TIGA MOMEN BERRAHMAT YANG
MENGGETARKAN DAN MENENTUKAN
(Oleh: Sdr.
Yusuf Silaban)
Tulisan ini adalah buah refleksi
saya, terutama setelah bapak saya meninggal dunia. Barangkali judul itu agak
bombastis, namun saya mengalami demikianlah adanya; tidak lebih dan tidak
kurang. Kata “menggetarkan” yang saya maksud adalah seperti penjelasan Rudolf Otto yang mengatakan bahwa
pengalaman religius itu sebagai “tremendum
et fascinosum” menggetarkan sekaligus mempunyai daya tarik, di sana
bercampur antara takut, gentar dan menarik bahkan mengasikkan.
2.
Tiga momen penting
Dalam kurun waktu tujuh tahun, saya
mengalami tiga peristiwa yang sangat menggetarkan dan menentukan dalam
pertumbuhan panggilan imamat saya, mempengaruhi cara pandang saya terhadap
hidup bahkan terhadap Allah sendiri. Momen-momen tersebut, bahkan hadir saat
saya mengalami “puncak” kegembiraan yang seharusnya dirayakan dengan brindisi ala roma, yakni bersulang
anggur, tetapi sebaliknya dengan air mata. Inilah momen-momen itu.
2.1
Tahbisan imamat
Hari itu cerah, sinar matahari
membuncah dari cela-cela bukit barisan yang membentengi kota Sibolga. Gereja
Katolik Sarudik di daulat menjadi tuan rumah pesta pentahbisan kali itu.
Barisan prosesi dari berbagai kelompok sudah siap mengiringi langkah delapan
diacon, dan saya ada di sana, sementara kami diapit oleh kedua orang tua. Ini
sebagai simbol pendampigan dari orang tua bagi anaknya, bahkan sampai pada hari
pentahbisan. Demikialah memang, orang tua senantiasa mendampingi anaknya dengan
berbagai cara, bahkan walaupun anakanya sudah menjadi seorang imam.
Di depan gereja rombongan prosesi
diterima dengan tortor batak toba,
lengkap dengan pakaian adat tradisional. Sesudah bapak uskup mencium altar,
para imam dan seluruh pelayan liturgi menempati kursi-kursi yang disediakan,
perayaan liturgi berjalan dengan hikmat dan agung.
Liturgi masuk pada momen
mendengarkan sabda, bacaan-bacaan dikumandangkan. Kini giliranku berdiri untuk
membacakan injil, sesudah menerima berkat dari bapak uskup. Seperti biasanya,
kuucapkan “Tuhan sertamu” serta memandang ke arah umat. Kebetulan bapa dan ibu
persis berada di depan Ambo. Selama membacakan injil itu, beberapa kali saya
melihat ke arah umat, termasuk ke arah tempat duduk orang tua. Suatu ketika
saya melihat ternyata ibu tidak ditempatnya. Walaupun hati was-was, saya
usahakan membacakan dengan cukup tenang dan anggun. Sejak selesai pembacaan
sampai sebelum berkat terakhir saya sering melirik kembali kursi ibu, ternyata
tidak ada, hatiku mulai bertanya-tanya “ada apa dengan ibu, mungkinkan ada
sesuatu yang tidak beres?”
Sudah seperti kebiasaan bahwa imam
baru memberkati orang tuanya, sebelum berkat penutup dari bapak uskup. Para
orang tua berbaris dan kami, imam baru, mendatangi lalu memberkati mereka. Saat
itu yang saya berkati ialah bapa dan inang tua saya, kaka ibu saya. Hatiku
semakin gundah gulana. Ketika saya memeluk inang tuaku, dia membisikkan kepada
saya, katanya: “ibumu di susteran, tenanglah semua akan baik-baik saja”. Sejak
saat itu, perayaan itu bagiku terasa hambar, acara berfoto dan bersalaman tidak
lagi momen menebar senyum. Segera setelah selesai acara foto-foto dan ucapan
selamat, saya cepat bergegas ke sakristi, menanggalkan pakaian misa dengan
tergopoh-gopoh lalu berlari ke poliklinik susteran.
