Ordo Kapusin Kustodi General Sibolga

Liturgi



TAIPEI: ASIAN LITURGY FORUM (1)

Shering ini sudah dipublikasikan dalam majalan Gita Damai no:06/III/Nov-Des 2018.

Pengantar
            Akhir Bulan Agustus yang lalu, saya menerima surat melalui e-mail yang isinya meminta saya dan sdr. Emmanuel Sembiring untuk menghadiri Asian Liturgy Forum yang akan berlangsung di kota Taipei. Kami diminta untuk mempersiapkan sering pengalaman atas tema yang telah ditentukan oleh panitia. Shering tersebut akan dipresentasikan selama 20 menit. Panitia telah mengirimkan topik-topik pembicaraan, lengkap dengan pertanyaan-pertanyaan panduan, untuk memudahkan delegasi dalam menyampaikan sheringnya.
Bagi saya ini merupakan sebuah tanggung jawab; diberi kepercayaan untuk mewakili gereja katolik di Indonesia dalam forum Internasional, paling tidak dalam lingkup Benua Asia. Tentu dalam forum ini saya membawa wajah gereja katolik secara khusus dan wajah negara Indonesia secara umum.
Sebagai seorang yang menggeluti bidang liturgi, forum seperti ini bukanlah hal yang baru. Ketika masih mahasiswa di Roma, saya sering mengikuti forum atau seminar bertajuk liturgi. Namun toh harus diakui, shering kali ini berbeda yang lain. Mesti diakui bahwa pemakaian Bahasa Inggris merupakan satu tantangan yang menarik. Itu masuk akal, kerena di Roma, kami memakai Bahasa Italia, kecuali dosen memakai Bahasa Inggris. Karena itu paper kali ini merupakan hasil karya pertama dalam Bahasa Inggris.

Kebersamaan
            Asian Liturgy Forum berlangsung mulai tanggal 14-19 Oktober. Saya pribadi telah berangkat tanggal 12 pukul 12.00 dari Kuala Namu ke Cengkareng. Besoknya, saya bertemu dengan Pater Boli Ujan di Wisma KWI untuk melihat kembali bahan presentasi secara bersama-sama. Pater Boli Ujan adalah dosen liturgi di STFT Ledalero, juga seorang doctor jebolah Institut Liturgi St. Anselmo, Roma.
Tanggal 14 Oktober pukul 02.00 saya dan Pater Boli berangkat dari Wisma KWI ke Bandara, sementara Pater. Emmanuel Sembiring, sudah tiba lebih awal. Kemudian, tiba Ibu Lena, bersama dengan sepasang suami-istri dan Romo Sridanto. Romo Danto adalah lulusan S2 Liturgi dari Filipina. Tidak lama kemudian, romongan dari Timor Leste tiba dan bergabung dengan kami. Tidak membuthkan waktu yang lama, kelompok kami langsung akrab; ibu lena membawa makanan, lalu itu kami dibagi bersama, di sana sini mulai muncul guyonan dan canda tawa. Sesudah check-in, kami pelan-pelan menuju ruang tunggu. Pukul 05.10 pesawat akan take-off. Dalam proses melewati keimigrasian, petugas mengajukan beberapa pertanyaan kepada saya. Sesudah diperkenankan masuk, saya bersama dengan Pater Emman berjalan menuju ruang tunggu, sementara yang lain sudah lebih dahulu.

