Sharing pengalaman
![]() |
Sdr. Yulius Simatupang |
Pengantar
Setelah lebih seminggu saya meninggalkan Capuchin College, St. Francis, di Washington, muncul keinginan
dalam hati untuk berbagi kisah dan kesan di ruang baca persaudaraan kita ini.
Tak lebih dari sekedar mengungkapkan sebuah pengalaman hidup. Ini didorong oleh rasa rindu
kepada para saudara di sana, di Kollegio Kapusin St. Fransiskus. Mereka saudara-saudara yang baik! Jadi tulisan ini lebih sebagai
ceritera pengalaman tinggal bersama mereka. Bila terselip, tersurat atau
tersirat sebuah pesan, itu hanyalah semacam “bumbu”, yang bila dipakai sesuai
porsi, akan menambah nikmat (rasa). Coretan ini singkat. Boleh jadi, kisah ini kurang
berbicara kepada saudara pembaca. Namun bagiku, ini sebuah kisah yang masih
sangat hidup. Saya akan mengawalinya dengan kisah singkat keberadaan saya di
sana.
Kisah singkat: sekitar duabelas minggu di
kollegio St. Francis
Hari itu 9 Juli 2015, ketika saya dan seorang
saudara brasil menginjakkan kaki di negeri bergelar Paman Sam itu. Bob dan Tage,
dua orang saudara yang sangat baik, menjemput kami di bandara, Dulles
International Airport. Saat itu, tidak sulit bagi kami untuk saling mengenal di
tengah manusia yang ‘menyemut’, karena seorang dari mereka mengenakan jubah
kapusin, yang sangat mudah dikenali di antara pakaian-pakaian orang banyak. Ketika
bertemu, kami langsung saling menyapa.
Mereka berdua menyambut kedatangan kami dengan khas mereka, yakni sebuah pelukan serta beberapa tepukan kecil di punggung saya, seolah kami sudah saling kenal sebelumnya. Dengan cepat kami bergegas ke parkiran, kemudian melaju menuju kollegio di Washington. Selama dalam perjalanan yang kurang lebih 50 menit itu, kami asyik berbincang-bincang. Saya keluarkan semua kemampuanku ber-Bahasa Inggris yang sungguh belum layak. Tak ada pilihan lain, “atau saya atau mereka yang tidak mengerti”, pikirku dalam hati. Namun, kiranya kami saling mengerti, setidaknya kami saling mengerti keadaan bahwa kami sedang mengalami kesulitan untuk mengerti kalimat-kalimat satu sama lain. Begitulah. Bagi saya, jelas terasa bahwa kami adalah saudara seordo, yang berziarah bersama dalam semangat yang sama. Selekas di kollegio, kami dihantar ke kamar kami masing-masing. Kemudian, bersama Sdr. Bob kami berkeliling untuk mengenal lebih banyak tentang rumah yang akan kami tinggali selama duabelas minggu itu. Singkat ceritera, kami disambut menjadi seorang saudara di antara mereka, bukan seorang tamu. Begitulah yang terjadi selanjutnya! Kami ikut serta dalam berbagai ragam acara mereka sebagaimana tertera dalam jadwal harian persaudaraan dan juga dalam perayaan-perayaan persaudaraan propinsi, seperti perayaan kaul sementara, kaul kekal, dan tahbisan. Sdr. Bob, yang melayani persaudaraan sebagai sekretaris propinsi, merancang juga sejumlah kunjungan di akhir pekan ke berbagai tempat indah, baik di kota Washington sendiri maupun ke kota lain. Ini sangat menyenangkan! Dua bulan tiga minggu berlalu cepat, hingga kami akhirnya pamit diri pada 3 Oktober, dan kembali ke kota abadi, Roma.