Di sana terdapat kerumunan, di dalam
salah satu ruangan, dan di situ ibunda tercinta tergeletak. Syukur bahwa para
suster perawat sudah menemani. Melihat kejadian ini saya berlutut lalu memegang
tangannya, berdoa dengan air mata. Dalam doaku aku mengeluh kepadaTuhan,
kataku: “Tuhan, tega sekali engkau, di dalam pesta tahbisanku, engkau membuat
ibuku jatuh pingsan – walaupun mungkin Tuhan juga tidak menghendaki itu. Telah
kucoba menunjukkan kesetiaanku sampai detik ini, apakah engkau belum puas
sehingga engkau mengujiku dengan peristiwa ini? Tuhan seandainya pun ibuku ini
meninggal saya tidak akan meninggalkan imamat ini”. Namun saya tersadar dari
bincang-bincang itu lalu berpikir-pikir, “seandainya sungguh Tuhan mencabut
nyawa ibu ini, lalu meninggal saat ini, gawat juga”. Akhirnya kusambung doaku
“Tapi Tuhan kalau boleh janganlah ibuku meninggal, sembuhkanlah dia” kataku.
Sesudah itu ibu membelai wajahku dengan tangan kanannya, walaupun tidak ada
kata tapi hatinya berbicara kepadaku sejelas-jelasnya. Ini ucapan selamat
kepadaku dari ibu yang melahirkanku, ucapan ini lebih berharga dari sekian
ucapan lain, walaupun tanpa suara dan tanpa ekspressi.
Acara resepsi bagiku serasa hambar
bahkan pahit, namun kucoba tetap setia dan bersikap tenang. Keesokan harinya
saya membawanya ke Medan untuk memperoleh pengobatan lebih serius, sementara
keluarga dan kerabat kembali ke kampung dan misa pertama dibatalkan, sampai ibu
sungguh merasa sehat. Tahun itu tidak ada misa pertama, sesudah satu tahun saya
mengadakan misa pertama di kampung.
Waktuku hanya satu minggu di Medan.
Saya meniggalkan ibu ditemani oleh dua saudari, lalu saya berangkat ke Tello.
Sudah jauh hari sebelum hari tahbisan dirancang kunjungan ke pulau-pulau,
tentulah juga persiapan untuk itu sudah dioptimalkan. Selama torne ke
pulau-pulau, sering juga merefleksikan kejadian itu di atas kapal MP Fidelis.
Inilah momen pertama yang menggetarkan hatiku.
2.2
Operasi
Pengaykit ibu ternyata belum tuntas;
beberapa bulan tampak dia sehat, tetapi setelah dua tahun bukannya semakin
sehat malah penyakitnya kambuh lagi, celakanya
ini harus dioperasi. Proses operasi ini berjalan dengan lancar, terima
kasih atas usaha dan pendampingan Sdr. Norbert Gultom, dan ito nai Kristin
sekeluarga, ito sdr. Norbert.
Sementara para dokter berada di
ruang operasi, kami berdoa rosario di ruang tunggu; tidak sadar selama doa ini
kami semua berurai ari mata. Operasinya hampir dua jam, bahkan harus tambah
darah lagi. Ternyata ada dua gumpalan di dalam leher, yang sebenarnya tidak di
duga oleh dokter, dan gumpalan itu sedemikian besar sehingga sulit dikeluarkan.
Sesudah selesai operasi dokter meninggalkan ruangan dan bergegas pulang. Dalam
proses penyadaran ibu bukannya semakin sadar tetapi sebaliknya, menghembuskan
nafas-nafas terakhir. Karena situasi ini, perawat mengusir kami dari ruangan,
tetapi saya tidak mau keluar dari ruangan, dalam hati saya katakan “kalaupun
ibuku ini meninggal biarlah saya meliat dia dan biarlah kupeluk erat-erat”.
