Latar Belakang Keluarga
Andreas Kim Tae-gon (1821-1846) lahir pada tanggal 21
Agustus 1821 di Solmae, Naepo, Provinsi Chungchong. Kakek buyutnya yaitu Pius
Kim Jin-hun merupakan putra dari
keluarga bangsawan terkenal di Solmae, dan pernah menjadi seorang pejabat di
pemerintahan daerah. Sekitar tahun 1788, ketika Pius Kim Jin-hu berusia 50
tahun, putranya yang sudah Katolik, mendesak dia agar segera dibaptis. Setelah
dia dibaptis sekitar tahun 1788, dia mengundurkan diri dari pekerjaannya dan
dia mengabdikan dirinya untuk kehidupan imannya. Tak lama kemudian, dia
ditangkap ketika masa penganiayaan dan dijatuhi hukuman mati.Dia menghabiskan
waktu lebih dari sepuluh tahun di penjara, dan meninggal di sana pada tanggal
20 Februari 1814. Cucunya yaitu Ignasius Kim Chae-jun tinggal di Solmae bersama
dengan istrinya yaitu Ursula Ko yang melahirkan Kim Tae-gon. Ignasius Kim
Chae-jun menjadi martir pada tanggal 26 September 1839.
Kim Tae-gon yang lahir di keluarga martir, adalah seorang
yang sangat cerdas dan memiliki kepribadian yang kuat. Dia juga seorang yang
mendalami iman. Ketika dia masih muda, keluarganya pindah ke Kolbaemasil di
Provinsi Gyeonggi dalam rangka melarikan diri dari penganiayaan yang kejam.
Suatu hari, Pastor P. Maubant mengunjungi desanya pada tahun 1836 dan memilih
dia sebagai seorang seminaris. Pada saat itu, dia berusia 15 tahun. Bersama
dengan dua orang seminaris lainnya yaitu Fransiskus Xaverius Ch’ae Pang-je dan
Thomas Ch’ae Yang-op, mereka diajari oleh Pastor Maubant. Para seminaris
dikirim ke Makau dan mereka tiba di sana pada tanggal 7 Juni 1837, setelah enam
bulan perjalanan.
Seminaris Korea di Makau
Para misionaris dari Perkumpulan Misi Luar Negeri Paris
untuk bagian Pengadaan Timur Jauh di Makau menyambut seminaris muda pertama
dari Korea. Mereka belajar teologi, bahasa Latin, geografi, sejarah, bahasa
Perancis, dan mata pelajaran lainnya. Pastor Legregois menulis kepada Pastor
Maubant demikian:
“Fransikus Xaverius Ch’ae Pang-je seorang yang tenang namun
pemikir yang dalam dan juga seorang pria yang sopan. Thomas Ch’ae Yang-up
seorang yang lemah lembut, teliti, dan tulus hati. Andreas Kim Tae-gon seorang
yang aktif namun teliti, taat namun berani, dan memiliki keinginan yang kuat.
Dia seorang pria muda yang menjanjikan. Dia seorang yang penuh perasaan dan
penilaiannya baik, sehingga dia dapat memecahkan masalah dengan cepat dan
mudah. Walaupun mereka di sini hanya beberapa bulan, mereka dapat berkomunikasi
dengan bahasa Latin dan Perancis sederhana.”
Salah satu dari mereka, Ch’ae Pang-je meninggal di Makau
pada tahun 1823. Pada tahun 1842, Kim Tae-gon meninggalkan Makau sebagai
penerjemah bagi Laksamana Cecile di perahu perang Perancis. Dia secara kebetulan
hadir di penandatanganan Perjanjian Nanking. Setelah Laksamana Cecile kembali
ke Perancis, Kim Tae-gon berusaha untuk masuk ke negeranya melalui Uskup
Ferreol melalui perbatasan utara yang dijaga dengan ketat, namun usahanya kali
ini gagal.
Kim Tae-gon ditahbiskan menjadi diakon pada tahun 1844 di
Tiongkok. Sebagai seorang diakon, dia memutuskan untuk masuk ke Korea sendirian
melalui Uiju dan dia tiba di Seoul pada tanggal 15 Januari 1845. Untuk alasan
keamanan, dia hanya bertemu dengan bebarapa katekis terkemuka. Dia sakit
sekitar satu bulan dan ketika dia sudah sembuh, dia memutuskan untuk memimpin
para misionaris Perancis melalui jalan laut, dan dia meninggalkan Chemulpo
menuju Shanghai dengan perahu kayu kecil.
