Akhir-akhir ini, iklim sudah berubah, demikian kata Murdiyarso (2003). Mengapa ada perubahan iklim? Ini merupakan pertanyaan yang seharusnya timbul dalam pikiran kita. Terjadinya perubahan iklim tentu ada hubungannya dengan kegiatan manusia sehari-hari. Namun, apakah manusia pernah berpikir sejenak tentang kegiatan yang dia lakukan itu terkait dengan perubahan iklim tersebut? Pertanyaan selanjutnya adalah pedulikah aku terhadap lingkungan hidupku? Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan suatu pertanyaan reflektif yang menghantar kita untuk sejenak merenungkan kehidupan sekitar kita. Lingkungan hidup adalah “konteks” di mana kita hidup dan bertempat tinggal. Apabila alam sekitar kita terganggu, tentulah manusia juga ikut serta mengalami gangguan.
Memang, semuanya ini tidak serta-merta karena unsur kesengajaan umat manusia. Hal ini bisa saja terjadi karena kurangnya pemahaman tentang ekologi. Hal lain juga terjadi, yaitu karena kesalahpaman manusia terkait dengan isi Kitab Suci tentang penciptaan, Kejadian bab 1, tepatnya Kej. 1:28. Di sana terdapat kata “menaklukkan” dan “menguasai.” Hal inilah yang akan penulis coba paparkan dalam tulisan ini. Tulisan ini mengajak kita semua untuk merenungkan dan merefleksikan sejenak keadaan serta status lingkungan hidup kita, dan aksi nyata apa yang harus dibuat supaya alam ini tetap seimbang dalam kondisinya. Rasanya perlulah pertobatan moral bagi manusia.
2. Allah Menciptakan Ciptaan yang Baik
Dari kisah penciptaan dalam Kejadian bab 1, Allah memberikan penilaian terhadap ciptaannya. “Allah melihat bahwa semuanya itu baik” (Kej. 1:10,12,18,21-25), demikianlah penilaiannya. Prance (1996) juga berpendapat bahwa “ ini bukan opini atau respon subjektif belaka, namun sungguh dari observasi atas ciptaan tersebut. Melalui ayat-ayat di atas, ada beberapa fakta yang dapat kita pelajari. Dari penilaian Allah tersebut tampak bahwa ciptaan tersebut mencerminkan penciptanya. Memang, dunia saat ini sudah rusak karena perbuatan manusia, namun bumi tetap menceritakan kemuliaan Allah sebagai penciptanya (Mzr. 19:1-2). Maksud dari kata-kata Dari Kitab Mazmur ini sungguh mudah untuk kita pahami. Kalau kita memandang alam wisata, fenomena alam dan sebagainya, kita akan merasa kagum, nikmat dan timbul juga perasaan takut. Kita pasti sejenak akan berpikir, siapakah penciptanya? Pertanyaan itu muncul tentu karena segala yang kita lihat itu baik adanya. Semua ada dan berada dalam keteraturan yang seimbang dan mantap.
2.1. Ciptaan yang Beranekaragam dan Saling Bergantung
Manusia merupakan makhluk yang berbudaya. Budaya itu salah satunya tampak dari hubungannya dengan pengolahan alam. Manusia mengolah alam supaya semakin sesuai dengan kebutuhannya. Sebagai makhluk biologis, manusia merupakan bagian dari alam dan hanya dapat hidup dalam kesatuan dengan alam ini. Semua yang dibutuhkan manusia tersedia dalam alam semesta ini. Suku-suku yang bekerja sebagai “pengumpul” memperoleh makanan langsung dari dunia alam. Manusia merupakan makhluk yang pekerja. Refleksi kerja sebagai pengolahan alam menyadarkan kita bahwa manusia adalah makhluk yang tidak bisa terlepas dari lingkungannya, yakni alam sendiri.
Allah menciptakan ciptaan-Nya penuh dengan keanekaragaman. Allah juga menciptakan mereka supaya satu dengan yang lainnya saling membutuhkan dan ada ketergantungan. Dalam kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian, di sana sungguh jelas dituliskan bahwa Allah menciptakan beranekaragam makhluk hidup. Secara biologis, ciptaan itu dibagi menjadi tiga bagian, yakni manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan. Selain itu, kesalingtergantungan juga tampak di sana (Kej. 1:29,30). Di sana dilukiskan bagaimana Allah memberikan segalanya kepada manusia untuk dikuasai. Dari ayat ini juga mengandung arti bahwa manusia juga bergantung pada dunia di mana ia bertempat tinggal.