Dalam proses penyadaran itu mata saya tertuju kepada ibu yang sudah dalam
kondisi koma, perawat berteriak sampi beberapa kali, “panggil dokter…” Syukur
dokternya belum pulang, akhirnya datang kembali dan memberi instruksi, sehingga
perlahan-lahan ibu saya bernafas normal.
2.3
Ujian terakhir
Kondisi ibu ini membuat saya lega bernafas. Beberapa bulan sesudahnya, saya
berangkat ke Roma-Italia, hati saya agak menghawatirkan kondisi kesehatan ibu
ini. Bapa dan ibu ikut serta mengantar saya ke Polonia. Sesudah di Roma, saya
jarang bertelfon dengan keluarga, jika ada yang penting, cukup tulis di in box facebook. Memang sekali waktu
saya pernah bertelfon skipe dengan
Bapa, pertanyaannya ialah “kapan pulang, nunga
leleng hian jala nunga malungun ahu amang” katanya. Seperti biasa saya
tidak pernah memberi jawaban pasti, dengan tujuan biarlah suatu saat saya
memberi kejutan kepada mereka.
Studi berjalan dengan lancar, dengan susah payah bisa menyelesaikannya
dalam tiga tahun. Pada bulan awal bulan Juni yang lalu sesudah profesor saya
menerima tesis untuk diujikan, saya menginformasikan kepada Sdr. Yosef Sinaga
bahwa saya ujian tgl. 15 Juni dan lima matakuliah.
Saya sudah mengikuti ujian untuk tiga matakuliah, saya semakin semangat
untuk menghadapi ujian-ujian itu. Menurut rencana yang telah kurancang, setelah
ujian, saya akan pergi ke Frankfurt untuk mengikuti kursus bahasa jerman selama
bulan Juli-Agustus, lalu September turun ke Bolzano menjumpai para misionaris
yang masih hidup, lalu akhir bulan Oktober kembali ke Indonesia. Rencana ini sudah
matang, tiket sudah dibeli dan semua sudah siap.
Yah… rencana boleh-boleh saja, tetapi jika Tuhan tidak berkenan, hal itu
tidak dapat diwujudkan oleh manusia. Hal inilah yang persis saya alami. Ketika
berada di puncak kegembiraan itu, pada saat itu pula saya tertegun dan membisu.
Sore itu, tgl 10 Juni, pukul 15.00 waktu Italia, sesudah istirahat siang, saya
membuka facebook, sebelum membuka
buku pelajaran yang akan diujikan esok hari. Di dalam in box tertera pesan
berturut-turut: “ito nunga monding, bapakta”.
Beberapa kali kubaca pesan itu, dan tidak percaya, saya duga pesan itu salah
ketik atau salah alamat. Ketika Sdr. Yosef Sinaga menefon saya, saya baru yakin
bahwa berita itu benar, walaupun saat kami bicara saya katakan kepada beliau
bahwa saya tahu apa yang terjadi dengan bapa. Semua rencana batal, termasuk
ujian tesis. Atas saran para saudara yang tinggal di collegio, saya memutuskan
untuk kembali ke Indonesia.
3. Paska kebangkitan
Perjalanan dari Roma hingga ke kampung, Dano Julu,
berjalan dengan baik. Para saudara dengan cepat dan tanggap mengatur perjalanan
dengan sangat baik; stand by di
tempatnya masing-masing dan siap melanjutkan perjalanan mulai dari Kuala Namu
hingga ke Dano. Ini saja sudah membuatku merasakan makna di balik kematian itu;
kekuatan, cinta dan perhatian para saudara. Kehadiran para saudara juga para
saudari KSFL membangkitkan semangat hidupku yang hilang. Demikian juga para
hadirin, datang silih berganti menunjukkan kasih dan kesetiakawanan mereka
kepada saya dan keluarga, suatu kehadiran yang tidak pernah ada sebelumnya di
kampung kami. Mengalami semua ini, saya yakin bahwa dalam kematian itu sudah
nyata kebangkitan, yakni bahwa saudara-saudara datang menghibur dan menguatkan
hati yang pilu. Mengalami itu, aku ingat kata-kata ini: “Tidak berkesudahan
kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar
kesetiaan-Mu!" (Ratapan 3:22-23).
