NILAI KEHIDUPAN
Royger Sitompul
1. Pengantar
Manusia diciptakan seturut gambar dan rupa Allah (Kej 2:7). Sebagai Citra Allah, manusia menjadi makhluk yang lebih istimewa dibanding dengan makhluk-makhluk lain yang ada dipermukaan bumi. Dalam diri manusia sudah terpatri nilai dan hak-hak asasi yang tidak diberikan oleh dunia. Itulah sebabnya hidup manusia itu tidak bisa direduksi dan dirusak melainkan harus dijaga, dihargai dan dijujung tinggi. Faktanya, dalam kehidupan sehari-hari, manusia mengalami peristiwa-peristiwa (aborsi, eutanasia, bunuh diri dan sebagainya) yang merusak dan mengurangi nilai hidupnya sebagai ciptaan Tuhan yang amat luhur. Lewat tulisan ini, penulis mencoba menguraikan nilai kehidupan manusia sebagai ciptaan yang terluhur.
2. Pengertian Nilai
Kata nilai dalam bahasa inggris disebut value. Value merupakan turunan dari bahasa latin valere yang artinya berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, dan kuat. Nilai merupakan sesuatu yang menjadikan sesuatu itu dapat disukai, diinginkan dan berguna. Dalam dunia filsafat teori mengenai nilai di sebut axiology. Axiologi berasal dari bahasa Yunani axia dan logos yakni ilmu yang berbicara tentang nilai.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nilai diartikan sebagai harga, angka kepandaian dan punten. Nilai diartikan juga sebagai sifat-sifat yang penting atau berguna bagi kemanusiaan, atau sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya.
Dalam pembahasa ini, nilai yang kami maksudkan bukanlah nilai dalam arti punten tetapi nilai sebagai hakekat dari manusia itu sendiri. Nilai manusia sebagai mahluk ciptaan Allah yang bermartabat. Martabat manusia nampak dari sejarah kehidupanya yang hadir dari kehendak Allah.
3. Awal Hidup Manusia
Dari manakah hidup manusia? hidup manusia bukan berasal dari manusia, melainkan dari Allah sumber hidup yang menghidupkan manusia. Bila dilihat dari ranah biologis, kehidupan itu berawal dari pertemuan antara sel telur (ovum) dan sperma. Lewat penyatuan itu terciptalah manusia.
Sel telur yang sudah dibuahi itu (zigot) berkembang secara berkesinambungan tanpa adanya suatu keterputusan sampai akhirnya mencapai tujuan akhirnya yakni manusia baru. Kebaruannya benar-benar unik karena tidak pernah ada sebelum dan sesudahnya (manusia baru berbeda dari bapa dan ibunya). Pada saat itu, terdapat hidup baru yang berbeda dari hidup ayah dan ibu.
Para moralis melihat bahwa pembuahan sebagai saat yang tepat dan paling menentukan untuk transmisi hidup manusia. Pertemuan ovum dan sperma menjadi titik awal hidup manusia dalam bentuk yang paling sederhana dan sejak itu ia sudah memiliki nilai dalam dirinya.
4. Nilai Hidup Manusia
Menurut R.S. Naagarazan, nilai adalah suatu prinsip yang mempromosikan kebaikan dan menghindarkan kejahatan. Sesuatu yang bernilai akan membawa, mendorong, mengarahkan kepada suatu kebaikan tertinggi dan menentukan sehingga pemilihan nilai itu akan menghindarkan pemilih dari kejahatan atau sesuatu yang tidak baik. Nilai itu nyata dalam pilihan-pilihan yang dibuat oleh manusia.
Secara filosofis, nilai dibagi menjadi dua bagian yakni nilain intrinsik dan nilai ekstrinsik. Nilai intrinsik adalah nilai yang ada di dalam dirinya sendiri, dia bernilai karena dirinya tanpa relasinya dengan yang lain. Ia ada dalam dirinya sendiri tanpa diberi, dikurangi, atau ditambahi oleh pihak lain.