Panggilan Terakhir
Ternyata ruang tunggu sangat jauh sehingga kami hampir terambat. Kami telah dipanggil beberapa kali. Pada panggilan terakhir, kami mendekati ruang tunggu, tidak ada lagi penumpang di sana, saat itu petugas berteriak, “Taipei…taipei…” Saya langsung menjab “yes..” Petugas dengan memakai wolky tolky.. meberitahukan kepada kru di pewasat bahwa kami sudah tiba. Mobil bandara sudah berangkat, lalu kami diantar dengan mobil khusus. Ahh… akhirnya tiba dengan hosahosa, ngosgnosan”. Sesudah duduk Pater Emman, dengan nada agak kesal, berkata “hudok pe nakkinon, unang pala marfoto, alai akka inanta an, holan i do na mohop di nasida”. “Ya… pesawat boleh take off, tapi selfie jangan ketinggalan, itu ibu-ibu zaman now” ucapku.. akhirnya kami tertawa tapi dengan suara sekecil mungkin, sambil mengenakan sabuk pengaman. Sementara itu pesawat telah mulai menuju landasan pacu dan pramugari sedang memeragakan prosedur pemakaian alat-alat keselamatan penumpang. Tidak lama sesudah itu, pramugari kembali ke tempat, pesawat meluncur memecah langit Cengkareng; semakin lama, pesawat semakin jauh membelah langit menyibak kegelapan malam, sementara kota Jakarta tampak seperti bintang-bintang yang berkedip-kedip, semakin lama semakin tersembunyi.
Pukul 08.15 pesawat landing di Kuala Lumpur. Waktu transit hampir dua jam, tetapi kami cepat-cepat bergegas ke ruang tunggu, selfie para ibu dikurang, kami tidak mau terulang pengalaman di Cengkareng. Kami masih sempat menampung air minum dan tidak lupa menunaikan “perintah kaisar” ke kamar mandi. Pemeriksaan di Bandara Kuala Lumpur boleh dikatakan super ketat, tidak hanya ikat pinggang dan jeket yang harus di lepas dari butuh, tetapi juga sepatu, beruntung sepatu saya tanpa tali. Celakanya saat masuk dan keluar dari riang tunggu harus diperiksa, mulai dari keaslian paspor bahkan sepatu. Saat membuka dan mengikat kembali itu membutuhkan waktu, “waddduh… “bisa ketinggalan pesawat kita.. ayo cepat..cepat, jangan seperti pengalaman Romo Emman dan Romo Yusuf” kata seorang teman, semua tertawa melihat kami…. namun tetap bergegas-gegas membereskan tas dan ikat pinggang.
Your attention pleaseflight number….” demikian suara mengumumkan keberangkatan kami ke Taipei. Kami bergegas ke dalam pesawat; tidak lupa selfie baik selama berjalan maupun sebelum masuk ke pesawat… tidak kenal tua, muda, semua ingin selfie… wah orang tu zaman now.. memang beda. Tidak lama sesudah mengenakan sabuk pengaman, tepat pukul 10.00, pesawat Air Asia jenis Boeing meluncur meninggalkan Negri Jiran. Dari Malaysia ke Taipei, dibutuhkan 4 jam penerbangan. Mata agak pedih karena terganggu tidur, ngatuk tetapi tidak nyaman untuk tidur. Walaupun demikian saya mencoba memejamkan mata, siapa tahu mata ini dapat ditipu. Tidak lama sesudah itu pramugari lewat menawarkan sarapan pagi. Menu yang ditawarkan tidak terlalu enak, tetapi menu asia; nasi, daging ayam dan sayur. Melihat kecilnya kotak nasi itu, saya berbisik ke Pater Emman, “nasi sesedikit ini, harus 10 kotak untuk kami yang dikampung-kampung, apalagi partaba tombak”. Pater itu tidak dapat menahan untuk tertawa, terpaksa harus tunduk. Untuk melengkapi sarapan pagi kami meminta kopi, masing-masing satu gelas.

Selamat Datang di Taipei
Pukul 14.40 pesawat landing di Bandara Taipei. Perhatian saya langsung ke interior bandara; terasa pebedaannya, bentuk atap mengikuti struktur rumah tionghoa, dikemas secara modern. Besi yang saling melintang membuat ruangan tampak kaku, tetapi memberi kesan kokoh. Rangkaian bunga angrek dan bunga-bunga lain, membuat ruang kedatangan (arrival room) menjadi berbeda dan menarik, Sesudah mengamati rangkaian bunga, secara perlahan-lahan tampak tulisan: T A I W A N Airport.
Di Bandara Taipeh kami disambut oleh Ibu Secilia, warga negara Hongkong, keturunan Tionghoa, ia salah satu panitia Asian Liturgy Forum. Sesudah sedikit keterangan, koper dan kas kami dibawa ke hotel sementara kami diajak untuk jalan-jalan ke Kampung Sembilan. Disebut kampung Sembilan karena semua hal diatur berdasarkan angka Sembilan; meja, kursi di dalam restoran di atur dalam susunan Sembilan. Masyarakat percaya angka sembilan adalah angka keberuntungan. Di sana kami menikmati sungguh tampak kampung, tetapi tidak kumuh, di sana ditawarkan wisata kuliner, dengan ratusan macam makanan tradisional dan kerajinan tangan.  
Tata kota Taipei sendiri mencerminkan perpaduan harmoni antara peninggalan tradisional dan sentuhan modern; tampak gedung-gedung menjulang tinggi, tower 101, (one zero one) kebanggaan dan simbol modernissasi kota Taipei, sementara fly over dan jalan tol yang tertata rapi. Di sisi lain warisan budaya tidak dilupakan, restoran ditata dengan sentuhan tradisional, kita dapat merasakan warisan budaya, sebut saja misalnya cara makan dengan stick, mangkok-mangkok kecil tempat khas sup, ornament dan relief interior, music serta makanan. Tata kota juga menunjukkan karakter masyarakat yang ramah, toleran, damai, disiplin dan sangat demokratis. Pejalan kaki dan pesepeda memiliki ruang khusus, memarkir kendaraan dengan tepat, sementara bus, mobil, sepeda motor meluncur tanpa klakson, tanpa ngebut, tanpa macet dan tidak ada yang melanggar lampu merah.
Tampak juga bahwa masyarkat dan pemerintah peduli terhadap lingkungan; pohon dan bunga ditata dengan rapi di pinggir jalan, taman kota cantic dan teratur, sentral pipa-pipa pemadam kebakaran disiapkan di sisi jalan. Pengorganisasian sampah sangat teratur, hampir tidak ditemukan sampah baik dijalanan maupun di tempat-tempat umum lainnya. Masyarakat sudah sampai pada kesadaran yang tinggi dalam mengolah sampah; sampah dibagi atas sampah plastik, anorganik lainnya, sampah organik dan sampah sisa-makanan dari rumah, masing-masing dengan tempatnya yang berbeda-beda.