2.2. Manusia mengambil Bagian dalam Penciptaan
Setelah Allah memberikan seluruh ciptaan itu kepada Adam, kemudian Allah juga menyuruhnya supaya dinamai sesuai dengan sifatnya masing-masing. Setelah itu, Adam pun memberikan nama kepada masing-masing ciptaan tersebut. Secara tidak langsung, Adam mengatur dan mengelompokkan “dunia” di mana dia hidup. Hal itu tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan para pakar ilmu pengetahuan saat ini. Adam juga menerima realitas itu bahwa lingkungan hidup tempat binatang-binatang itu hidup diberikan Allah kepadanya. Karena banyaknya ciptaan, maka Adam menamainya agar kita gampang mengenalnya. Adam pun sejenak merefleksikan bahwa Allah merupakan yang berkuasa atas seluruh ciptaan yang ada. Kemudian, dalam peradaban awal, Adam diberikan Allah otoritas atas ciptaan yang lainnya dan bertanggungjawab untuk mengaturnya dan memberi nama sesuai dengan perintah Allah. Dengan keterangan ini, rasanya sudah jelas bagi kita bahwa manusia juga turut ambil bagian dalam mencipta. Wewenang untuk mencipta ini langsung dari perintah Allah kepada Adam. Allah membuat manusia pelaku yang selalu aktif dan dinamis, bukan pasif.
2.2.1 Manusia Sebagai Pemelihara Alam
Donna, seorang gadis yang manis warga Filipina yang pada waktu itu masih duduk di kelas V SD, menulis sebuah artikel yang berjudul Cry of the Tress dala koran Inquirer. Dalam artikel itu, ia mempersonifikasikan pohon-pohon besar yang subur dan segar yang terdapat di sebuah lahan milik keluarganya. Pohon-pohon itu dengan tetesan air mata menyampaikan keluh kesahnya kepadanya: “ Donna, kami adalah pohon, bukan manusia.” Kami tidak dapat lari. Kami juga tidak dapat menebangi pohon-pohon lain. Kami tidak dapat menghentikan manusia yang merusak alam. Namun, Donna, kami memiliki perasaan. Kami merasa sakit apabila pohon-pohon lain dipotong, namun kami tidak kuasa menolongnya. Mendengar segala keluh-kesah dari pohon-pohon itu, Donna pun ikut menangis dan memeluk pohon itu seraya berjanji: “Wahai pohon-pohon, sobatku yang kucintai, aku akan melindungi dan melestarikan kalian dan tidak akan membiarkan siapapun memusnahkan bahkan menyakiti kamu.
Dalam Kitab Suci dituliskan bahwa “Tuhanlah yang empunya bumi” (Mzm. 24:1), “dan bumi itu telah diberikannya kepada anak-anak manusia” (Mzm. 115:16). Apa maksud dari ayat-ayat Kitab Suci di atas? John Stott (1990) mengatakan bahwa kepemilikan manusia atas bumi bersifat kontrak dan bukan kepemilikan secara bebas, apalagi mutlak. Manusia hanya menyewa atau mengelolah. Tuhanlah yang menjadi tuan atas tanah. John Stott lebih lanjut mengutarakan bahwa Allah memberikan manusia kuasa atas bumi. Sifat kekuasaan itu adalah kooperatif (kerja sama). Kekuasaan itu juga bersifat delegasi, kekuasaan yang bertanggung-jawab.
2.2.1.1. Makna Menaklukkan Alam
Untuk memahami makna “menaklukkan bumi”, kita harus menjauhkan dan menghilangkan berbagai tafsiran yang mungkin bukan ditujukan kepada Adam. Misalnya, Allah menyuruh Adam menaklukkan bumi bukan dengan membunuh makhluk hidup secara bebas, seperti pemahaman yang dipraktikkan sekarang ini. Allah juga tidak menyuruh dan memerintahkan Adam menaklukkan bumi dengan cara mengeksploitasi tanah dengan keserakahan. Teknologi modern sekarang sudah menjadi salah arahnya. Alat yang demikian diciptakan tentulah supaya manusia lebih gampang untuk memenuhi kebutuhannya dan mengonrol lingkungan hidupnya. Namun, realitas yang terjadi sekarang ini sungguh menyedihkan. Alat modern itu sudah tergunakan untuk merusak alam. Hal ini terjadi karena manusia memiliki berbagai penafsiran yang salah tentang isi Kitab Suci, khususnya dalam Kitab Kejadian (penciptaan).