Imam Pertama Korea
Dengan kondisi iklim badai yang hebat, dia dengan selamat
mencapai Shanghai di mana dia ditahbiskan menjadi seorang imam oleh Uskup
Ferreol pada tanggal 17 Agustus 1845, sehingga dia menjadii imam pertama Korea
dalam sejarah enam puluh tahun Gereja Katolik di Korea. Pada akhir bulan
Agustus, dia kembali ke Korea dengan menggunakan perahu bersama dengan Uskup
Ferreol dan Pastor Daveluy. Mereka tiba pertama kali di Pulau Cheju karena
dihanyutkan oleh badai yang hebat. Mereka mencapai Kanggyong di Provinsi
Chungchong pada bulan Oktober tahun itu.
Karya Misioner dan Kemartiran Beliau
Pastor Kim Tae-gon menghabiskan waktunya untuk membantu
Uskup Ferreol dan pergi ke kampung halamannya di mana dia berpindah-pindah di
sekitar wilayah itu, terutama pada malam hari, dia mengajar dan membimbing
berbagai komunitas Katolik. Pada awal tahun 1846, Uskup memanggil dia ke Seoul.
Atas perintah Uskup, Pastor Kim Tae-gon berusaha untuk menghubungi seorang
nelayan dari Tiongkok di Pulau Yonp’yong dalam rangka memimpin Pastor Thomas
Ch’ae Yang-up dan para misionaris dari Perancis yang menunggu di Tiongkok untuk
memasuki negara itu (Korea). Namun dia ditangkap di pulau itu pada tanggal 5
Juni 1846, dan dia dikirimkan ke penjara pusat di Seoul. Raja dan beberapa
menterinya tidak ingin mengeksekusi dia karena kepribadiannya yang hebat dan
pengetahuannya yang luas dalam studi Barat dan bahasa asing. Namun demikian,
dia dijatuhi hukuman penggal pada tanggal 15 September 1846 sebagai biang
keladi dari sekolah ajaran sesat dan pengkhianat bagi negaranya.
Di penjara, Pastor Andreas Kim Tae-gon menulis surat
terakhirnya kepada umat beriman. Berikut ini adalah kutipan dari surat itu.
“Saudara-saudara yang terkasih! … Renungkanlah akan kenyataan
bahwa dari keabadian, Allah menciptakan segala sesuatu dilangit dan bumi,
dan membiarkan manusia yang Dia ciptakan sesuai dengan gambaran-Nya untuk
menguasai bumi.
Banyak hal yang memilukan dan menyedihkan di dunia. Namun
jika kita dilahirkan satu kali dalam dunia yang sulit dan memilukan dan tidak
tahu kepada Yang Mahakuasa yang menciptakan kita, hidup kita menjadi tidak
berharga namun sia-sia. … Teman-temanku! Perlu diingat bahwa Tuhan kita Yesus
telah datang ke dunia, menderita siksaan yang tak terhitung, dan mendirikan dan
membina Gereja-Nya melalui kesakitan dan penderitaan. Sejak Gereja Katolik
diperkenalkan ke Korea sekitar 50 atau 60 tahun yang lalu, orang-orang kita
telah menderita karena penganiayaan yang kejam dan banyak umat Katolik termasuk
saya sendiri telah dimasukkan ke dalam penjara. Betapa menyedihkannya bagi kami
untuk menderita sebagai satu tubuh dan berapa manusiawinya untuk sedih bai kami
untuk berpisah! Namun demikian, seperti yang Kitab Suci katakan bahwa Tuhan
kita bahkan menjaga rambut di kepala kita, apakah penganiayaan ini berdasarkan
penyelenggaraan-Nya? … Pada masa yang sulit ini, untuk menang, kita harus tetap
teguh dengan menggunakan seluruh kekuatan dan kemampuan kita seperti seorang
prajurit yang berani dengan senjata yang lengkap di medan perang. Setelah kita
mati, saya mohon untuk merawat keluarga korban. … Tidak lama lagi kami akan
keluar dari medan perang. Tetaplah teguh, dan marilah kita bertemu di Surga. ..
Tak lama lagi, Allah akan mengirimkan seorang pastor bagi kalian, yang lebih
baik daripada saya. Jadi, janganlah bersedih namun lakukanlah amal kasih yang
lebih besar dan melayani Tuhan, sehingga kita akan bertemu lagi di rumah kekal
Allah.” Pastor Andreas Kim Tae-gon.