Mereka berdua menyambut kedatangan kami dengan khas mereka, yakni sebuah pelukan serta beberapa tepukan kecil di punggung saya, seolah kami sudah saling kenal sebelumnya. Dengan cepat kami bergegas ke parkiran, kemudian melaju menuju kollegio di Washington. Selama dalam perjalanan yang kurang lebih 50 menit itu, kami asyik berbincang-bincang. Saya keluarkan semua kemampuanku ber-Bahasa Inggris yang sungguh belum layak. Tak ada pilihan lain, “atau saya atau mereka yang tidak mengerti”, pikirku dalam hati. Namun, kiranya kami saling mengerti, setidaknya kami saling mengerti keadaan bahwa kami sedang mengalami kesulitan untuk mengerti kalimat-kalimat satu sama lain. Begitulah. Bagi saya, jelas terasa bahwa kami adalah saudara seordo, yang berziarah bersama dalam semangat yang sama. Selekas di kollegio, kami dihantar ke kamar kami masing-masing. Kemudian, bersama Sdr. Bob kami berkeliling untuk mengenal lebih banyak tentang rumah yang akan kami tinggali selama duabelas minggu itu. Singkat ceritera, kami disambut menjadi seorang saudara di antara mereka, bukan seorang tamu. Begitulah yang terjadi selanjutnya! Kami ikut serta dalam berbagai ragam acara mereka sebagaimana tertera dalam jadwal harian persaudaraan dan juga dalam perayaan-perayaan persaudaraan propinsi, seperti perayaan kaul sementara, kaul kekal, dan tahbisan. Sdr. Bob, yang melayani persaudaraan sebagai sekretaris propinsi, merancang juga sejumlah kunjungan di akhir pekan ke berbagai tempat indah, baik di kota Washington sendiri maupun ke kota lain. Ini sangat menyenangkan! Dua bulan tiga minggu berlalu cepat, hingga kami akhirnya pamit diri pada 3 Oktober, dan kembali ke kota abadi, Roma.
Melihat
lebih dekat
Tujuan utama yang mendorong saya (kami) pergi ke Washington ialah untuk sebuah kursus, belajar Bahasa Ingggris di LADO School, sementara kami sedang dalam liburan musim panas perkuliahan di Roma. Maksud belajar di masa libur. Maksud utama itu berjalan dengan baik sebagaimana direncanakan. Selama sembilan minggu kami masuk les dari hari Senin hingga Jumat. Begitulah, sekolah di masa libur! Pun juga menyenangkan! Namun lebih lagi, tinggal di komunitas kapusin di sana, Capuchin College St. Francis, memberi kesan tersendiri bagi saya. Bagiku, komunitas itu indah dan menyenangkan. Berikut saya mencoba melukiskannya dalam beberapa poin saja.
Pertama, komunitas besar berjalan lancar. Mengagumkan
bahwa anggota komunitas ini berasal dari berbagai latar belakang, khususnya
dari berbagai negara (dari Amerika Serikat sendiri, beberapa negara dari Amerika
Latin, Afrika, Brazil, Cina, Korea, Srilangka). Ada sebanyak 33 orang saudara:
yang berkaul sementara dan kekal, muda dan tua (bahkan ada lansia), studen dan
dosen, ditambah, ditambah 6 orang saudara (studen) dari luar propinsi. Para
saudara itu hidup bersama sebagai sebuah komunitas persaudaraan kapusin. Sungguh
sebuah komunitas yang besar! Keragaman latar belakang dan situasi demikian itu
mengagumkan. Itu mengagumkan, tidak saja karena jumlah yang besar, tapi lebih karena
ritme hidup komunitas ini berjalan mulus, kreatif dan menyenangkan. Kesepakatan
bersama dihargai dengan baik. Kesannya para saudara itu berbuat dan bersikap
lebih dewasa dan bertanggungjawab. Masing-masing berusaha menjadi pemain aktif dalam ritme hidup
berkomunitas.
Kedua, komunitas para student (mayoritas) yang berdoa.
Mayoritas saudara sibuk dengan dunia akademik, baik sebagai mahasiswa (23
orang) pun sebagai dosen (boleh dibayangkan seperti dalam komunitas kita di Alverna
Sinaksak atau di Jalan Medan). Para saudara (student) memiliki banyak tugas kuliah yang kadang kala atau kerap
membuat muka tampak kecapaian. Meski demikian, para
saudara di komunitas ini tetap berkomitmen dalam hidup doa. Saya sebut saja
dalam hal doa bersama. Misa dan Ibadat Harian, meditasi serta adorasi setiap
hari merupakan saat doa bersama. Meditasi sejam dalam sehari (himbauan minimum
konstitusi kapusin) dijadwalkan di pagi hari selama setengah jam, dan setengah
jam lagi di sore hari. Meditasi sore dilangsungkan bersama adorasi. Ibadat sore
ditutup dengan berkat Sakramen Mahakudus. Mengesankan bagi saya karena para
saudara tampak kommit dengan jadwal itu. Selama di sana, serasa saya kembali mengalami
masa novisiat.
Perayaan-perayaan
itu juga dibuat kreatif. Misalnya, dalam setiap Perayaan Ekaristi harian selalu
dibarengi renungan singkat. Saya ingat pada Tahun Orientasi Pastoral saya, Sdr.