Dalam buku Remember Creation, Hoezee (1998) menjelaskan bahwa kata “menaklukkan” pada dasarnya terkait dengan kodisi alam yang keras, sehingga kerja keras yang sifatnya menggunakan fisik harus sungguh-sungguh benar dilakukan demi suatu hasil yang memuaskan. Dengan demikian, kata “menaklukkan” harus kita pahami seturut konteks ini. Bagi para manusia modern, sudah banyak yang keluar dari konteks tersebut. hal itu tampak dari peristiwa alam yang terjadi sekarang ini. Manusia jatuh pada krisis ekologis.
Jadi, tindakan penaklukan pertama yang dilakukan Adam dengan memberi nama kepada masing-masing binatang di taman Eden sesuai dengan ciri dan sifatnya. Di sini juga tampak ada kerja sama manusia dengan Allah sendiri dalam melanjutkan karya penciptaan. Allah menciptakan bukan karena kebutuhan, tetapi karena kasih. Di mana dengan kasih-Nya Allah menciptakan dan melibatkan manusia dalam pekerjaan penciptaan. Pikiran Allah inilah yang dimaksud dengan “menaklukkan”.
2.2.1.2. Berkuasa atas Ciptaan Lain
Sekarang ini banyak orang ingin jadi penguasa. Sebab, dengan menjadi penguasa, orang bebas melakukan apa saja yang diinginkannya. Itu sebabnya, pada zaman ini sulit menemukan penguasa yang baik. Namun, sebelum kita memaparkan bagaimana pemahaman negatif tentang arti “penguasa”, lebih dahulu kita memahami terlebih dahulu apa sebenarnya maksud Tuhan dengan kata “penguasa” supaya kita terhindar dari asumsi-asumsi yang negatif.
Perlu kita ketahui bahwa Allah merupakan penguasa dan Dia sendiri tidak malu menyatakan diri-Nya kepada kita dalam pengertian ini. Dia membagikan pikiran dan hati-Nya sebagai subjek dari penguasa dengan manusia. Jauh sebelum umat-Nya, Israel, memiliki seorang raja, Allah memberi penglihatan dan intruksi langsung sebagai seorang Raja, di mana kalau orang-orang mengikuti perintahnya, maka mereka akan beda dari bangsa-bangsa lain. Karena Allah sungguh mengetahui tabiat manusia, maka manusia diberi-Nya aturan sebagai seorang raja (Ul. 17:16-20).
Salah satu perikop yang sering dipahami dengan salah, yakni Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Roma, bab 8: 18-21. Di sana Rasul Paulus melukiskan bagaimana kedatangan Kristus yang kedua kalinya akan memerdekakan semua orang. Hal inilah yang menjadi persoalan dalam kehidupan kita. Memang Kristus akan datang kembali. Namun, manusia sering memahaminya dengan salah terkait dengan pemeliharaan bumi. Karena justru Kristus akan datang kembali, manusia perlu sikap “berkuasa” dengan cara menunjukkan suatu tanggung jawab atas bumi ini. Manusia seharusnya menyalamatkan bumi ini dari kegersangan, bukan membuat bumi ini menjadi hancur berantakan akibat dari keserakahan kita. Sehingga kita menjadi jatuh dalam krisis ekologi yang semakin parah. Tujuan dari hasil akhir dari pekerjaan manusia “berkuasa” atas bumi justru seharusnya untuk memungkinkan manusia dan seluruh ciptaaan berbuah dan bertambah banyak.
Jadi, “menguasai” atau “berkuasa” bukan berarti melakukan sesuka hati terhadap ciptaan yang telah dipercayakan Allah kepada manusia. Melainkan, lewat “menguasai”-lah kita menunjukkan suatu tanggung jawab moral manusia. Bertanggung-jawab berarti tahu dan mampu melakukan sesuatu dengan kesadaran.
3. Manusia Jatuh pada Krisis Ekologi
Sebelum kita melihat bagaimana proses jatuhnya manusia pada krisis ekologi, terlebih dahulu kita megerti dulu, apa ekologi itu? Secara etimologis, kata ekologi terdiri dari dua kata, yaitu “oikos” dan “logos”. “Oikos” berarti rumah dan “logos” berarti ilmu. Maka, ekologi dalam dapat dilukiskan sebagai ilmu atau studi yang menyelidiki tentang hubungan manusia dengan seluruh ciptaan serta keseimbangan di antara mereka. Krisis ekologi yang dipaparkan dalam tulisan ini tentunya tidak sepenuhnya dapat dituliskan berdasarkan realitas yang terjadi di bumi ini. Namun, walaupun demikian tentunya diharapkan ini dapat menimbulkan kesadaran di antara kita.