Hukuman mati dilaksanakan pada hari berikutnya, yaitu
tanggal 16 September di Saenamt’o di pinggiran sungai Han di Seoul di mana
sebelumnya tiga orang misionaris dari Perancis menjadi martir. Saat itu, usia
dia berusia 26 tahun ketika dia menjadi martir. Beberapa saat sebelum
kematiannya, dia melakukan khotbah perpisahannya dengan berkata “Kehidupan
abadi saya dimulai dari sekarang,” dan dia dengan tenang dan berani menerima
mahkota kemuliaan kemartiran dari Tuhan. Peringatan Santo Andreas Kim Tae-gon
adalah tanggal 5 Juli (tanggal 5 Juli adalah tanggal beatifikasi, selanjutnya
menurut Kalender Martir Romawi diperingati pada tanggal 16 September, dan
bersama dengan seluruh martir dari Korea diperingati setiap tanggal 20
September).
Paulus Chong Ha-sang (1795-1839) lahir pada tahun 1795 di
Mahyon, Yanggun-gun di Provinsi Kyonggi, di dekat Seoul. Dia berasal dari
keluarga bangsawan tradisonal dari Namin. Ayahnya yaitu Agustinus Chong
Yak-jong, menjadi martir pada tanggal 8 April 1801, dan ibunya yaitu Cecilia Yu
So-sa menjadi martir pada tanggal 23 November 1839. Adik perempuannya, Elisabeth
Chong Chong-hye menjadi martir pada tahun yang sama. Kakaknya, Karolus Chong
Ch’ol-sang menjadi martir pada tahun 1801 bersama ayahnya. Keluarga ini adalah
keluarga martir. Chong Yak-yong adalah salah seorang sarjana terbaik di Korea
yang juga dikenal dengan nama ‘Ta-san’ dalam karya tulisnya, sedangkan Chong
Yak-jon adalah pamannya.
Setelah ayahnya menjadi martir pada tahun 1801, keluarganya
sangat menderita. Adapun ayahnya adalah yang telah menulis sebuah katekismus
yaitu “Doktrin Penting Agama Katolik.” Pada waktu itu Paulus Chong masih
berusia tujuh tahun. Seluruh kekayaannya disita, dan keluarga itu mengembara
dengan kondisi sangat miskin. Namun karena kesalehan ibunya, Cecilia Yu So-sa,
Paulus Chong memelihara imannya.
Pada usia 20 tahun, dia meninggalkan ibunya dan adik
perempuannya di rumah mereka dan dia pergi ke Seoul. Dia berusaha membangun
kembali Gereja Katolik yang berjuang tanpa seorang imam. Dia memutuskan untuk
berusaha membawa misionaris ke negaranya untuk menghidupkan kembali Gereja.
Paulus Chong pergi kepada Yustinus Cho Tong-som, seorang
sarjana besar, yang telah pergi ke Provinsi Hamgyong untuk belajar bahasa
Mandarin. Walaupun Paulus Chong adalah seorang bangsawan, dia merendahkan diri
untuk menjadi seorang hamba dari seorang penerjemah yang sering ke Beijing.
Pada tahun 1816, dia pergi ke Beijing dan miminta Uskup
Beijing untuk mengirimkan para misionaris ke Korea. Di Beijing, dia dibaptis
dan menerima Komuni Pertama.
Pada kunjungannya ke Beijing pada tahun 1817, Paulus Chong
memperoleh sebuah janji dari Uskup Beijing bahwa dia akan mengirimkan seorang
misionaris ke Korea. Namun misionaris itu meninggal sebelum dia dapat memasuki
Korea. Pada tahun berikutnya, Paulus mencari bantuan untuk usahanya itu dari
orang-orang yang baru dibaptis yaitu Agustinus Yu Chin-gil, Karolus Cho Shin-ch’ol dan juga pamannya yang
berada di pengasingan di Kang-jin, yaitu Chong Yak-yong. Sehingga, usahanya
untuk membawa misionaris ke Korea tetap berlanjut.
Paulus dan kelompoknya mengirimkan sepucuk surat kepada Paus
di Roma, untuk menarik perhatian beliau untuk mengirimkan para misionaris ke
Korea. Surat itu ditulis pada tahun 1825, menyusul surat yang ditulis Yohanes
Kwon pada tahun 1811,menggerakan hati Roma untuk membuat keputusan. Sebelumnya
pada tahun 1792, Uskup de Gouvea dari Beijing pertama kali melaporkan kepada
Paus Pius VI mengenai keberadaan Gereja di Korea. Tahta Suci terkejut melihat
bahwa Gereja muncul di sana, bukan karena usaha misionaris asing tetapi melalui
usaha para sarjana setempat.
