Ordo Kapusin Kustodi General Sibolga

MAKHLUK CIPTAAN SEBAGAI SARANA UNTUK MENGENAL DAN MEMULIAKAN ALLAH SANG PENCIPTA MENURUT PANDANGAN SANTO FRANSISKUS DARI ASISI

(Oleh: Sdr. Vincentius Simbolon)

1.    Pengantar 
Sudah sejak lama Fransiskus dari Asisi dijadikan sebagai ikon pelindung lingkungan hidup. Dalam berbagai lukisan Fransiskus, tidak jarang panorama alam dengan berbagai binatang mengelilinginya, serta tumbuhan yang menjadi latar belakang dirinya. Cerita mengenai Fransiskus tidak lupa mencantumkan gambaran yang indah akan persaudaraan Fransiskus dengan seluruh ciptaan Allah.
Fransiskus menjadikan semua makhluk ciptaan sebagai saudara dan saudari. Ia tidak memandang makhluk ciptaan sebagai obyek, melainkan sebagai subyek, yang sama dengan dirinya sendiri. Semuanya itu didasarkan pada cintanya kepada Allah. Cintanya mulai tumbuh terhadap alam semesta ketika melihat bahwa ciptaan merupakan perwujudan cinta Allah yang Mahatinggi. Ciptaan menjadi simbol kehadiran Allah.

Dalam karya tulis ini, penulis akan memaparkan bagaimana Fransiskus memandang dan memperlakukan semua makhluk ciptaan. Melalui makhluk ciptaan (alam semesta), Fransiskus mengenal dan merasakan kehadiran Allah dalam hidupnya. Dengan demikian, ia memuliakan Sang Pencipta bersama sekalian makhluk. 

2.    Sekilas Riwayat Hidup Fransiskus
Fransiskus lahir di Asisi sekitar tahun 1182.  Ayahnya bernama Pietro Bernardone, berasal dari Asisi dan ibunya bernama Donna Pica, berasal dari Perancis. Ayahnya adalah seorang pedagang kain sutera. Fransiskus lahir ketika ayahnya berada di Perancis dalam urusan dagang. Awalnya ketika dibaptis, ibunya memberi nama Yohanes. Tetapi setelah ayahnya pulang dari Perancis, namanya diganti menjadi Fransiskus. Adapun maksud dari pemberian nama baru ini adalah sebagai bentuk rasa kagum atau cintanya terhadap terhadap Negara Perancis.

Masa muda Fransiskus diwarnai dengan penuh kebahagiaan menurut ukuran duniawi. Ia disukai banyak orang, karena sifatnya yang periang, ramah, murah hati, spontan dan suka menderma kepada orang miskin. Bahkan orang miskin pun mengidolakannya karena kedermawanannya. Saat beranjak remaja, Fransiskus menghabiskan hari-harinya dengan bersenang-senang bersama dengan teman-temannya. Ia memboroskan harta orangtuanya untuk berpesta pora, berfoya-foya, dan bernyanyi-nyanyi di kota Asisi. Oleh teman-temannya Fransiskus diangkat menjadi “pemimpin pesta”, sebab dialah yang biasa mengorganisir pesta-pesta dan perjalanan. 

Setelah dewasa, Fransiskus diserahi tanggungjawab untuk mengembangkan bisnis ayahnya. Setiap hari ia ikut berjualan di toko pakaian milik ayahnya. Karena keuletannya, dan dianggap mampu, Fransiskus dipercayai menjaga toko, saat ayahnya bepergian ke luar kota. Ketika berumur 22 tahun, terdorong oleh kewajiban militer serta kesempatan untuk meraih kehormatan sebagai kesatria, Fransiskus mendaftarkan diri menjadi tentara dalam perang Asisi melawan Perugia, yaitu pada tahun 1202. Namun sebelum ia sempat bertempur melawan musuh, ia ditangkap dan dipenjarakan selama hampir satu tahun. Kemudian ayahnya mengeluarkan Fransiskus dari penjara dengan bayaran yang tinggi.

Pada tahun 1205, sekali lagi Fransiskus ikut berperang. Kali ini ia mendaftarkan diri menjadi pasukan kepausan dalam perang di Apulia. Ketika mereka dalam perjalanan, tepatnya di lembah Spoleto, Fransiskus mendapatkan penglihatan. Pada saat yang sama ia mendengarkan suara yang berkata: “Fransiskus, manakah lebih baik, mengabdi kepada tuan atau kepada hamba?” Ia menjawab, “mengabdi kepada tuan.” “Kalau demikian, kembalilah ke Asisi. Di sana akan kuberitahukan apa yang akan kau lakukan.” Setelah mendengar suara itu, Fransiskus pun berubah haluan dan kembali ke Asisi.

