PESAN BUNDA MARIA DARI MEDJUGORJE
25 SEPTEMBER 2015
Maria dari Medjugorje |
TERJEMAHAN
“Anak-anak yang terkasih! Sekarang pun saya sedang berdoa
kepada Roh Kudus, semoga Ia memenuhi hati kalian dengan iman yang teguh. Doa
dan iman akan memenuhi hati kalian dengan kasih dan sukacita dan kalian akan
menjadi tanda bagi mereka yang menjauh dari Allah. Anak-anak, hendaklah kamu
saling menasehati untuk melakukan doa batin (kontemplasi) karena doa dapat
mengisi hidup kalian; dan setiap hari kalian, anak-anakku, terutama akan menjadi saksi-saksi pelayanan kepada Allah dalam sembah bakti dan kepada
sesamamu yang sedang membutuhkan. Saya menyertai kamu dan berdoa untuk kamu
semua. Terima kasih karena telah menjawab panggilanku”.
PERMENUNGAN
Saya belum pernah mendalami atau membaca secara utuh cerita-cerita
seputar penampakan Bunda Maria di Medjugorje. Bulan Rosario pun sudah berlalu.
Semestinya cocoklah pembicaraan seputar Bunda Maria diangkat pada Bulan Rosario
atau Bulan Maria. Sayangnya pada momen-momen itu hal tersebut tidak terjadi. Begitulah
kadang-kadang terjadi dalam hidup kita atau persisnya dalam hidupku.
Kadang-kadang keluar dari konteks. Entah apalah namanya itu, pokoknya itulah
hidupku. Tapi bukan selalu, hanya kadang-kadang. Saya tiba-tiba saja terdorong
untuk melihat website Radio Maria. Ketika saya membaca beberapa bagian, saya
terkenang kembali pada pengalamanku ketika saya sedang menimba ilmu di Roma. Pada
saat saya sedang mengerjakan tugas-tugas kuliah, saya juga kadang-kadang menghidupkan
Radio Maria. Saya menghidupkannya, karena ada semacam lagu wajib, yang sering
diulang-ulangi setiap usai satu topik berita. Lagu itu amat menyentuh
relung-relung batinku. Hanya itu.
Pada suatu ketika seorang pewarta sedang membawakan berita. Tiba-tiba ia
menyela para pendengar kurang lebih dengan mengatakan, “Saudara-saudari, mari
kita mendengarkan pesan Bunda Maria dari Medjugorje”. Sang pemberita itu
berbicara dengan seorang penelpon dari seberang sana. Saya tidak ingat lagi
apakah penelpon itu langsung dari Medjugorje atau dari tempat lain. Saya tidak
ingat lagi. Pokoknya sang pemberita itu berkomunikasi via telepon dengan salah
seorang di seberang sana. Saya pun tidak lagi ingat apa persis pesan Bunda
Maria pada waktu itu. Saya pada saat itu kurang terlalu berminat untuk
mencatatnya, karena saya berpikir bahwa hal itu tidak logis. Artinya, iman-akal
budiku kurang berterima dengan hal itu. Batinku bertanya: “Benarkah Bunda Maria
datang membawa pesan seperti itu?” Teologi (spekulasi akal budi) mendominasi
devosi (ungkapan hati) kala itu. Kini pengalaman itu masuk kembali dalam
refleksiku. Yang hendak kukembangkan ialah bukan soal pesan dulu itu, tetapi
pesan seperti tertulis di atas.
Bunda Maria dari Medjugorje digelari sebagai “Bunda Perdamaian”.
Begitulah ia diberi gelar oleh para pencintanya. Bunda perdamaian menyampaikan
suatu pesan. Menarik merenungkan pesan itu. Bagiku menarik, karena pesan itu
menyentuh karisma kita sebagai Fransiskan Kapusin. Bunda Maria mengajak
“anak-anaknya” untuk melakukan “doa batin” atau yang akrab dengan kita “doa
kontemplasi”. Secara pribadi saya memasukkan diriku ke dalam “anak-anak” yang
menjadi alamat pesan Bunda Perdamaian. Izinkan saya untuk memasukkan kita
Fransiskan Kapusin ke dalam alamat pesan itu. Dengan perkenanan itu saya boleh
melanjutkan refleksiku sedikit lagi.
Seperti kita tahu bersama bahwa salah satu karisma Kapusin ialah doa
Batin. Para Saudara Kapusin pertama berani meninggalkan Saudara-saudara
Observantes (OFM), salah satu alasannya, ialah untuk memelihara doa batin
sebagai warisan dari Bapa Santo Fransiskus. Mereka meninggalkan keramaian biara
(convento) dan pergi bertapa di tempat yang sunyi, yang agak jauh dari kota.