Bertemu dengan saudara dan setanah air
Sesudah menikmat “kampung Sembilan” kami kembali ke Xin Dian Hotel. Ternyata banyak pastor misionaris dari Indonesia bekerja di Taiwan, paling tidak di Taipeh kami bertemu dengan ada pater SCY dan pater SVD. Mereka tersebar di berbagai paroki; ada yang menjadi pastor paroki bahkan vikjen. Hsotel yang kami tempat adalah milik pater-pater SVD provinsi Taiwan. Menurut penuturan pater Boli Ujan, pater-pater SVD telah lama hadir di Taiwan. Pater SVD yang berasal dari Indonesia sudah menjadi anggota provinsi Taiwan. Pater Paskalis, penanggung jawab hotel, menceritakan bahwa pendirian hotel pada awalnya karena paksaan. Konon mereka membeli tanah itu untuk kepentingan gereja. Namun karena belum dimanfaatkan, pemerintah mendesak agar tanah itu dikelola dengan baik. Kalau gereja tidak mengelola, pemerintah berhak mengambil alih tanah itu untuk dimanfaatkan demi kepentingan bersama. Untuk itu mereka mencari cara untuk mengelolanya. Kebetulan ada perusahaan hotel yang menawarkan kerja sama. Akhrinya mereka sepakat untuk mendirikan hotel, dengan ketentuan bahwa pengemban membangun hotel, laba dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan.
Di sela-sela pertemuan itu para pater SVD mengundang kami, khusus para imam dari Indonesia, untuk makan siang bersama di salah satu restoran. Seperti biasa kultur Indonesia, kita langsung akrab, bercerita tentang apa saja. Menu pun dihidangkan satu per satu siih berganti, mulai dari sub sampai menu utama, semua ala Taiwan; sayur, ikan, nasi, hanya anggur yang memberi warna barat. Dari cerita di meja makan itu, kami sedikit mengetahui informasi tentang situasi masyarakat Taiwan secara umum.

