapkan ketidakbaikan. Segala usaha akan ditempuh untuk
memperoleh hidup yang baik dan bahagia itu. Maka salah satu upaya yang perlu
diusahakan ialah membina hubungan yang harmonis dengan orang lain. Terciptanya
hubungan yang harmonis tersebut mengandaikan adanya cinta dalam setiap pribadi
yang ingin menciptakan keharmonisan tersebut. Cinta itu hanya akan menjadi
nyata dan mampu membangun keharmonisan bila dibahasakan, dikomunikasikan dalam
hidup. Agar cinta itu dapat membangun hidup kita, hidup bersama dengan orang
lain, maka langkah laku kita harus selalu berlandaskan cinta Allah. Cinta kasih
itu adalah semangat dan kebahagiaan. Maka komunikasi kita hendaknya mampu
membawa semangat dan kebahagiaan bagi orang lain.
Posting Komentar
Terima kasih atas Partisipasi Anda!