Nilai ekstrinsik adalah nilai yang didapat karena relasinya dengan pihak lain dan bermakna karena pihak lain. Misalnya, uang menjadi bernilai karena bisa menjadi sarana untuk mendapatkan sesuatu. Uang itu bernilai oleh karena hubungannya dengan pihak lain, di mana uang bisa menjadi alat tukar dengan yang lain. Penilaian ekstrinsik diberikan dalam hubungannya dengan faktor-faktor eksternal, kegunaannya.
Nilai ekstrinsik dapat berubah-ubah sesuai dengan situasi, keadaan, tempat. Sebuah komputer di rumah pendidikan sangat bernilai tinggi karena berguna untuk mengerjakan tugas-tugas kampus, tetapi dinilai rendah oleh seorang petani desa sebab tidak ada manfaatnya bagi sang petani.
4.1 Manusia Memiliki Nilai Intrinsik dan Nilai Ekstrinsik
Manusia adalah mahluk yang mempunyai nilai intrinsik (inherent) yang harus diakui oleh setiap orang bila ingin hidup bebas, adil, dan damai. Pengakuan akan nilai intrinsik ini menjadikan manusia itu tidak boleh dipandang hanya sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan tetapi harus diperlakukan sebagai subyek di dalam dirinya sendiri. Ketika manusia dijadikan budak maka di situ tidak ada kebebasan, keadilan, dan perdamaian.
Nilai intrinsik yang ada dalam diri manusia bukan karena diberi oleh seseorang atau instansi, tetapi karena dia adalah manusia. Dari dirinya sendiri, manusia bernilai sehingga tidak perlu lagi hal-hal lain untuk menjadikannya bermartabat sebagai manusia. Oleh karena itulah, orang tidak boleh membunuh manusia. Manusia mempunyai nilai yang tak terhingga, sehingga hidup manusia harus dihargai dan dipandang sebagai yang terpenting dari mahkluk yang lain.
Selain nilai intrinsik manusia juga bernilai ekstrinsik. Nilai ekstrinsik manusia bisa berubah akan tetapi nilai intrinsik manusia tidak bisa berubah. Misalnya, secara ekstrinsik seseorang bisa saja mempunyai nilai rendah karena miskin, sakit, cacat, buruk wajahnya tetapi secara intrinsik tetap sama (dia manusia yang bermartabat). Kesamaannya terletak pada martabatnya sebagai manusia yang sama bagi semua orang. Perlu diperhatikan bahwa nilai ekstrinsik dan nilai intrinsik manusia tidak bisa ditukar-tukar. Apa yang benar secara ekstrinsik belum tentu benar secara intrinsik. Misalnya, seorang pesepak bola terkenal akan bernilai ekstrinsik lebih tinggi daripada pesepak bola yang kemampuannya biasa-biasa saja, akan tetapi nilai intrinsiknya tetap sama.
5. Manusia Makhluk Ilahi
5.1 Manusia Secitra dengan Allah
Nilai hidup manusia itu dilukiskan sebagai anugerah istimewa dari Sang Pencipta alam semesta (Kej 2:7). Tuhan adalah sumber hidup (Mzm 36:10). Manusia berada dalam perlindungan Sang Pencipta (Kej 4:10) dan diciptakan sesuai dengan gambar dan rupa-Nya (Kej 1:27; Kej 9:5-6). Sebagai ciptaan Allah, manusia memiliki martabat yang luhur. Hidup manusia berharga di hadapan Allah. Hidup manusia telah direncanakan dan dirancang demi keselamatan. Kehadiran dan kemuliaan Allah tampak dalam diri manusia. Manusia diminta untuk tidak membunuh (Kel 20:13). Sebagai anugerah kasih Allah, hidup manusia adalah kudus adanya. Di dalam hidup manusia terdapat unsur jasmaniah dan rohaniah. Kehadiran dan campur tangan Ilahi dalam hidup manusia tak tersingkirkan.