Menjelang akhir tahun 1205, ketika Fransiskus berdoa di Gereja San Damiano, ia mendengar suara yang datang dari arah salib dan berkata kepadanya: “Pergilah, perbaikilah GerejaKu yang mau roboh ini.” Fransiskus langsung bertindak, ia kembali ke rumahnya, kemudian mengambil kuda dan memuatinya dengan kain sutera yang mahal dan berangkat ke Foligno. Di sana ia menjual semua kain beserta kudanya, lalu kembali ke Gereja San Damiano. Adapun uang hasil penjualan kain itu, ia berikan kepada imam yang tinggal di gereja tersebut untuk dipakai memperbaiki gereja tersebut. Imam itu tidak mau menerima karena takut kepada orangtua Fransiskus. Kemudian Fransiskus melemparkan uang tersebut ke dalam gereja melalui jendela. 

Penampilan Fransiskus semakin berubah. Dengan mengenakan pakain compang-camping, Fransiskus mengemis di kota Asisi. Melihat perubahan itu, penduduk Asisi heran, mengejek dan menyebutnya gila, dan bahkan melemparinya dengan batu. Mendengar hal itu, ayahnya merasa malu dan marah. Fransiskus dibawa kembali oleh ayahnya dan mengurungnya di dalam kamar. Tetapi ketika ayahnya bepergian ke luar kota, ibunya, Dona Pica sangat kasihan dan akhirnya melepaskan Fransiskus. Setelah dilepas ibunya, Fransiskus kembali ke gereja San Damiano. 

Konflik antara Fransiskus dengan ayahnya semakin memuncak ketika ayahnya kembali dari luar kota dan tidak menemukan Fransiskus di dalam kamar kurungan. Kemudian ayahnya mencari Fransiskus ke gereja San Damiano dan membujuknya kembali ke rumah, tetapi Fransiskus menolak.  

Selanjutnya, ayahnya membawa Fransiskus menghadap uskup Asisi yaitu Uskup Guido, untuk diadili. Ayahnya mengancam akan mencabut haknya sebagai ahli waris dan menuntut agar Fransiskus mengembalikan semua uang yang telah diambilnya. Ancaman itu bertujuan agar Fransiskus berubah pikiran dan kembali ke rumah ayahnya. Tetapi sebaliknya, di hadapan Uskup Guido dan semua orang yang hadir pada saat itu, Fransiskus menanggalkan semua pakaiannya lalu memberikannya kepada ayahnya. Berdiri dengan keadaan telanjang layaknya saat ia dilahirkan, Fransiskus berkata, “Sampai saat ini aku menyebut engkau ayahku, tetapi saat ini pula aku dapat berkata dengan bebas Bapa kami yang ada di Surga.” Melihat peristiwa itu Uskup Guido terharu, lalu ia menanggalkan pakaian kebesaran dan mengenakannya kepada Fransiskus, sebagai simbol bahwa Fransiskus dilindungi atau berada di bawah lindungan Gereja.    

Konflik antara Fransiskus dengan ayahnya telah berakhir. Ia tidak lagi anggota keluarga Pietro Bernardone, melainkan abdi Allah. Dialah abdi Allah yang telah menopang bangunan Gereja yang mau roboh, yang kemudian dipahani Fransiskus sebagai umat Allah. Cara hidupnya menjadi teladan bagi kita, bagaimana mencintai Allah, dan membangun persaudaraan universal dengan sesame manusia dan semua makhluk yang hidup dan yang tidak hidup. Fransiskus wafat pada hari Sabtu, tanggal 3 Oktober 1226.

3.    Pandangan Fransiskus atas Ciptaan
3.1.    Ciptaan Sebagai Perwujudan Diri Allah

Pandangan Fransiskus terhadap ciptaan tidak dapat dipisahkan dari hubungannya dengan Allah. Bagi Fransiskus, ciptaan mempunyai peranan penting dalam penghayatan akan Allah. Ciptaan memiliki peranan penting, karena melalui ciptaan Fransiskus sampai kepada Allah. 

