NATAL ADALAH PERISTIWA PENYELAMATAN
(Yoh 1:11)
Fr. Damainus F. Tilman, OFMCap
Pengantar
Natal
adalah momen ketika kita memperingati dan merayakan kedatangan Tuhan. Ada
banyak cara yang kita buat untuk merayakan peristiwa penHoly Night yang agung kadang telah
di-discoremix-kan. Berangkat dari sini, saya menawarkan sebuah refleksi atas makna Natal.
Fr. Damianus F. Tilman, OFM Cap |
Dosa Membawa Kita kepada Kematian
Natal
adalah peristiwa penyelamatan. Dalam Injil diketengahkan kepada kita bagaimana
Allah datang ke dunia dan menjadi seperti kita. Tujuan kedatangan-Nya adalah
untuk menyelamatkan dunia yang terkungkung oleh belenggu dosa; untuk
mengembalikan dunia kepada kodratnya; untuk mengembalikan Firdaus yang hilang.
Allah datang untuk menerangi kehidupan kita yang gelap dan membawa kita keluar
dari kematian akibat dosa kepada kehidupan bersama-Nya.
Mengapa
kita harus diselamatkan? Karena kita telah rusak oleh dosa! Kita yang sejak
semula baik adanya diciptakan Allah kini telah rusak. Dosa merusak kodrat kita.
Dosa akan membawa kita kepada kematian. Dosa di sini bukan sekedar konsep
teoritis belaka yang tidak mempunyai efek kepada kehidupan kita. Dosa ini nyata
dalam kehidupan kita. Sejenak kita bisa merunut sejarah. Sejarah telah
menunjukkan bahwa dunia ini tidak
pernah benar-benar bebas dari perang. Tidak usah jauh-jauh kita merunut ke masa
purba. Kiranya masih segar dalam ingatan kita peristiwa genocida di Rwanda, pembantaian
di Kamboja, Sudan, Irak dan di tempat-tempat lainnya. Perang selama abad XX
merupakan perang yang menelan korban paling banyak dalam sejarah. Palang Merah
Internasional memperkirakan lebih dari 100 juta orang telah terbunuh dalam
perang-perang selama abad XX. Abad XXI pun dimulai dengan “Perang atas Teror” yang
diikuti oleh perang Irak dan konflik-konflik lain yang lebih kecil yang terus
menerus terjadi di seluruh penjuru bumi. Perang jelas dan pasti membawa kita
kepada kematian. Perang itu adalah muara dosa.
Dalam zaman teknologi
yang super canggih dewasa ini, rupanya ketidakadilan pangan justru semakin besar.
Bank Dunia melaporkan terdapat lebih dari 800 juta orang yang kelaparan tiap
harinya, dan lebih dari 500 juta anak-anak tidak mendapat cukup nutrisi untuk
tumbuh dengan normal, secara fisik ataupun mental. Terdapat 1 milyar
orang miskin di negara berkembang yang hidup dengan atau kurang dari USD.1.00
per hari. Peningkatan harga bahan bakar dan makanan semakin cepat dan akan
terus meningkat sehingga memperbanyak kelaparan dan kemiskinan. Bahkan di
negara maju seperti Amerika Serikat, kenaikan harga makanan dan inflasi membuat
orang miskin makin miskin; menempatkan banyak orang dalam resiko menjadi
miskin, dan memperburuk kondisi keuangan dari kaum ekonomi menengah ke bawah.
Jurang antara orang kaya dan orang miskin justru semakin lebar.
Di
negara kita, hampir setiap hari kita dengar berita ketidakadilan. Jeritan kaum
lemah pun semakin nyaring, sementara “orang-orang besar” hidup “di atas angin”.
Kalangan pejabat sepertinya beramai-ramai menghabiskan uang rakyat. Korupsi
merajalela. Segelintir orang dapat menikmati segalanya tanpa batas. Kebutuhan
terus-menerus dicipta untuk menghabiskan harta yang bertumpuk. Banyak uang
berhamburan di tempat-tempat santai, tempat-tempat hiburan. Banyak atau hanya
segelintir saja orang hidup di atas penderitaan orang lain, atau
sekurang-kurangnya berdampingan dengan orang yang menderita.