Norbert Gultom selalu selalu menyuguhkan renungan di setiap misa. Setiap hari
ada renungan singkat! Saya yakin renungan itu memuat pesan mendalam walau
singkat. Di meja makan sering saya tanyakan kepada saudara lain apa kiranya isi
renungan hari itu. Komunitas juga memberi kesempatan kepada saudara muda untuk
membagikan permenungannya atas Sabda Allah dan (atau) atas teks konstitusi
kapusin. Itu dilakukan dua kali dalam seminggu, ditempatkan setelah bacaan singkat dalam Vesper, atau kadang sebelum berkat
penutup dalam Perayaan Ekaristi harian. Para saudara muda, yang sedang duduk di
bangku kuliah, tampak lebih bersemangat dalam membagi pemikiran dan
permenungannya. Kemudian, Khusus pada hari Kamis, Misa dilangsungkan di sore
hari, dimana para awam bisa ikut bergabung. Pada kesempatan ini, Misa diiringi
musik lebih meriah. Kreatif dan indah!
Ketiga, persaudaraan yang peduli. Kepedulian
bisa muncul dalam banyak cara, seperti melibatkan diri (aktif) dalam
persaudaraan, tanggap situasi, komunikasi yang konstruktif, ringan tangan, dll.
Banyak hal menarik,
besar atau kecil, saya saksikan di komunitas ini yang mengungkapkan “kepedulian”
para saudara kepada persaudaraan. Para saudara tidak segan-segan memberikan
tenaga dan waktu, dan juga bakat atau kemampuan. Misalnya saja, saya kerap
menyaksikan saudara, termasuk guardian sendiri, atau juga saudara yang tua,
menyediakan sarapan pagi, memasak kue, atau jenis masakan lain. Kemudian dengan
wajah berseri berkata: “saudara, silahkan menikmati masakan saya”. Para saudara
lain mengapresiasinya. Contoh lain, adalah biasa bahwa para saudara menawarkan
diri untuk mengisikan air minum ke gelas teman semeja makannya, atau mengambilkan
anggur. Pun juga setelah makan, mereka akan mengumpulkan piring-piring itu
terlebih dahulu. Para saudara juga menyapa dengan gamblang. Sangat biasa
pertanyaan berikut: “bagaimana harimu telah berjalan?”. Itu sebuah sapaan
sederhana yang mengundang percakapan lanjut tentang “saya” hari itu, (bukan
terutama tentang “yang-lain” (orang lain). Saling menyapa kabar dengan bahasa
sederhana, serta berbicara tentang hal-hal yang membangun, menghargai perbuatan
baik saudara (kecil atau besar), semua itu terlihat menyenangkan dan menguatkan
komunitas itu. Saya cukupkan di tiga poin ini.
Belajar dari kesan-kesan.
Di saat-saat
renungan harian saya selama di sana, terkadang saya berpikir-pikir tentang apa
yang saya sedang lihat dalam komunitas itu. Adalah pengalaman menarik bagiku
pernah mengalami hidup di sebuah komunitas sebesar itu. Ada berbagai hal indah yang
mengesankan. Saya terkesan dengan penghargaan dan penerimaan sesama saudara
sekomunitas, terkesan dengan komitmen para saudara itu terhadap komunitasnya, terhadap
kesepakatan bersama, terhadap kesetiaan mengenakan jubah (walau saat itu musim
panas), dan seterusnya.
Mungkin sebagian besar orang berpendapat bahwa
hidup dalam perbedaan itu indah. Saya juga setuju dengan pernyataan itu. Dalam
perbedaan, kekayaan ditemukan. Masing-masing memiliki kesempatan untuk bertemu
dan belajar satu dari yang lainnya, saling mengayakan. Akan tetapi, dalam
kenyataan bisa tidak selalu seindah pendapat tersebut. Perbedaan bisa jadi juga
menghabiskan tenaga dan usaha yang tidak kecil, khususnya bila hidup bersama
dalam sebuah komunitas dengan jumlah yang relatif besar. Saya juga pernah menyangka
bahwa sebuah komunitas besar akan sulit diurus, akan ada banyak soal, ada anonimitas,
dan seterusnya, yang menjadikan komunitas itu bergerak lambat. Sebaliknya,
komunitas kecil bisa diurus lebih sederhana dan lancar. Akan tetapi, sungguhkah
tingkat kesulitan dan kemudahan mengurus sebuah komunitas tergantung dari
jumlah dan ragam anggotanya? Dari apa yang saya alami disana, kiranya kesan itu
tidak dibenarkan muthlak-muthlakan. Komunitas besar bisa berjalan dengan ringan
dan mulus. Sebaliknya komunitas yang kecil sekalipun bisa berjalan
terseok-seok. Komitmen untuk hidup bersama sebagai saudara dari setiap anggota
komunitas kiranya sebuah poin yang menentukan.