Bagi Fransiskus ciptaan tidaklah hanya sebagai simbol atau tangga untuk naik kepada Allah. Ia melihat ciptaan dalam Pencipta, dan Pencipta dalam ciptaan. Fransiskus tak pernah melihat ciptaan lepas dari Penciptanya, dan pencipta juga selalu dilihat menyatakan diri dan hadir dalam ciptaan. Dalam pandangan ini, Fransiskus melihat ada kesatuan antara Pencipta dengan ciptaan-Nya. Hal ini bukan berarti ciptaan sama dengan Allah atau ciptaan adalah Allah. Ciptaan tetap pada taraf ciptaan yang senantiasa tergantung pada Penciptanya. Alam semesta dan semua makhluk hidup berasal dari Allah, dan keberadaan ciptaan itu merupakan cerminan diri Allah. Karena itulah ciptaan itu kudus adanya. Ciptaan itu adalah kudus karena berasal dari Allah Yang Kudus, yang menyatakan diri-Nya dalam ciptaan.

 Maka atas dasar ini, alam semesta dan segala makhluk tidak boleh dirusak atau diperlakukan oleh manusia seturut kehendaknya sendiri. Dengan merusaknya berarti manusia merusak cermin itu atau meremehkan Allah yang menyatakan diri-Nya dalam ciptaan.

3.2.    Ciptaan Sebagai Simbol Kehadiran Allah
Pandangan Fransiskus terhadap ciptaan, sedikit banyak dipengaruhi oleh ide-ide tologis-filosofis yang hidup dalam Gereja pada masanya. Hal itu dapat saja terjadi lewat ajaran maupun praktek hidup Gereja yang kurang menunjukkan sikap cinta terhadap semua makhluk. Selain itu, Fransiskus juga harus berhadapan dengan kelompok-kelompok bidaah yang memandang dunia kebendaan secara pesimis dan negatif.   

Dalam pandangan Fransiskus, setiap ciptaan dengan cara dan adanya masing-masing merupakan manifestasi kekuatan, keindahan dan kebaikan Allah Yang Mahatinggi. Manifestasi ini sering mengangkatnya ke dalam ekstase. Hal itu dapat dilihat dari hasil refleksinya, yang digubah dalam bentuk kidung dan nyanyian, yaitu kidung Saudara Matahari.  

Bagi Fransiskus, ciptaan adalah jalan menuju Allah. Makhluk ciptaan dilihat sebagai sarana bagi manusia untuk memuji Allah. Dapat dikatakan, ciptaan bagaikan “kendaraan” yang membawa pujian manusia kepada Sang Pencipta. Fransiskus mampu berelasi dengan Allah saat ia memandang ciptaan. Ketika ia berkontemplasi di hadapan ciptaan, Fransiskus mengarahkan hati dan pikirannya pada Allah yang mencipta.   

Ciptaan merupakan simbol yang menampilkan kemuliaan dan keluhuran Allah dan atas cara yang berbeda-beda, sekalian makhluk itu mengandung dan menampilkan misteri Ilahi, yang hanya dapat ditangkap manusia lewat iman serta permenungan yang mendalam. Alam semesta serta seluruh isinya merupakan gambaran substansi dari objek yang dipantulkannya, yakni Allah. Oleh karena itu, bagi Fransiskus ciptaan adalah simbol kehadiran sang Ilahi. Sebab di dalam ciptaan ia menemukan gambaran Allah yang real.

Pandangan Fransiskus ini bukan berarti suatu bentuk panteistik, juga bukan sifatnya naturalistic belaka, dan bukan penyembahan terhadapnya. Pandangan Fransiskus terhadap ciptaan bersifat religius. Ia mencintai segala ciptaan karena mereka dicipta dan milik Allah sebagai Pencipta. Jadi, dengan pandangan ini Fransiskus melihat ciptaan sebagai “batu loncatan” atau “tangga” naik untuk sampai kepada Allah.

3.3.    Ciptaan Sebagai Revelasi Allah Pencipta
Menurut Fransiskus, segala sesuatu diserap oleh cinta Allah. Karena itulah ia membangun hubungan baru dengan segala ciptaan. Ia tidak mau memilikinya dan menguasainya, tetapi mengundangnya untuk memuji Allah. Bahkan ia melayaninya karena cintanya kepada Allah yang menciptakan segala sesuatu. 

Fransiskus tidak hanya menyebut makhluk sebagai saudara, tetapi bahkan memperlakukannya seolah-olah sebagai manusia. Ia berbicara dengan makhluk-makhluk seolah-olah berbicara dengan manusia. Karena itulah ia berhasil melihat keindahan dan kelayakan setiap ciptaan dan mengembalikannya kepada Allah Pencipta.