Allah adalah tuan dari segala ciptaan. Kekuasaan manusia berada dalam partisipasi dalam kekuasaan Allah yang melindungi dan mencintai ciptaan. Hal ini ditegaskan dalam Evangelium Vitae no. 42, “Membela, mempromosikan, menghormati dan mencintai hidup adalah suatu tugas yang diserahkan Allah pada setiap orang, dengan memanggilnya sebagai citra-Nya, untuk berpartisipasi pada kekuasaan yang dimiliki-Nya atas bumi.” Kekuasaan partisipatif yang dimiliki mengharuskan manusia untuk menghormati setiap ciptaan lain terlebih manusia karena hidupnya lebih bernilai.
Oleh karena itu, manusia tidak dapat diperlakukan sesuka hati sebab dalam diri manusia hadir Sang Pencipta yang menggerakkan dan menguduskan seluruh dirinya. Dalam diri manusia, terdapat nilai yang tidak dapat diadakan oleh siapapun. Dalam diri manusia sudah ditemukan hak-hak asasi yang tidak diberikan oleh dunia. Hak-hak asasi itu semestinya dihargai oleh sesama manusia tanpa manipulasi dalam bentuk apapun.
5.2 Manusia yang Ber-Roh
Manusia makhluk yang bertubuh sekaligus makhluk yang memiliki jiwa atau roh. Tubuh dan roh merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kesatuan ini bukan sebuah kebetulan melainkan menyetuh seluruh hakikatnya sebagai ciptaan Allah yang sempurna. Kesatuan manusia dengan yang ilahi melekat pada prinsip spiritual. Tubuh manusia ini dijiwai oleh Roh Ilahi. Jiwa atau roh manusia pada hakikatnya adalah bentuk substansial dari tubuh manusia. Roh itu dihembuskan oleh Allah kepada manusia. Roh hembusan Allah ini menghidupkan dan menggerakkan. Memang segala yang hidup dan bernyawa berasal dari Allah sendiri (binatang dan tumbuh-tumbuhan), tetapi manusia menjadi makhluk yang istimewa dari segala ciptaan lain.
6. Problema Hidup Manusia dan Prinsip Gereja
Gereja menolak sejumlah tindakan kriminal dan serangan-serangan melawan hidup manusia. Misalnya, penumpasan suku, aborsi, eutanasia dan bunuh diri yang disengaja. Begitu juga dengan tindakan yang melanggar keutuhan pribadi manusia. Seperti pemenggalan anggota badan, siksaaan yang ditimpahkan pada jiwa dan raga, usaha-usaha paksaan psikologis, pemenjaraan yang sewenang-wenang, pembuangan orang-orang, perbudakan, pelacuran, perdagangan wanita dan anak-anak muda. Semua tindakan di atas sejak awal tolak oleh Gereja (EV 3).
Mungkin kita bertanya-tanya apa hubungan nilai hidup manusia dengan aborsi, bunuh diri dan eutanasia? Tentu ketiga tindakan peniadaan hidup manusia itu berhubungan. Dengan aborsi, gereja meminta kepada kita agar kita menjunjung tinggi nilai hidup manusia itu sejak dari kandungan (janin). Dengan bunuh diri, Gereja mengajarkan kepada kita agar nilai kehidupan itu tidak diputuskan/ dicabut begitu saja sebab Allah berkuasa atas hidup kita. Dengan Eutanasi, gereja mengajarkan supaya menghargai nilai hidup itu sampai akhir hanyat, entah bagaimanapun sakit menggerogoti tubuh. Kita diajak untuk menghargai kehidupan itu mulai dari kandungan sampai ajal menjemput.
Aborsi berasal dari bahasa latin “Abortus” berarti keguguran. Kata ini menunjukkan keguguran atau pengguguran sebelum janin dapat hidup di luar kandungan ibu. Ada dua macam aborsi: spontan dan dikehendaki.
Pada hakekatnya manusia dalam kandungan sudah memiliki hak untuk hidup yang diterima dari Sang Pencipta. Janin (anak) dalam kandungan memiliki hak yang setara dengan manusia lain. Anak yang ada dalam kandungan tidak bisa di aborsi. Aborsi merupakan tindakan yang melawan hak dasar untuk hidup. Menurut B. Harring anak adalah pribadi manusia yang hidup dengan hak-hak yang sama baik sebelum maupun sesudah dilahirkan.