Opening Ceremony of ALF
Upaca pembukaan ALF diawali dengan ibadat sore bersama di gereja paroki Trinitas. Kemudian dilanjutkan dengan kata-kata sambutan di hotel: Forum ini dihadiri oleh 9 negara termasuk Taiwan sebagai tuan rumah, Ketua ALF (Mgr. Julius Tonel D.D.), Sekretaris Eksekutif ALF (Mgr. Florencio P. Salvador JR, SLD), 3 uskup Taiwam, termasuk Uskup Agung Taipei, (Mgr. John Hung) dan Sekjen FABC, Fr. Otfried Chan. Dalam kata sambutannya Uskup Agung Tipeh, ia menerima kedatangan para delegasi dengan hangat. Ia menghimbau agar dalam pertemuan ini para delegasi tidak lupa menikmat kota Taipei. Ia berharap bahwa ALF menghasilkan buah melimpah demi pembaruan liturgi sesuai dengan harapan Konsili Vatikan II. Pada kesempatan ini, penitia mengundang Wakil Presiden Taiwan, yang kebetulan umat katolik, tetapi beliau berada di Vatikan untuk menghadiri Misa kanonisasi orang kudus.
Sesudah kata-kata sambutan diadakan pembacaan Injil, yang diawali dengan perarakan Evangeliarium, diiringi dengan tarian tradisional. Gerak dan nyanyian mirip dengan tarian dan gerak maena tradisi Suku Nias, sementara pakaian adat seperti perpaduan antara pakaian adat Tiongkok/ Cina dan Nepal. Diakon membawa Evangeliarium, penari mengikuti dari belakang, sementara solis melantukan syair-syair pujian, refren dinyanyikan oleh penari. Demikian perarakan Evangeliarum sampai ke panggung, lalu Diakon membacakan Injil.
Kini tiba waktu santap malam. Menu makan malam satu demi satu dihidangkan, menu demi menu datang silih berganti, semua dikemas dalam gaya Taipeh. Sambil makan malam di sana sini berlangsung canda tawa, atau senda gurau, tetapi ada juga yang biasa-biasa saja, ada yang serius menikmati hidangan malam, mungkin sudah lapar atau mungkin belum terbiasa dengan situasi baru. Saya duduk dekat delegasi dari Tailand, tapi dari raut wajahnya dia bukan orang Tailand. Penasaran atas itu, kami kenalan lebih jauh lagi, ternyata dia saudara kapusin dari Italia. Setelah perkenalan itu pembicaraan berlangsung dalam dalam Bahasa Italia, makan malam semakin asik. Acara makan malam kurang lebih berlangsung dua jam. Akhirnya kami semua kembali ke hotel dengan jalan kaki, karena tidak jauh dari hotel, tempat kami menginap.

Sharing ALF
            Hari pertama dan sesi pertama adalah giliran delegasi dari Indonesia. Teman-teman telah mengunjuk saya sejak awal mempersiapkan paper dan power point. Sebelum presentasi, kami, menyanyikan Mazmur Tanggapan “Aku wartakan karya agung-Mu Tuhan, karya Agung-Mu karya keselamatan”. Pilihan mazmur ini menurut kami tepat dengan tema pertemuan ALF kali ini. Presentasi berlangsung selama 20 menit, sesudah itu dilanjutkan dengan sesi tanya-jawab. Demikian hari demi hari delegasi silih berganti menyampikan pengalamannya. Dari hari ke hari kami semakin kompak, karena sudah semakin mengenal satu sama lain. Terutama delegasi Indonesia dan Timur Leste, tampak seperti saudara saja; saling mengejek, bergurau, sehingga forum menjadi semakin hangat.
            Saya tidak mungkin memuat shering itu pada edisi ini. Namun saya akan berusaha menuliskan topi-topik diskusi ALF dalam edisi berikut. Barangkali topik-topik itu menarik dan dapat menginspirasi kita dalam menghidupi dan meningkatkan kehidupan liturgi di tempat kita masing-masing.

Closing Ceremony
            Penutupan forum ini diawali berlangsung di salah satu hotel. Delegasi Indonesia sudah siap-siap dengan koper masing-masing, karena sesudah makan malam kami harus kembali ke Indonesia. Pada penutupan ini Wakil Presiden Taiwan sungguh hadir diantara kami. Sebelum makan malam, dia menyampaikan kata sambutannya; dia mengapresiasi forum ALF, dan minta maaf karena tidak hadir dalam acara pembukaan. Sesudah kata sambutan, dilanjutkan dengan foto bersama dengan beliau. Tidak lama sesudah itu dia meninggalkan kami, untuk mengikuti pertemuan yang lain.
            Kami mengadakan makan malam bersama tanpa Wakil Presiden. Selama makan malam itu, masing-masing negara menampilkan hiburannya masing-masing. Kami dari Indonesia menampilkan nyanyian tradisional Batak Toba “Sing sing so”. Pater Emman adaah solis yang lain backing vocal. Sesudah kami menyusl dari Malaysia, Filipina. Sayang kami harus meninggalkan makan malam, karena bis bandara sudah menjemput. Akhinya kami berpamitan, ada yang memeluk dengan kehangatan yang mendalam, seyum yang tulus, kegembiraan yang tidak dapat terkuliskan. Dalam perjalanan menuju bandara, saya bermenung atas semua peristiwa ini, “ternyata iman itu dahsyat melinatasi suku budaya, ia mempersatukan dan membaut apa yang tidak mungkin bagi manusia menjadi nyata dan dialami”. Semakin menarik merenungkan Sabda Yesus ini “sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada gunung ini;  pindah dari tempat ini ke sana, maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu” (Mat. 17:20)


                                                                                                Sinaksak, 29 Oktober 2018




Share this post :

Posting Komentar

Terima kasih atas Partisipasi Anda!

 
Copyright © 2015-2024. Ordo Kapusin Sibolga - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger - Posting