Dalam perspektif religius inilah alam ciptaan menjadi transparan kepada yang Ilahi serta memberi peluang bagi manusia untuk melihat Allah di dalamnya. Kenyataan alam tidak habis hanya dalam dimensi duniawinya, tetapi malah keberadaannya menjadi tanda, gambar, kehadiran dan revelasi Sang Seniman yang sangat bijaksana, yang telah menciptakannya bagi manusia dan telah mengaturnya agar nampak sebagai “gambar” Allah dan “kemiripan-Nya,” yang dicipta dalam Kristus, “gambaran” Allah yang tak kelihatan, Anak sulung dari setiap makhluk. Justru karena manusia itu adalah “gambaran” Allah, maka ia  bertugas untuk memberi nama kepada setiap ciptaan dan menjadi pelindungnya. Fransiskus menghayati ini, maka ia pun memberi nama dan memanggil setiap makhluk sebagai saudara.

3.4.    Ciptaan Sebagai Tempat Menyembah Allah
Untuk kebanyakan orang, tempat untuk memuji Allah punya karakter terbatas, sebab bila berbicara tentang “tempat” secara spontan kita akan ingat pada tempat tertentu, seperti gereja, kuil, atau tempat kultus lainnya. Hal ini berbeda dengan pandangan Fransiskus. Bagi Fransiskus, tempat doa atau peribadatan kepada Allah melewati batas-batas dinding dan ruang tertutup, walaupun gereja tetap punya arti tersendiri dalam kehidupan doanya.

Secara simbolis, seluruh alam semesta dilihat sebagai tempat menyembah Allah, dan dalam alam semesta segala ciptaan berdasarkan kodratnya memuji Allah dengan menampilkan kuasa dan kemuliaan-Nya. Oleh karena itu ia berseru: “Semua makhluk yang di surga dan di bumi dan di bawah bumi dan laut serta segala yang ada di dalamnya menyampaikan pujian, kemuliaan, hormat dan meluhurkan Allah, yang telah menanggung begitu banyak kebaikan dan akan terus menganugerahkannya.” 

Banyak kategori tempat peribadatan lain dikemukakan oleh Fransiskus. Gereja menduduki tempat utama. Tetapi, Fransiskus sebagai manusia yang tidak terikat pada ruang tertentu, dengan setia memuji Tuhan dan berdoa di mana saja. Hutan, lapangan terbuka, puing-puing gereja, gua, dan lain-lain, menjadi tempat pertemuan dengan Dia yang ia cintai. Oleh karena itu, dalam Anggaran Dasar Tanpa Bulla ia mengatakan: “Dimanapun, di segala tempat, pada setiap saat dan setiap waktu dan setiap hari kita harus memuji dan memuliakan Yang Mahaluhur.”  

3.5.    Ciptaan Sebagai Keluarga
Fransiskus mendambakan suatu persaudaraan yang mencakup semua lapisan manusia dan segala makhluk ciptaan. Ia sangat terbuka terhadap sesamanya manusia dan juga pada ciptaan. Dalam hubungannya dengan  ciptaan, Fransiskus senantiasa menjalin relasi yang akrab dengan segala makhluk dari jenis manapun. Bahkan ia sendiri memperlakukan ciptaan lain yang bukan insani, seperti manusia. Hal ini dilakukannya sebagai bentuk rasa hormat dan cintanya kepada ciptaan itu sendiri dan yang menciptakannya. Oleh karena itulah Fransiskus menyapa ciptaan sebagai saudaranya.  

Sapaan saudara dan saudari dialamatkan Fransiskus bagi semua ciptaan, bukanlah suatu bentuk puitis belaka. Dengan menyapa saudara dan saudari, serta memperlakukannya seperti manusia, ia ingin mengangkat kedudukan ciptaan itu, yang bukan insani. Oleh karena itu, Fransiskus tidak menempatkan diri manusia sebagai pihak yang kedudukannya berada pada puncak hirarki dalam ciptaan. Ia juga tidak mengutamakan dirinya sebagai yang unggul di antara ciptaan yang lain, tetapi sebaliknya ia melihat manusia termasuk dirinya sebagai bagian dari ciptaan. Bahkan, ia sebagai yang hina dina, melihat dirinya sebagai yang lebih rendah dari segala makhluk, dan karena itulah ia mau taat kepada segala makhluk itu; ia tidak hanya taat kepada manusia.  