Dari sudut pandang moral, manusia secara keseluruhan merupakan satu kesatuan sebagai raga dan roh (EV 60). Oleh karena itu, Gereja mengajarkan bahwa buah hasil prokreasi, sejak saat keberadaannya harus dijamin dan dihormati. Gereja melihat bahwa aborsi yang di sengaja disebut sebagai pembunuhan yang langsung. Maka apapun alasanya aborsi tidak pernah dapat dibenarkan dan di terima oleh Gereja karena aborsi merupakan tindakan pembunuhan anak tindakan kejahatan yang durhaka (GS 52).
Ada beberapa alasan Gereja menolak tindakan aborsi yaitu; pertama, hidup manusia sudah kudus saejak awal karena berasal dari Yang kudus, kedua, pembunuhan adalah bahaya besar bag korban yang mendatangakan pendiritaan yang berat, ketiga pembunuhan adalah tindakan kriminal dan menghancurkan sipembunuh, keempat pembunuhan mengakibatkan keluarga korban berduka, kelima setiap warga masyarakat bertanggungjawab atas kelangsungan dan perlindungan hidup.
Dalam Kitab Hukuma Kanonik, umat katolik yang melakukan tindakan aborsi dengan sendirinya akan di ekskomunikasi (Kan 1398). Ekskomunikasi terjadi dengan sendirinya, kalau pelanggaran dilaksanakan menurut syarat-syarat yang dilakukan (Kan 1314). Gereja tidak bermaksud membatasi belaskasihan, tetapi ia menunjukkan dengan tegas bobot kejahatan yang dilakukan.
6.2 Eutanasi
Eutanasia adalah sebuah tindakan kriminal yang tak dapat disetujui dan didukung. Gereja menjunjung hak dasar setiap manusia untuk meninggal dengan luhur tanpa menjadi objek percobaan medis. Dunia medis harus menghargai dan melindungi keluhuran martabat setiap manusia sehingga mereka ditolong untuk meninggal dalam keluhuran. Meninggal dunia dengan luhur berarti setiap orang memiliki hak untuk menghadapi maut dengan ketenangan, dan keberanian, sebab maut adalah bagian integral dari hidup manusia.
Pandangan Gereja tentang Eutanasia bertitik tolak pada keyakinan bahwa setiap orang diciptakan oleh Allah dan ditawari keselamatan Kristus. Oleh karena itu, setiap usaha menghilangkan kehidupan orang tak bersalah menentang kasih Allah terhadap orang itu. Allah memanggil manusia untuk menjaga hidup mereka. Maka euthanasia itu salah dan ditolak oleh Gereja.
St. Fransiskus diakhir hidupnya mengatakan “Selamat datang saudariku maut”. Tindakan St. Fransiskus Assisi dalam menghadapi maut pantas dihargai dan diteladani. Sekalipun dalam keadaan sakit dan menderita dan dalam suasana rohani yang mendalam dia menyambut maut sebagai saudarinya sendiri. Saudari maut menjadi bagian integral hidup dan panggilannya sebagai murid Yesus. Sikap rohani yang bebas dalam menyongsong saudari maut akan memberanikan diri kita untuk menyongsong maut dan tidak melarikan diri dari kenyataan eksistensial.
St. Fransikus Asisi milihat bahwa kematian bagian dari hidup manusia. Yesus Anak Allah yang menjadi manusia juga menerima kematian itu dengan berserah diri kepada Bapa. Bagi Fransiskus, kematian bukanlah akhir dari segalanya, tetapi kematian menjadi awal dari hidup manusia. Dengan itu St. Fransiskus mengajak para pengikutnya agar jangan takut menerima kematian itu.
6.3 Bunuh diri
Bunuh diri (pematian diri) dekat dengan euthanasia. Bunuh diri dianggap sebagai penolakan akan anugerah kehidupan yang diberikan oleh Tuhan. Ada dua bentuk bunuh diri yaitu bunuh diri langsung ataupun tak langsung. Kedua bentuk bunuh diri ini tak dapat diterima karena tindakan itu merupakan peniadaan hidup yang bertolak belakang dengan Sang Pencipta. Yang berhak penuh atas hidup hanyalah pencipta selaku pemilik hidup (Ul 32:39; Keb 16:13).