Tiga peristiwa di atas adalah hadiah terindah dalam
tahap-tahap penting di dalam hidup panggianku. Saat saya menyelesaikan studi
tiga tahun itu, Dia menghadiahkan saya dengan peristiwa itu, untuk menunjukkan
betapa Dia mendukung jalan hidupku. Dengan peristiwa ini saya akan semakin
mampu menghadapi gejolak dan situasi hidup yang lebih menantang. Barangkali
perstiwa ini menjadi sarana bagi saya untuk mampu menghibur hati
saudara-saudari yang terpuruk atau pesimis karena persoalan hidup.
Allah suka bermain, suka memberi kejutan dalam hidup
untuk menunjukkan cintaNya. Namun kadang manusia tidak sanggup mengikuti
permainan itu, terlalu beresiko menurut ukuran manusia, atau terlalu sedih,
sehingga manusia kadang menjerit atau menangis. Kadang aturan permainan ini
terlalu rumit untuk dipahami, sukar untuk diurai sehingga orang yang kurang
sabar bisa putus asa. Hal yang boleh dipetik dari permainan itu adalah pertama manusia butuh kesabaran dan
diajar untuk bersabar, kedua manusia
menjadi semakin kuat dan tegar jika berpasrah pada Dia yang memegang kendali
permainan, ketiga, kebijaksanaan
Tuhan terlalu tinggi untuk dipahami oleh manusia, karena itu dihadapan Sang
Kebijaksanaan itu, sebaiknya berlutut dan memohon kebijakan agar mampu
menyelami dan menikmati kebijaksanaan Tuhan itu sendiri. Bersama Santo
Fransisku, hendaknya dimohonkan doa ini: “Allah Yang Mahatinggi dan penuh kemuliaan,
terangilah kegelapan hatiku. Berilah aku iman yang benar, perasaan yang peka
dan budi yang cerah, agar aku mampu melaksanakan perintahMu yang kudus dan yang
takkan menyesatkan.”
4. Terima kasih
Bercermin pada pengalaman Ayub, yang
dalam hidupnya bertekun dalam iman akan YHWH, melihat duka abang dari almarhum
sdr. Flavius Sibagariang, yang beberapa tahun yang lalu kehilangan dua anaknya
dan termasuk sdr. Flavius sendiri, rasanya saya diajak untuk belajar menerima
kenyataan dalam iman. Oleh karena itu dalam bayang-bayang duka, biarlah saya
bersyukur kepadaNya sebab kekal abadi kasih setiaNya. Saya yakin Dia akan tetap
menuntun dengan caranya, yang kadang tidak bisa dicerna oleh akal budi manusia,
karena jalan-jalanNya bukanlah jalan-jalan manusia, pemikiran dan rancangannya
bahkan tak terselami. Namun satu hal yang pasti ada rencana yang indah dengan
penyertaan yang sempurnya, rancangan penuh kebijakan. Biarlah saya berterima
kasih kepada para saudara seordo yang hadir maupun yang tidak hadir, kepada para
suster KSFL dan seluruh umat Allah yang dengan berbagai cara telah mengingat,
menghibur dan mendoakan saya. Kehadiran dan hiburan mereka menjadi tanda
keagungan rahmat baptisan dan persekutuan umat Allah di bawah naungan gembala
satu. Allah itu memang hidup dalam diri mereka. ***
Posting Komentar
Terima kasih atas Partisipasi Anda!