Bagi Fransiskus, semua ciptaan, baik manusia maupun ciptaan yang paling sederhana dan lemah adalah sederajat dan mempunyai kedudukan yang sama di hadapan Allah. Fransiskus melihat bahwa, ciptaan berasal dari Allah Bapa yang satu bagi semua. Karena ciptaan itu berasal dari satu Bapa, maka ciptaan adalah saudara yang tidak boleh dikuasai dan diperlakukan dengan sewenang-wenang. Tindakan demikian bertentangan denga kehendak Allah sebagai pemilik tunggal, karena dengan menguasai dan mengeksploitasi ciptaan lain berarti keberadaan Allah disangkal sebagai Pencipta dan Pemilik. Oleh karena itu, ciptaan harus dijaga, dihormati, dan dicintai keberadaannya. 

4.    Penutup 
Bagi Fransiskus, bukan hanya manusia yang terbuka dan berkontak kepada Allah. Baik makhluk hidup maupun yang tidak hidup, atas caranya masing-masing juga berkontak dengan Allah. Kesadaran inilah yang membuat Fransiskus menaruh hormat kepada semua makhluk, dan menyebut mereka saudara dan saudari. Sebagai bentuk hormatnya kepada makhluk ciptaan, Fransiskus memperlakukan semua ciptaan seolah-olah memiliki ratio. Ia berbicara dengan hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan seolah-olah berbicara dengan manusia.

Dengan sikap demikian, Fransiskus berusaha “memanusiawikan” makhluk dengan julukan saudara dan saudari. Hal ini bukan berarti Fransiskus ingin mengubah esensi dari setiap makhluk tersebut. Hewan adalah hewan, dan tumbuhan adalah tumbuhan. Semua makhluk tetap pada kodratnya masing-masing. Tetapi yang mau ditekankan Fransiskus ialah memperlakukan setiap makhluk sebagai makhluk tanpa mengubah cara beradanya, atau memperlakukan setiap makhluk seperti manusia.   

Pengalaman iman Fransiskus akan Allah sungguh nyata dalam tindakannya sehari-hari. Dalam setiap makhluk ciptaan, ia melihat kehadiran Allah. Dengan demikian ia mencintai setiap makhluk ciptaan. Bersama segenap ciptaan ia memuji dan memuliakan Sang Pencipta, yaitu Allah yang telah mewahyukan diri dalam diri Yesus Kristus.   
   



DAFTAR PUSTAKA

Doyle, Eric. Saint Francis and the Song of Brother and Sisterhood. New York: The Franciscan Institute St. Bonaventure University, 1997.
Magnis Suseno, Frans. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Manselli, Raoul. St. Francis of Assisi. Chicago: Franciscan Herald Press, 1988.
Marpaung, Manangar C. “Hubungan Fransiskus dari Asisi dengan Alam Ciptaan dan Pencipta,” dalam Persaudaraan I/I (Oktober-Desember 2003).
________, Perbaikilah Gereja-Ku. Medan: Bina Media Perintis, 2009.
Michael Talbot, John. Ajaran-ajaran Santo Fransiskus (judul asli: The Lesson of Saint Francis), diterjemahkan oleh Penerbit Bina Media. Medan: Bina Media Perintis, 2007.
M. Nothwehr, Dawn. Teologi Fransiskan tentang Lingkungan Hidup (judul asli: Franciscan Theology of the Environment), diterjemahkan oleh Penerbit Bina Media Jilid II. Medan: Bina Media Perintis, 2009.
Nainggolan, Togar. Aktualisasi Spiritualitas Fransiskan. Medan: Bina Media Perintis, 2007.
Oton Sidin, Samuel. The Role of Creature in Saint Francis, Praising of God. Roma: Pontificium Athenaeum Antonianum, 1990.
Purnomo, Albertus. “Pencipta dalam Ciptaan-Nya,” dalam Perantau, 3/XXV (Mei-Juni 2002).
Santmire, Paul. The Travel of Nature Wilderness. Philadelphia: T. S. Guthrie, 1985.
Sorrel, Roger D. Saint Francis of Assisi and Nature. New York: Oxford University Press, 1997.
Syukur Dister, Nico. “Santo Fransiskus dari Asisi dan Hubungannya dengan Perhatian modern untuk Ekologi,” dalam Perantau, 3/XIV (Mei-Juni, 1991).


Share this post :

Posting Komentar

Terima kasih atas Partisipasi Anda!

 
Copyright © 2015-2024. Ordo Kapusin Sibolga - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger - Posting