Untuk mencapai kebahagiaan itu, setiap orang berhak menentukan pilihannya sendiri. Ada orang yang memilih hidup berkeluarga (menikah), ada juga orang yang memilih hidup sendiri (selibat). Baik hidup berkeluarga maupun hidup selibat adalah sama-sama panggilan dari Tuhan. Tetapi secara khusus, hidup selibat ialah panggilan dari Allah untuk menjadi murid dan pelayan-nya. Mereka membaktikan seluruh hidupnya bagi Allah, sesuai dengan nasihat Injil: “Kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan”. Jadi mereka tidak lagi bergantung kepada keluarganya, dan tinggal dalam suatu komunitas atau biara. Di sana mereka dibentuk untuk doa, pelayan Injil, dan pelayan Kristiani.
Dalam Perjanjian Lama, hidup selibat tidak dihargai, tetapi gagasan untuk melepaskan hidup perkawinan demi kerajaan Allah adalah jelas sebagai nilai Injil. Yesus sendiri menjadi contoh utama untuk hidup sendiri yang dibaktikan itu, dan Ia mengajarkan bahwa orang-orang lain dipanggil untuk melepaskan perkawinan “demi kerajaan surga” (Matius 19:12). Ungkapan demi kerajaan surga merupakan kunci. Hidup sendiri dapat dipilih berdasarkan berbagai alasan demi keenakan sendiri. Orang dapat memilih hidup sendiri karena merasa tidak mampu membahagiakan keluarga, atau tidak bertanggung jawab atas hidup perkawinan.
Saya pernah ditanya oleh seorang ibu yang bukan umat Katolik tentang hidup selibat, isi dari pertanyaan tersebut ialah: “Mengapa para biarawan-biarawati (para religius) Katolik tidak menikah, apakah karena mereka tidak bisa membahagiakan pasangan mereka (mandul)?” Lalu saya menjawab: “Para biarawan-biarawati (religius) memilih untuk tidak menikah bukan karena mereka mandul atau tidak bisa membahagiakan pasangan. Mereka memilih hidup seperti itu karena ingin menyerahkan seluruh hidupnya secara murni, demi kerajaan surga.
Memilih hidup selibat demi kerajaan surga berarti bahwa hidup sendiri tanpa nikah menjadi ungkapan hidup yang diserahkan demi cinta kepada Allah, dan secara khusus membagi kasih itu kepada orang lain. Paulus mencerminkan pemahaman itu pada waktu ia membicarakan perkawinan dan hidup sendiri tanpa nikah sebagai karisma, kurnia roh demi pembangunan Gereja (1 Korintus 7:7). Satu hal yang penting ialah bahwa hidup selibat merupakan perkara disiplin Gereja, bukan ajaran, sebagaimana diakui oleh Konsili Trente (DS 1809). (Fr. Vinsensius Simbolon OFM Cap)
Posting Komentar
Terima kasih atas Partisipasi Anda!