Komitmen untuk hidup bersama itu mewujud dalam
berbagai tindakan nyata. Misalnya, para saudara berusaha taat setia pada
ketetapan bersama. Apa yang sudah ditetapkan bersama dijunjung tinggi. Masing-masing
mengupayakan yang terbaik dari dirinya kepada komunitas, belajar terus untuk
tidak menjadi sandungan bagi yang lain. Masing-masing melibatkan diri dalam
dinamika hidup bersama. Saya tuliskan satu contoh menarik lain dari komunitas St.Francis
itu. Berbeda dari hari-hari lain,
hari Minggu tidak dibuat daftar kelompok penyuci piring setelah makan malam. Menariknya,
justru jumlah saudara yang spontan melibatkan diri untuk pekerjaan itu lebih
banyak dari daftar harian biasa. Komitmen itu muncul dari kesadaran akan diri
sebagai saudara bagi yang lain dan belajar taat pada kesadaran itu.
Selanjutnya, penghargaan dan penerimaan sesama saudara
memiliki harga yang mahal. Setiap manusia pasti senang dihargai dan diakui. Itu
alamiah. Diakui atau tidak, sisi itu akan memengaruhi dinamika tindakan setiap
pribadi. Dalam arti itu, sekecil apapun perbuatan baik seseorang (saudara)
tetaplah merupakan sebuah kegembiraan komunitasnya, dan pantas diapresiasi,
setidaknya lewat sebuah kata “terimakasih”. Kata “terimakasih” itu kiranya juga
akan memperbesar “kasih” seseorang itu. Sebaliknya, tanpa sebuah apresiasi,
sangat mungkin akan mengerdilkan, bahkan bisa “mematikan” kemauan seseorang
untuk menambah kasihnya. Kadang bisa muncul dalam pikiran: “baru itu”, atau
dalam Bahasa Batak: “dok do i”, lalu menunda untuk berkata “terimakasih” kepada
seseorang yang telah melakukan sesuatu yang baik. Walaupun semestinya seorang
saudara berbuat baik bukan untuk mengejar kata pujian, namun mensyukuri
perbuatan baiknya akan “menyuburkan” pribadinya, yang ujung-ujungnya akan
menyuburkan komunitas itu sendiri. Sebaliknya, bila yang kecil itu bahkan
menjadi pudar, kapankah sesuatu yang luarbiasa akan terjadi? Mungkin penerimaan
dan penghargaan seperti itu mendapat porsi yang cukup dalam dinamika hidup komunitas
kapusin St. Fransiskus di Washington. Saya tentu tidak hendak mengatakan bahwa
hidup para saudara di kollegio itu telah sungguh luarbiasa. Walaupun, tetap dapat
saya katakan itu luarbiasa, khususnya karena mereka hidup di sebuah negara yang
sangat modern dengan segala kelebihannya (juga kekurangannya). Terakhir, saya
juga kagum pada kesetiaan para saudara (hampir semua) mengenakan jubah kapusin,
baik ke sekitar altar pun ke pasar.
Penutup
Sharing di atas hanyalah berdasar pengalaman
yang kasat mata. Di dalam hati siapa yang tahu. Hanya Tuhan mampu menyelami
hingga ke lubuk hati terdalam setiap orang. Namun demikian, dalam banyak hal
komunitas ini telah membantu saya dalam belajar hidup sebagai seorang kapusin,
khususnya dalam beberapa poin yang sudah saya sebut di atas, yakni komunitas
besar yang berjalan mulus, komunitas yang sibuk namun tetap berdoa, dan komunitas
yang peduli. Bagiku, poin-poin itu sudah sesuatu yang besar karena menunjukkan
isi dari kekapusinan itu sendiri, persaudaraan dan doa, dalam konteks
persaudaraan mereka (kollegio). Saya berterimakasih kepada Tuhan karena saya
pernah bertemu dengan para saudara itu, sebagaimana juga saya berterimakasih
kepada Tuhan karena saya adalah seorang saudara dari antara para saudara
kapusin seluruh dunia, dan kustode Sibolga pada khususnya. Saya hanyalah
seorang yang sedang belajar. Pace e Bene. (Sdr. Yulius)
Posting Komentar
Terima kasih atas Partisipasi Anda!