Kemerosotan
moral mencapai puncak tertinggi dalam sejarah dalam dua dekade terakhir ini. Masyarakat
modern lebih menampakkan egoisme yang akibatnya mengilangkan segala
ikatan-ikatan sosial. Individualisme semakin tinggi, sebaliknya bela rasa
semakin memudar. “Revolusi seksual” pun mengalami puncak tertinggi pada abad
ini. Sex bukan lagi sesuatu yang sakral, tetapi justru hampir-hampir menjadi
gaya hidup manusia modern. Seks bukan lagi didasari cinta tetapi didasari oleh
nafsu dan pemuasan diri. Meledaknya angka aborsi di seluruh dunia adalah bukti paling nyata dari
kasih yang telah menjadi dingin yang merupakan akibat dari revolusi seksual.
Setiap hari ribuan bayi dalam kandungan dibunuh oleh
ibunya sendiri dan tampaknya dengan persetujuan publik! Hal ini
semakin diperkeruh oleh penggunaan narkoba dan obat-obat terlarang.
Masyarakat
barangkali semakin mengorupsi dengan hancurnya dasar fundamentalnya, yaitu
keluarga. Keluarga yang semestinya menjadi tempat yang tidak bisa digantikan
untuk menanamkan cinta kini semakin tidak bisa lagi diandalkan. Semakin hari
keluarga semakin digerogoti oleh kesibukan. Orang tua semakin sulit memberikan
waktunya bagi anak-anaknya. Akibatnya segala media: TV, internet, Game
Online, play station lebih banyak menemani dan “membimbing”
anak-anak. Banyak orang tua merasa tidak bisa bekerja sama dengan anak-anaknya
dan kepercayaan mereka terhadap anak-anaknya semakin berkurang. Grafik
perceraian disinyalisasi juga semakin meningkat. Denominasi media atas
masyarakat semakin menjadi-jadi yang akhirnya cenderung menggiring masyarakat
untuk melegalkan segala bentuk immoralitas. Akhirnya kita pun takut ketika
membayangkan suatu masyarakat tanpa ikatan-ikatan moral dan kontrol sosial;
membayangkan masa depan yang suram, suatu dunia dengan generasi yang khaos.
Di
mana-mana orang semakin menjunjung tinggi “kebebasan”. Dan kebebasan yang
dipahami adalah bebas “sebebas-bebasnya dari” bukan “bebas untuk”. Hal ini
berujung pada individualisme yang fanatik tetapi gampang merelatifkan segala
sesuatu. Yang menjadi patokan moral bukan lagi sesuatu yang mutlak tetapi “selera”
diri sendiri. Setiap orang bebas menentukan kaidah baik buruk. Patokan dan
penentu hidup bukan lagi Tuhan. Nurani pun semakin tumpul. Sebagai
“barometer”, dalam kenyataan cukup banyak orang yang tidak merasa berdosa
ketika tidak ke Gereja pada hari Minggu, tetapi akan merasa berdosa ketika
melewatkan episode sinetron kesayangannya. Ada orang yang merasa rugi ketika
meluangkan waktunya untuk hal-hal sosial, tetapi akan merasa rugi karena
melewatkan kesempatan menggelapkan sisa anggaran proyek. Otoritas-otoritas
dari pihak luar semakin sulit memasuki seseorang, tetapi di sisi lain banyak
orang gampang diombang-ambingkan oleh tawaran-tawaran rendah. Dunia kita
semakin luas, tetapi kita terasing di dalamnya. Hiruk-pikuk sekitar kita
semakin nyaring, tetapi kita menjerit dalam kesepian kita. Pengetahuan kita
semakin luas, tetapi kita semakin kering dalam kebijaksanaan dan kearifan.
Orientasi hidup kita pun semakin kabur.
Sebagai
suatu bentuk kompensasi, perjuangan hidup kita pun banyak terfokus untuk
mencapai prestasi setinggi-tingginya demi suatu prestise yang semu. Akibatnya
segala egoisme, kenekatan dan harga diri yang palsu pun menggantikan
nilai-nilai seperti kejujuran, keberanian, integritas, kesederhanaan dan
keutamaan-keutamaan lain. Hidup kita pun banyak berujung pada kekeringan dan
kedangkalan. Hidup terasa tidak bermakna karena tidak mempunyai pijakan.