Mengasihi lingkungan hanya mungkin apabila manusia mengetahui dengan benar informasi yang lengkap dan jelas terkait dengan lingkungan hidup itu sendiri. Hal ini sungguh mutlak hukumnya. Namun, hal ini bukanlah menjadi patokan dalam setiap pribadi manusia. Sebab, banyak di antara manusia yang sudah paham tentang hal ini, tetapi tetap juga melakukan perusakan alam. Di sini tentu bukan lagi masalah pemahaman yang kurang dan yang menjadi persoalan, melainkan masalah moral dan etika manusia tersebut memang sudah bengkok dan perlu diluruskan.
Layaknya tubuh manusia, apabila ada yang tidak beres, tentu akan muncul tanda-tanda yang kita rasakan dalam tubuh kita. Begitu dengan sebaliknya, apabila tubuh kita sehat, maka kitapun merasa enak. Hal yang sama juga terjadi dalam bumi tempat manusia melangsungkan hidup. Saat ini bumi kita sedang sakit. Mengapa sakit? Tentu karena kurangnya ada keseimbangan di dalamnya. Bumi ini telah teracuni oleh limbah-limbah pabrik yang menyebabkan suhu bumi semakin tinggi. Udara tidak stabil lagi, melainkan terasa semakin panas. Pada bulan Februari 2007 yang silam, curah hujan semakin tinggi yang menyebabkan banjir dan longsor. 60% wilayah Jakarta mengalami peristiwa ini. Badan Meteorologi dan Geofisika mencatat suhu beberapa hari pada bulan itu mencapai 38-40 derajat celcius. Hal ini terjadi bukan begitu saja tanpa alasan. Ini terjadi karena ulah manusia sendiri. Bukan hanya di situ, di tempat dan negara lain juga terjadi hal yang sama.
Pertambahan penduduk juga turut mendukung masalah ekologis. Di mana banyak penduduk menebangi pohon demi mempertahankan eksistensinya. Jumlah penduduk turut juga menuntut perbanyakan perumahan, kesehatan dan seterunya. Timbulnya keinginan untuk memperkaya diri dengan mengeksploitasi alam secara bebas. Hal yang sama juga dilakukan terhadap binatang-binatang dan seterusnya. Semua hal inilah yang disebut krisis ekologi.
3.1. Krisis Ekologi Sebagai Masalah Etika dan Moral
Masalah lingkungan hidup berarti juga masalah manusia dan ciptaan lainnya. Sebab, ia tidak terbatas pada dirinya sendiri. Bila lingkungan alam/hidup rusak, maka ciptaan lain turut mengalami akibatnya.
Sebelum kita masuk pada uraian yang lebih lanjut, perlu rasanya kita memahami sejenak apa etika itu dan apa moral itu. Etika dapat dipahami sebagai filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika memberikan orientasi kepada manusia agar manusia tidak ikut hidup dengan ikut-ikutan saja terhadap aturan yang ada, melainkan agar manusia dapat mengerti sendiri mengapa dia harus hidup seperti ini dan seperti itu. Etika penuntun bagi manusia untuk bertanggung-jawab atas apa yang terjadi dalam hidupnya. Sedangkan moral adalah ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, patokan-patokan dan ketetapan entah lisan atau tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Moral selalu terarah pada masalah baik dan buruk.
3.1.1. Masalah Etika
Masalah lingkungan hidup menjadi masalah etika karena manusia seringkali “lupa” dan kehilangan orientasi dalam memperlakukan alam. Karena alasan inilah manusia seringkali memperlakukan alam secara tak bertanggung-jawab. Dengan keadaan itu tentu mereka juga kehilangan daya kritis. Maka, perlulah pendekatan etik dalam menyikapi masalah lingkungan hidup. Pendekatan itu tersebut pertama-tama dimaksudkan untuk menentukan sikap, tindakan dan perspektif etis serta cara perawatan lingkungan hidup serta ekosistem di dalamnya dengan tepat.