Paulus Chong dan kawan-kawannya terus menerus menulis surat
kepada Uskup Beijing untuk meminta misionaris. Suara mereka yang tak
henti-hentinya, akhirnya didengar oleh Roma. Pada bulan September 1827,
Kardinal Bartolomeo Alberto Capellari dari Kongregasi bagi Penyebaran Iman / Sacra
Congregatio de Propaganda Fide (yang sekarang menjadi Kongregasi bagi
Penginjilan / Cogregatio pro Gentium Evangelizatione) menulis surat
kepada Pastor Langlois yang adalah rektor dari seminari Perkumpulan Misi Luar
Negeri Paris (Paris Foreign Missions Society / Société des Missions
étrangères de Paris disingkat menjadi M.E.P.), beliau meminta apakah dia
dapat mempercayakan perkumpulan itu untuk misi ke Korea sesegera mungkin.
Pada bulan Desember 1830, Kardinal Capellari yang memulai
pergerakan Perkumpulan Misi Luar Negeri Paris ke Korea, dia menjadi Paus baru
dengan nama Paus Gregorius XVI. Pada tanggal 9 September 1831, beliau
mengeluarkan dua dekrit yaitu: Dekrit pertama mengumumkan bahwa Korea sebagai
sebuah vikariat yang terpisah dari Beijing, dan dekrit yang kedua menunjuk
Uskup Barthélemy Bruguière sebagai uskup perdana Korea. Pada saat yang sama
pula, Perkumpulan Misi Luar Negeri Paris diminta untuk bertanggung jawab atas
Gereja di Korea.
Lebih dari empat puluh tahun sejak sarjana setempat
mendirikan Gereja dan tiga puluh tiga tahun sejak imam dari Tiongkok, Pastor
Chu Mun-mo memasuki Korea. Pastor Chu telah melayani umat Katolik secara
rahasia selama lima tahun sampai dia ditangkap dan menjadi martir. Sejak saat
itu, Gereja di Korea bagaikan kawanan domba tanpa seorang gembala, yang
merindukan imam untuk dikirim bagi mereka.
Paulus Chong berkelana ke Beijing sembilan kali dan tiga
kali ke perbatasan Korea-Manchuria. Agustinus Yu Chin-gil berkali-kali
bepergian ke Beijing. Usaha menghidupkan kembali Gereja di Korea terjadi karena
usaha dan pengabdian mereka yang begitu besar dan tidak mementingkan diri
sendiri. Kapanpun ada misionaris datang ke Korea, Paulus Chong menemui mereka
di perbatasan di Uiju. Dia membawa Uskup Laurent Imbert ke Korea, dan beliau
tinggal di rumahnya dan melayani beliau selama masa pelayanannya.
Uskup Imbert sangat menghormati kesetiaan Paulus Chong, dan
beliau memutuskan untuk menjadikan dia seorang imam. Beliau mengajarkan dia
bahasa Latin dan teologi. Namun demikian, sebuah penganiayaan terjadi, dan
uskup harus melarikan diri ke Suwon.
Selama menunggu kemartiran, Paulus Chong menulis Sangje-sangso
(Surat kepada Perdana Menteri) untuk diserahkan kepada petugas pemerintahan
dalam kasus penangkapannya karena dia telah mempertahankan iman Katolik. Surat
ini menjadi buku apologetika pertama di Korea. Bahkan musuh Gereja pun terkesan
dengan isinya begitu jelas.
Akhirnya Paulus Chong ditangkap pada tahun 1839 bersama
dengan ibu dan adik perempuannya. Dia dan Agustinus Yu Chin-gil dianggap
sebagai pemimpin Gereja yang membawa misionaris asing masuk ke Korea. Oleh
karena itu, siksaan yang mereka terima jauh lebih berat daripada umat Katolik
lainnya. Paulus Chong menahan seluruh siksaan kejam itu, dan akhirnya dia dipenggal
di sebelah luar Pintu Gerbang Kecil Barat di Seoul pada tanggal 22 September
1839 pada usia 45 tahun.
Paulus Chong Ha-sang diakui sebagai figur penting Gereja.
Dia telah memulihkan Gereja, yang dalam bahaya kemusnahan karena panganiayaan
yang kejam, dan pendirian Vikariat Apostolik Korea dapat terjadi.
Posting Komentar
Terima kasih atas Partisipasi Anda!