Uraian di atas
barangkali merupakan suatu kesimpulan yang tergesa-gesa. Akan tetapi hal itu
sedikit banyak telah kita alami dan saksikan sendiri dalam kehidupan kita. Kita
harus jujur mengakui bahwa hidup kita sungguh dirusak oleh dosa. Kita menderita
karena dosa dan kita harus percaya bahwa dosa itu membawa kematian. Dosa
membawa kematian, sebab upah dosa ialah maut (Rm 6:23). Ketika bekas kamp-kamp
konsentrasi Auschwitz akan dibongkar orang-orang Yahudi mengungkapkan
keberatannya: “Biarlah tempat itu tetap menjadi tugu sebagai bukti supaya
setiap orang tahu bahwa dosa manusia itu memang berujung pada kematian.” Kita
akan lenyap karena dosa-dosa kita. Dosa itu membawa kita kepada kematian.
Allah Datang Menyelamatkan Kita
Rupanya
Allah tidak membiarkan kita binasa oleh dosa-dosa kita. Inilah Kabar Baik bagi
kita. Ia datang ke dunia kita yang gelap supaya kita mendapat terang. “Karena
begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan
Anak-Nya yang tunggal,
supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh
hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk
menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia” (Yoh 3:16-17).
Allah
menanggapi kehausan kita. Ia menyelamatkan kita dan menjadikan semuanya baik
seperti sediakala. Ia ada di tengah-tengah kita untuk membuat kita dapat
kembali memancarkan kemuliaan-Nya. Tuhan telah datang untuk menyelamatkan kita.
Ia hendak memulihkan hakikat kita kembali sebagai anak-anak-Nya.
Kita Merasa Tidak Membutuhkan Penyelamat?
Adalah
hal yang amat ironis ketika kita tidak mengetahui dan mengenal Penyelamat kita.
Kita merasa tidak membutuhkan penyelamat. Di tengah jeritan kita akan suatu
keluhuran makna hidup, kita tetap merasa mampu menyelamatkan hidup kita. Kita
tidak mampu mengakui ketidaksanggupan manusiawi kita. Kita malu untuk mengakui
segala keberdosaan dan kerapuhan kita. Sebaliknya, kita merasa mampu berdiri di
atas kaki kita sendiri. Kita merasa mampu hidup tanpa Tuhan. Dan satu hal yang
lebih parah adalah kita tidak mau dikatakan sebagai orang berdosa. Kita tidak
merasa diri berdosa. Atau kita tidak merasa bahwa dosa itu akan membawa kita
kepada kematian.
Ketika
kita merasa tidak berdosa atau tidak melihat dosa sebagai hal yang mematikan
maka kita pun tidak akan pernah mengerti apa itu penebusan. Tidak ada dosa
berarti tidak ada penebusan. Dalam situasi seperti ini, Natal memang tidak bermakna bagi kita. Kelahiran Kristus tidak
menggaungkan apa-apa di hati kita. Natal tidak bergema karena kita merasa tidak
perlu diselamatkan. Sungguh malanglah kita yang tidak mengetahui apa yang
paling penting untuk kebahagiaan kita. Sungguh malanglah kita yang merasa tidak
membutuhkan penyelamat (bdk. Mat 23:36-38).
Kita Harus sunguh Harus Ditebus dari Dosa-dosa Kita
Kebutuhan
kita akan Penyelamat ditutupi oleh gunung kesombongan kita. Sungguh ironis
akhirnya kita tidak tahu apa yang perlu untuk kebaikan dan keselamatan
kita. “Ia telah ada di dalam dunia dan
dunia dijadikan oleh-Nya, tetapi dunia tidak mengenal-Nya. Ia datang kepada
milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya”
(Yoh 1:10-11). Tuhan datang kepada milik-Nya tetapi milik-Nya menolak Dia. Kita
tidak sudi menerima-Nya. Sang Penyelamat datang, tetapi tidak mempunyai tempat
untuk meletakkan kepala-Nya (Mat 8:20) sehingga lahir pun ia mesti di kandang
domba (Luk 2:7). Alangkah malangnya kita ketika kita menolak apa yang paling
kita butuhkan. Nubuat nabi Yesaya telah mengawaskan hal ini sejak dahulu,
ketika Allah bersabda melaluinya: "Aku membesarkan anak-anak dan
mengasuhnya, tetapi mereka memberontak terhadap Aku. Lembu mengenal pemiliknya,
tetapi Israel tidak; keledai mengenal palungan yang disediakan tuannya, tetapi
umat-Ku tidak memahaminya" (Yes 1:2-3). Sepertinya kita lebih in dengan diri kita sendiri dengan
segala keberdosaannya. Kita hanya bersandar pada diri kita sendiri daripada
kepada Allah. Oleh karenanya kita tinggal dalam kegelapan (bdk. Bil 11:4-6).