Teori etika lingkungan hidup sendiri secara singkat dapat diartikan sebagai sebuah usaha untuk menbangun dasar-dasar rasional bagi sebuah sistem prinsip-prinsip moral yang dapat dipakai sebagai panduan bagi upaya manusia untuk memperlakukan ekosistem alam dan lingkungan sekitarnya. Ada dua tipe pendekatan etika lingkungan hidup, yaitu tipe pendekatan human-centered dan life-centered. Teoti tipe human-centered mendukung kewajiban moral manusian untuk menghargai alam karena didasarkan atas kewajiban untuk menghargai sesama sebagai manusia. Sedangkan teori pendekatan life-centered berpendapat bahwa kewajiban manusia terhadap alam tidak berasal dari kewajiban yang dimiliki terhadap manusia. Maka, etika lingkungan hidup bukanlah subsidi dari etika human-centered.
Namun, semenjak zaman modern, manusia lebih menggunakan pendekatan human-centered dalam memperlakukan alam. Akibatnya, timbullah ketidakseimbangan relasi antara manusia dan lingkungan hidup. Dalam prakteknya, alam menjadi objek yang dapat diperlakukan begitu saja demi memenuhi kebutuhan manusia. Hal ini menjadi masalah juga bagi makhluk-makhluk lain yang tinggal di alam bebas tersebut.
3.1.2. Masalah Moral
Bicara tentang moral berarti kita dihadapkan pada masalah baik dan buruk. Supaya seseorang bertindak dengan baik, maka perlu memahami prinsip-prinsip moral secara tetap, yakni sikap baik, adil dan hormat kepada diri sendiri. Hal ini memang diandaikan dalam hubungan manusia dengan sesamanya. Padahal manusia juga berjumpa dengan non-human. Untuk itu rasanya kita harus kembali pada pendekatan life-centered tadi. Mungkin untuk sebagian orang hal ini aneh dan sulit diterima. Untuk itu manusia harus memahami kata “agen moral”. Agen moral maksudnya adalah segala yang hidup, yang memiliki kapasitas kebaikan atau kebajikan sehingga dapat bertindak secara moral. Maka, apabila manusia menyadari bahwa segala yang hidup itu agen moral, berarti sudah sepatutnya manusia menghargainya sebagai subjek yang memiliki nilai tersendiri dalam dirinya.
4. Solusi Terhadap Masalah Ekologis
Penyebab tunggal kerusakan alam lingkungan hidup adalah manusia sendiri. Karena manusia penyebabnya, tentu juga dia mampu menemukan solusinya dalam penanggulangan alam. Hal pertama yang harus manusia lakukan adalah mengubah cara pandang terhadap alam. Manusia harus bersama dengan alam. Mereka harus memiliki relasi dan saling tergantung satu sama lain. Apabila manusia sudah bersama alam, hal selanjutnya yang harus manusia lakukan adalah membela dan menyuburkan diversitas/keanekaragaman hidup. Kemudian, manusia harus menyadari bahwa apa yang dikonsumsinya adalah berasal dari alam. Maka untuk itu manusia perlu menghargai makanan. Hal ini sekaligus meningkatkan kesadaran untuk peduli terhadap orang-orang yang berkekurangan. Manusia juga harus melakukan reboisasi. Manusia harus mengembalikan alam seperti sediakala. Supaya karbon dioksida yang ada di bumi ini dinetralisir olehnya. Hal lain yang tidak kalah pentingnya dari solusi yang lain adalah menjaga dan memelihara alam. Sebab, makna kata “menaklukkan” dan “menguasai/berkuasa” dalam Kitab Suci adalah memelihara dan mengembangkan ciptaan sebagai mandat dari Allah.
4.1. Santo Fransiskus Sebagai Bapa Ekologis
Sikap angkuh manusia terhadap alam membuat alam rusak dan tidak terjaga lagi kelestariannya. Manusia-manusia yang angkuh ini merasa bahwa alam diberikan Allah kepada untuk dikuasai secara mutlak. Manusia yang memandang dirinya di atas makhluk lain dan tidak melihat makhluk lain sebagai teman yang berjalan berdampingan. Inilah penyebab utama pengeksploitasian alam yang tanpa batas. Pandangan dan sikap ini sungguh berbeda dibandingkan dengan sikap St. Fransiskus Assisi. Dia dengan rendah hati menyadari bahwa manusia merupakan bagian dari satu keseluruhan surga dan bumi. Oleh sebab itu baginya segala bidang kehidupan hanya memiliki arti apabila di dalamnya ada hubungan antara lingkungan adikodrati dan rohani. Fransiskus menempatkan dirinya sebagai saudara atau teman yang berjalan berdampingan dengan ciptaan yang lain. Setiap makhluk disebutya sebagai saudara-saudari yang berasal dari Allah Pencipta. inilah yang merupakan visi St. Fransiskus tentang ekologi.