Karena itu mereka mula-mula disebut sebagai “Saudara Pertapa”. Hiruk pikuk
biara, yang tidak selalu mendatangkan kesejahteraan rohani, dijawab dengan
“pengunduran diri” (retret) ke tempat yang bukan biara. Di tempat sunyi itulah
mereka tenggelam dalam doa batin. Mereka sungguh bergumul dengan Allah, seperti
Yakub yang bergumul sepanjang malam dengan Allah hingga fajar merekah. Aroma
pergumulan mereka dengan cepat dikenal oleh umat sekitar. Dan itu membangkitkan
semangat pembaharuan dalam hidup mereka. Inilah secuil pecahan sejarah hidup
para pendiri Kapusin kita. Aktualkah sejarah ini untuk kita?
Paus Fransikus dalam pesannya menyambut Tahun Hidup Bakti mengajak
penganut hidup bakti untuk mempelajari kembali sejarah masing-masing. Sejarah
mengajak kita untuk bersyukur kepada Allah atas karisma, tetapi sekaligus
merajut benang kesatuan di antara anggota ordo. Ia mengatakan: “Sepanjang tahun
ini sangat baiklah masing-masing kelompok yang hidup dalam karisma tersebut berefleksi akan asal mula dan sejarahnya, sehingga bersyukur kepada Allah yang menganugerahkan
kepada Gereja keberagaman rahmat yang menghiasi keindahannya dan
memperlengkapinya dengan setiap karya baik. Mempertimbangkan ulang sejarah kita adalah sesuatu yang
mendasar dalam melestarikan identitas
kita, memperkokoh kesatuan kita sebagai keluarga dan rasa memiliki. Lebih
daripada suatu pengkajian arkeologi atau sekedar memupuk nostalgia, langkah
tersebut mengajak kita untuk mengikuti jejak generasi-generasi masa lalu agar
dapat menggenggam gambaran yang ideal, dan visi serta nilai-nilai yang telah
menginspirasikan mereka, mulai dengan para pendiri dan komunitas pertamanya.
Dengan cara demikian kita mencoba melihat bagaimana karisma telah dihidupi selama bertahun-tahun, kreativitas yang
terpancar, segala kesulitan yang dihadapi dan cara-cara konkret bagaimana
kesulitan-kesulitan itu diatasi. Kita bisa pula menemukan beberapa kasus
inkonsistensi, buah dari kelemahan manusiawi dan bahkan peristiwa-peristiwa di
mana unsur-unsur pokok dari karisma
tersebut diabaikan.”[1]
Karena itu sekali lagi bagiku menarik merenungkan pesan Bunda Perdamaian
dari Medjugorje. Ia meminta kita untuk saling menasehati perihal doa batin.
Dengan begitu seolah-olah kita diajak untuk bernostalgia pada para bapa pendiri
ordo kita dan karisma yang mereka wariskan. Emas hidup mereka diukir oleh
ketekunan dalam menjalani doa batin. Pasti banyak tantangan, banyak kegelapan
menegakkan dialog batin ini dengan Allah. Tetapi dengan begitu, mereka berhasil
menciptakan ciri khas hidup mereka, mereka dapat membentuk identitas diri
mereka. Mereka menjadi salah satu “batu akik” atau batu permata bagi Gereja
pada zamannya. Kadang-kadang diriku tenggelam dalam keterpesonaan warisan yang
mereka tinggalkan seraya terus bersyukur: “Terima kasih Tuhan atas karisma ini.
Mampukan aku untuk mencintai doa batin. Karena hanya di dalam batin itulah kita
berdua dapat secara akrab berwawan kata. Hanya di dalam ruang batin itulah
Engkau hadir benar sebagai cahaya yang memberi tahu aku, siapa aku di
hadapan-Mu senyata-nyatanya.” Namun bagiku juga tetap tinggal pertanyaan:
“Mengapa Bunda Maria meminta anak-anaknya untuk saling menasehati dalam doa
batin?” Apakah ia hendak meneguhkan kembali karisma kita? Bahwa doa batin tahan
terhadap terpaan zaman hiruk pikuk ini? Atau apakah karena kita mau
mencari-cari spiritualitas populis, tetapi terlepas dari ikatan sejarah dengan
para pendiri kita? Atau karena kita kurang yakin akan identitas ini? Adakah
karisma ini bertentangan dengan budaya kontemporer yang cenderung menghabiskan
waktu, yang bahkan berjam-jam, dengan ocehan-ocehan kosong? Salah seorang
penulis rohani mengatakan: terlalu banyak ocehan kosong merupakan fenomen
krisis hidup membiara. Semoga doa Bunda Maria membawa damai di antara kita! (Sdr.
Alfredo 3/11/2015)
[1]
Paus Fransiskus, “Pesan Bapa Suci Fransiskus kepada Kaum Religius Menyambut
Tahun Hidup Bakti”, dalam KOPTARI: Berita Kita, edisi Januari-April 2015,
hlm. 3.
Posting Komentar
Terima kasih atas Partisipasi Anda!