Bapa-bapa Gereja menekankan bahwa hidup manusia adalah anugerah Tuhan yang seharusnya dihargai dan dilidungi. Bunuh diri dilihat sebagai “pembunuhan diri”. Thomas Aquinas melontarkan empat alasan penolakan terhadap tindakan bunuh diri. Pertama, tindakan itu melawan hukum kodrat tentang perawatan diri dan cinta kasih. Kedua, Sebagai bagian dari komunitas, hidup manusia selalu bermakna dan bernilai bagi orang-orang lain. Ketiga, manusia bukanlah tuan atas hidupnya dan tak bisa menentukan tujuan akhir hidupnya. Keempat, panggilan hidup manusia adalah untuk saling menolong dalam menghadapi kesulitan. Tindakan bunuh diri dikategorikan sebagai dosa berat karena melawan Tuhan, sesama dan diri.
Orang kristen percaya bahwa manusia memiliki nilai yang tak terhingga karena diciptakan oleh Allah. Itulah sebabnya orang kristen mengatakan bahwa tindakan bunuh diri itu adalah salah. Pandangan para pemikir kristen dan teolog di bawah ini bisa kita amini. Pertama, Tindakan bunuh diri merupakan tindakan menolak anugerah Allah. Kedua, manusia tidak diberi tanggungjawab seutuhnya atas hidupnya. Allah tetap mencintai dan memelihara hidup manusia dan bertanggung jawab atas hidup manusia. maka, bunuh diri sama dengan menolak kemahakuasaan Allah itu. Ketiga, orang yang melakukan tindakan bunuh diri adalah orang yang tidak mempunyai perharapan. Orang yang tidak berpengharapan adalah orang yang menyangkal kemahakuasaa Allah.
7. Penutup
Pada hakekatnya manusia adalah mahkluk yang paling luhur dan paling sempurna jika dibandingkan dari ciptaan lain. Manusia dikatakan paling luhur karena manusia dicipta secitra dengan Allah. Itulah sebabnya mengapa Gereja sangat menjunjung tinggi nilai kehidupan manusia. Gereja menghargai keberadaan manusai bukan semata-mata karena manusia memiliki rasio, tetapi karena manusia adalah gambar Allah. Keberadaan manusia di dunia sebagai citra Allah sangat tidak pantas jika dijadikan objek ketidak adilan karena akan bertentangan dengan nilai hidupnya sebagai manusia. mengobjekkan manusia sama dengan mengobjekkan Allah.
Gereja sangat menjungjung tinggi martabat manusai karena manusia adalah ciptaan Allah yang sempurna dan Allah senantiasa hadir dalam diri manusia. Gereja sangat cermat dan tegas menanggapi problema yang mengacam eksistensi manusia. Gerja dengan tegas, menolak masalah penumpasan suku, pengguguran (aborsi), eutanasia, bunuh diri, hukuman mati, dan masalah lain yang merusak keberadaan manusia. gereja mengajarkan supaya setiap orang harus menghormati kehidupan dan menjunjung tinggi nilai-nilai, martabat dan hak-hak asasi manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Danes Kristofe dan Simon. Masalah-Masalah Moral Sosial Aktual Dalam Persfektif Iman Kristen (Judul asli: Todays Issues and Cristians Belife: Social and Moral Question for Religion). Diterjemahkan oleh Hardono Hadi. Yogyakarta: Kanisius 2000.
Chang William. Bioetika: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Konsili Vatikan II, “Gaudium et Spes”, dalam Dokumen Konsili Batikan II. Diterjemahkan oleh R. Hardawiryana. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – OBOR, 1993.
Kusmaryanto, C. B. Bioetika. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2016.
Paulus Yohanes II. Ensiklik Evangelium Vitae (Injil Kehidupan). Diterjemahkan oleh R. Hardawiryana. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – OBOR, 2010.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pusaka, 2005.
Posting Komentar
Terima kasih atas Partisipasi Anda!