Bila dipandang dari sudut ekologi modern, sikap persaudaraan dengan semua makhluk ciptaan sebagaimana dihayati St. Fransiskus ini, sungguh amat indah. hal ini jauh lebih cocok daripada manusia mengembangkan sikap angkuh dan egois terhadap alam ciptaan. Berkat persaudaraan yang akrab dan kecintaannya terhadap makhluk ciptaan, St. Fransiskus memandang makhluk-makhluk lain sebagai saudara-saudarinya. Maka tidak mengherankan kalau visinya itu diangkat sebagai representasi visi Kristen tentang ekologi. Pada tahun 1980, Paus Yohanes Paulus II mengangkat St. Fransiskus sebagai pelindung bagi semua yang melestarikan lingkungan hidup.
5. Penutup
Bicara tentang ekologi sama dengan berbicara tentang lingkungan hidup. Lingkungan hidup manusia adalah alam atau bumi pertiwi. Manusia merupakan penakluk dan penguasa alam. Baik-buruknya kondisi lingkungan hidup tergantung bagaimana manusia memeliharanya secara etis. Baik-buruknya lingkungan hidup juga mempengaruhi kelangsungan hidup manusia dan makhluk-makhluk lain. Masalah ekologis yang terjadi saat ini semakin parah. Namun, dibalik semuanya ini adalah manusia lewat tindakannya. Manusia belum mampu memelihara lingkungannya dengan baik. Manusia sering jatuh pada pemahaman yang salah. Kata “menaklukkan” dan “menguasai” sering ditafsirkan bahwa bumi ini diperlakukan sebagai “objek” tanpa melihat suatu nilai yang lebih positif dalam diri setiap ciptaan. Manusia sering memposisikan dirinya sebagai subjek untuk ciptaan lain. Padahal Allah bermaksud sebenarnya agar manusia turut serta dalam penciptaan bersama-Nya. Dengan kata lain, seharusnya manusia menunjukkan suatu tanggung jawab terhadap pemeliharaan bumi. Oleh sebab itu, manusia perlu menyadarkan diri dan mengubah cara pandang lamanya tentang alam, yakni tempat di mana manusia sendiri berada. Apabila manusia mengganggu lingkungan hidupnya, berarti sama dengan manusia juga mengganggu kelangsungan hidupnya.
5.1. Refleksi Kritis: antara Kesadaran dan Keserakahan
Dengan perkembangan zaman saat ini, umumnya manusia sudah gampang untuk mengetahui segala sesuatu yang terjadi di dunia ini. Manusia juga sudah gampang untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Maka, amat sulit diterima apabila ada orang mengatakan bahwa tidak tahu apa itu ekologi. Namun, hal ini bisa juga terjadi karena kurangnya kesadaran dalam diri manusia. Manusia kurang menyadari bahwa pentingnya suatu ilmu pengetahuan itu, sehingga akibat yang timbul adalah kekacauan dan kefakuman. Tetapi, bisa saja mengetahui apa ekologi itu, namun kurang sekali kesadaran moral. Manusia lupa dan tidak mempedulikan segala sesuatunya hanya demi kebutuhannya. Inilah yang disebut keegoisan yang bernuansa keserakahan. Oleh sebab itu, manusia pun dengan sesukanya untuk mengeksploitasi alam tanpa batas. Bahkan tidak lagi sebatas yang dia butuhkan manusia mengeksploitasi alam, melainkan demi kekayaan pribadinya semata.
Fr. Matias Simanullang, OFM Cap.
Fr. Masseo, OFM Cap.
Fr. Tommy F. Simamora, OFM Cap.
Daftar Pustaka
Pasang, Haskarlianus. Mengasihi Lingkungan. Jakarta: Literatur Perkantas, 2011.Widyahadi, A., Swasono, I., Suryataruna, Masiya, I., Aswin N., G., Bijanta, Stephanus [Ed]. Tanggung jawab Sosial Umat Beriman. Jakarta: Sekretariat Komisi PSE-KWI, 2010.
Kajian Lingkungan Hidup. Jakarta: Sekretariat Komisi PSE-KWI, 2010.
Suseno, Magnis, Franz. Etika Dasar:Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius, 1987.
Simanullang, Gonti. “Ibu Pertiwi Saudari Kami”. Dalam Media Unika Tahun 13 No. 36 (September- Oktober 2001), hlm. 101-109.
Posting Komentar
Terima kasih atas Partisipasi Anda!