Mari Menyambut Penyelamat
Mari
menyambut Tuhan, Sang Penyelamat. Kedatangan-Nya telah kita tunggu-tunggu
sekian lama dengan kehausan yang luar biasa. Ia kini telah datang. Ia membarui
diri kita dan mengembalikan kita ke kodrat kita sebagai anak-anak-Nya. Ia
menebus kita dari keberdosaan kita, mengangkat kita dari ketidakberdayaan kita.
Kita pun diberi kekuatan untuk hidup sesuai dengan kehendak-Nya. Ia ada di
antara kita dan menjadi seperti kita. Karena Ia telah ada bersama kita, maka
kita pun menjadi tubuh mistik-Nya. Allah kini telah bersabda langsung melalui
Putera-Nya, Sang Sabda yang menjelma. Sabda itu telah menjelma dalam Gereja
yang adalah tubuh mistik-Nya. Di dalam diri kita masing-masing, Sang Sabda
telah menjelma. Kita telah ditebus dari dosa-dosa kita. Mari kita mengungkapkan
keterpesosanaan kita dengan ikut serta mengumandangkan nyanyian para malaikat:
“Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di
antara manusia yang berkenan kepada-Nya (Luk 2:14). Tuhan, karya keselamatan-Mu
sungguh mengagumkan.”
Penutup
Dikisahkan
bahwa seorang kaya mengundang sanak saudara dan kenalannya untuk merayakan
kelahiran puteranya. Makanan dan minuman telah disiapkan sedemikian dengan
segala variasi dan kelezatannya. Rumah dihias seindah mungkin. Para pemain
musik pun telah bersiap-siap untuk mengisi pesta itu. Para pelayan pun tidak
ketinggalan dalam kesiagaannya untuk melayani para tamu. Pendek kata, pesta itu
adalah benar-benar pesta yang disiapkan. Pada waktunya para tamu pun
berdatangan. Minuman pembuka disuguhkan menemani percakapan ringan. Makin lama
pesta itu makin ramai dan penuh senda gurau dan tawa ria. Hidangan makan malam
pun dibuka. Semua tamu sungguh menikmati pesta itu. Lezatnya makanan sepertinya
membuat udara rasanya panas. Beberapa tamu membuka jasnya dan meletakkannya di
atas sofa atau di mana saja rasanya layak. Usai bersantap malam,
minuman-minuman “berkualitas” pun disuguhkan untuk menemani silaturahmi dan tawa
ria para tamu. Menjelang dini hari para tamu mulai pamit untuk pulang ke
rumahnya masing-masing. Beberapa orang bahkan sampai mabuk dan kebanyakan tamu pulang
dengan perut kekenyangan yang akan disambut dengan “tidur meriah”. Seorang tamu
yang pulang belakangan bertanya: “Di manakah gerangan sang bayi yang baru
lahir?” Sang tuan rumah bagai disentak petir langsung bergegas ke keranjang
bayinya yang ada di sudut ruangan di belakang sofa. Mereka menemukan sang bayi
tertutupi sepotong jas tamu yang berkunjung tadi. Tubuh si bayi telah dingin
tak bernyawa karena tertutupi jas tersebut. Pesta itu pun berakhir fatal. Suatu
pesta yang ironis. Mungkinkah perayaan-perayaan Natal kita dengan segala
kesemarakannya seperti kisah ini?
Natal
bukanlah seremoni belaka tetapi suatu momen dan peristiwa keselamatan. Tuhan
datang untuk menyelamatkan kita; menebus segala dosa yang kita. Kita tidak akan
mengalami kematian akibat dosa, tetapi justru mengalami kehidupan karena kita
telah diselamatkan oleh penebusan Kristus yang lahir di kandang Betlehem. Karunia
Allah ialah hidup yang kekal dalam Kristus Yesus, Tuhan kita (Rm 6:23). Janganlah
Dia ditutupi oleh segala pernak-pernik kesombongan kita. Yesus kiranya jangan
digantikan oleh sinterklas. Malam Kudus yang agung kiranya jangan digantikan
oleh hiruk-pikuk yang tidak bermakna. Selamat Natal!
Posting Komentar
Terima kasih atas Partisipasi Anda!