Ordo Kapusin Kustodi General Sibolga

PEMAKAIAN ABU PADA DAHI: ALKITABIAH-KAH?

Kita sedang menjalani Masa Prapaskah. Masa Prapaskah selalu dimulai pada hari Rabu, dan tahun ini jatuh pada hari Rabu tanggal 5 Maret. Pada Rabu di awal Prapaskah itu, kita menerima abu, entah ditandakan pada dahi atau ditaburkan di atas kepala. Karena itu, Rabu tersebut lebih dikenal dengan sebutan Rabu Abu. Menarik bahwa akhir-akhir ini komunitas kristiani di luar Kristen Katolik mulai menggunakan abu (di dahi), yang ternyata juga menandai dimulainya Masa Prapaskah di lingkungan mereka. Pantas diapreasisasi!

Perlulah memang disadari bahwa manusia yang adalah makhluk inderawi sangat membutuhkan simbol-simbol inderawi (visible—dapat dilihat, dan audible—dapat didengar, touchable—dapat disentuh) dalam pengungkapan imannya. Bagi saya pribadi, agama tanpa ritual simbolik, ibadatnya akan terasa kering. 

Abu adalah salah satu simbol. Penerimaan abu adalah ritus sakramentali; bukan sakrament. Salah satu hal yang sering didiskusikan adalah apakah penggunaan abu di dahi atau di atas kepala itu mempunyai dasar biblis atau alkitabiah. Untuk menjawab pertanyaan ini, di bawah ini saya memberikan beberapa catatan. 

Penggunaan abu dalam liturgi berasal dari zaman Perjanjian Lama. Abu melambangkan dukacita, kematian, dan penebusan dosa. Misalnya, dalam Kitab Ester, Mordekai mengenakan kain kabung dan abu ketika mendengar keputusan Raja Ahasuerus (atau Xerxes, 485-464 SM) dari Persia untuk membunuh semua orang Yahudi di Kekaisaran Persia. Dalam Ester 4:1 tertulis, “Setelah Mordekhai mengetahui segala yang terjadi itu, ia mengoyakkan pakaiannya, lalu memakai kain kabung dan ABU, kemudian keluar berjalan di tengah-tengah kota, sambil melolong-lolong  dengan nyaring dan pedih”. Ayub (yang kisahnya ditulis antara abad ke-7 dan ke-5 SM) bertobat dengan mengenakan kain kabung dan abu. Dalam Ayub 42:6, tertulis, “Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal  aku duduk dalam DEBU dan ABU. Ketika menubuatkan pembuangan Yerusalem ke Babel, Daniel (sekitar 550 SM) menulis, “Aku berpaling kepada Tuhan Allah, memohon dengan sungguh-sungguh dalam doa, dengan berpuasa, mengenakan kain kabung, dan ABU” (Daniel 9:3). Pada abad ke-5 SM, setelah Yunus menyampaikan khotbah tentang pertobatan dan pertobatan, kota Niniwe mengumumkan puasa dan mengenakan kain kabung, dan raja menutupi dirinya dengan kain kabung dan duduk di atas abu. Dalam Yunus 3:6 tertulis, “Setelah sampai kabar itu kepada raja kota Niniwe, turunlah ia dari singgasananya, ditanggalkannya jubahnya, diselubungkannya kain kabung, lalu duduklah ia di ABU”. Dalam Kitab Makabe tertulis “Pada hari itu juga berpuasalah mereka, mengenakan karung dan MENABURKAN DEBU DI ATAS KEPALANYA serta menyobek pakaiannya” (1 Makabe 3:47). Contoh-contoh Perjanjian Lama ini membuktikan praktik penggunaan abu yang diakui dan pemahaman umum tentang simbolismenya.

Gereja perdana meneruskan penggunaan abu untuk alasan simbolis yang sama. Dalam bukunya, De Poenitentia , Tertullianus (160-220 M) menetapkan bahwa peniten harus “hidup tanpa sukacita dalam kekasaran kain kabung dan kesengsaraan abu.” Eusebius (260-340), sejarawan Gereja perdana yang terkenal, menceritakan dalam The History of the Church bagaimana seorang murtad bernama Natalis datang kepada Paus Zephyrinus berpakaian kain kabung dan abu memohon pengampunan. Juga selama waktu ini, bagi mereka yang diharuskan melakukan penebusan dosa di depan umum, imam menaburkan abu di kepala orang yang meninggalkan pengakuan dosa.

Pada Abad Pertengahan (setidaknya pada abad kedelapan), mereka yang akan meninggal dibaringkan di tanah di atas kain kabung yang ditaburi abu. Imam akan memberkati orang yang sekarat dengan air suci, sambil berkata, “Ingatlah bahwa engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu.” Setelah percikan, imam bertanya, “Puaskah engkau dengan kain kabung dan abu sebagai kesaksian pertobatanmu di hadapan Tuhan pada hari penghakiman?” Orang yang sekarat itu menjawab, “Saya puas.” Dalam semua contoh ini, simbolisme duka cita, kefanaan, dan pertobatan jelas.

Akhirnya, penggunaan abu diadaptasi untuk menandai dimulainya Prapaskah, periode persiapan selama 40 hari (tidak termasuk hari Minggu) untuk Paskah. Ritual untuk "Hari Abu" ditemukan dalam edisi paling awal dari Gregorian Sacramentary yang berasal setidaknya dari abad ke-8. Sekitar abad ke-10, seorang imam Anglo-Saxon bernama Aelfric daam khotbahnya juga berbicara tentang pemakaian abu di awal Prapaskah kita, dengan menaburkan abu di atas kepala untuk menandakan bahwa kita harus bertobat atas dosa-dosa kita selama puasa Prapaskah.  Lalu mulai abad ke-11 Paus Urbanus II secara resmi menetapkan penerimaan abu pada Rabu pertama Masa Prapaskah bagi semua umat Katolik, menjadikannya bagian integral dari kalender liturgi Gereja (psl).

Share this post :

Posting Komentar

Terima kasih atas Partisipasi Anda!

 
Copyright © 2015-2024. Ordo Kapusin Sibolga - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger - Posting